Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai - Cerpen

Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai - Cerpen




untuk irfan: cerita yang tak selesai - cerpen


Di sebuah kamar dengan pencahayaan seadanya, seorang perempuan muda bernama Lia duduk termenung di depan layar laptopnya. Layar menyala terang, menyinari wajahnya yang polos tanpa riasan. Kursor berkedip-kedip di jendela email yang terbuka, tapi masih kosong.

"Untukmu, Irfan, sahabatku di dunia maya," ia mulai mengetik, namun kembali berhenti. Jemarinya menggantung di udara, seperti tidak tahu bagaimana melanjutkannya. Ia menggerak-gerakkan kursornya di layar. Namun, tetap saja tak ada kata-kata yang keluar selain kata-kata yang sudah diketiknya.

"Kenapa menulis sesuatu yang sederhana saja terasa sulit?" gumamnya pelan. Ia menarik napas panjang, membiarkan pikirannya melayang kembali ke masa ketika pertama kali Irfan hadir dalam hidupnya melalui jendela kecil bernama internet.

Awalnya mereka hanyalah dua orang asing di dunia maya. Lia tak pernah menyangka, obrolan ringan di sebuah forum diskusi bisa membawanya akrab dengan seseorang bernama Irfan. Irfan adalah sahabat yang membuat hari-hari Lia, yang awalnya hanya berwarna hitam dan putih, menjadi penuh warna.

Semua berawal ketika Lia menekan tombol posting di sebuah forum diskusi. Postingannya sangat konyol: "Bagaimana cara melupakan gebetan yang tidak tahu jika kita ada?" ia tak menyangka salah satu komentar yang muncul justru akan menjadi awal dari sebuah cerita panjang.

"Gampang, coba gebet aku aja, dijamin lupa sama dia," tulis seseorang bernama Irfan.

Lia terkekeh membaca balasan itu dan tanpa pikir panjang membalasnya, "Berani-beraninya sok ganteng."

Balasan Irfan selanjutnya lebih konyol lagi, "Lho, memang ganteng kok. Buktinya, kamu langsung balas komenanku."


Dari percakapan singkat itu, mereka mulai akrab dan berbagi cerita lucu. Seiring waktu, obrolan mereka berubah menjadi sesuatu yang lebih mendalam. Irfan selalu tahu cara membuat Lia tertawa, bahkan di hari-hari ketika dunia nyata terasa begitu berat. Irfan, dengan segala kekonyolannya, ternyata memiliki sisi bijak dan pendengar yang baik. Ia selalu ada saat Lia merasa sedih atau putus asa, memberikan semangat dan pandangan baru. Begitu pula sebaliknya, Lia pun menjadi tempat Irfan berkeluh kesah.

"Lia, menurutmu, kenapa orang lebih nyaman cerita ke orang asing di internet?" tanya Irfan suatu malam.

"Mungkin karena kita nggak tahu masa lalu mereka," jawab Lia. "Jadi nggak ada rasa takut dihakimi."

"Bisa jadi," balas Irfan. "Tapi aku pikir, lebih karena kita hanya punya satu cara untuk mengenal: lewat cerita. Kita nggak lihat wajah, nggak tahu nada suara, cuma ada kata-kata. Jadi, semua terasa lebih jujur."

Percakapan itu membuat Lia berpikir. Hubungan mereka mungkin memang sederhana, tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Irfan telah menjadi bagian penting dari hidupnya. Sejak malam itu, ada sesuatu yang berbeda dalam benaknya. Ia mulai menantikan sapaan Irfan setiap pagi, bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai sesuatu yang memberinya semangat. Ia pun mulai menyadari bahwa ia sering memikirkan Irfan di sela-sela aktivitasnya, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya.

"Sudah bangun, Lia? Jangan lupa sarapan. Katanya, mau hidup sehat, kan?" tulis Irfan suatu pagi.

Lia tersenyum membaca pesannya.

"Aku baru bangun. Kamu sendiri udah makan?" balasnya.

"Belum. Aku nunggu kamu bilang dulu, biar kita barengan."

"Dasar, alasan aja biar nggak kesiangan makan," balas Lia sambil tertawa kecil di depan layar.

Hari-hari mereka dipenuhi obrolan kecil seperti itu. Namun, semakin lama, rasa ingin bertemu semakin kuat di hati Lia.

"Kalau suatu hari kita ketemu, kira-kira aku bakal kecewa nggak ya?" tanya Lia dengan nada bercanda suatu malam.

"Kok kecewa?" Irfan balik bertanya.

"Ya... takut aja kamu ternyata nggak seseru di dunia maya," jawab Lia jujur.

"Haha, tenang aja. Aku juga nggak seseru itu kok di dunia maya."

Mereka tertawa bersama, meskipun di hati Lia, ada perasaan takut yang tak bisa ia jelaskan.

Hingga suatu hari, pesan Irfan mulai jarang datang. Lia mencoba menghibur dirinya sendiri dengan berpikir Irfan mungkin sedang sibuk. Tapi hari demi hari berlalu tanpa kabar, membuat Lia semakin gelisah. 


Malam itu, Lia memberanikan diri mengirim pesan.

"Irfan, kamu kenapa? Kok nggak ada kabar?"

Tak ada balasan dari Irfan. Lia mencoba menghibur dirinya sendiri, tapi rasa cemas mulai merayap di hatinya. Hingga akhirnya, setelah seminggu berlalu, sebuah pesan muncul di layarnya.

"Maaf, Lia. Aku harus pergi untuk waktu yang lama. Jangan tanya kenapa, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat bersyukur pernah mengenalmu. Aku selalu mendoakanmu. Tetaplah tersenyum, ya."

Pesan itu membuat Lia terdiam, terpaku menatap layar. Tangannya gemetar, mencoba mengetik balasan dan menghubunginya kembali, tetapi semua pesan berikutnya hanya tenggelam dalam kehampaan.

Lia tersadar dari lamunannya. Kembali ia menatap layar laptop, kursornya masih berkedip-kedip di akhir tulisannya yang baru beberapa kata. Ia kembali mencoba mengetik. Namun, kenangan tentang Irfan memenuhi pikirannya, membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. Dengan susah payah, ia mencoba merangkai kalimat, berharap kata-kata yang tepat akan muncul. Ia membaca kembali kalimat awalnya: "Untukmu, Irfan, sahabatku di dunia maya," dan mulai menambahkan, "Aku nggak tahu kenapa kamu pergi. Aku nggak tahu apa yang sedang kamu hadapi, tapi aku ingin kamu tahu, kepergianmu meninggalkan jejak yang begitu dalam. Kamu pernah bilang, di dunia maya, kita hanya mengenal lewat cerita. Dan cerita kita adalah salah satu yang paling berarti buatku.

Kalau aku bisa, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Aku ingin tahu kenapa kamu tiba-tiba hilang, apa yang sedang kamu alami, dan apakah kamu baik-baik saja. Tapi aku tahu, mungkin ini bukan hakku. Mungkin aku hanya bagian kecil dari duniamu yang besar.

Tapi Irfan, kalau suatu hari kamu membaca ini, aku harap kamu tahu bahwa aku masih di sini. Menunggu. Mendoakan. Dan berharap suatu saat kita bisa berbagi cerita lagi, walaupun hanya untuk satu malam."

Lia menekan tombol "Simpan Draf" dan memejamkan mata. Ia merasa sedikit lega, meskipun rasa rindu itu tetap menggantung di hatinya.

Namun, waktu terus berjalan, dan perlahan Lia mulai melanjutkan hidupnya. Ia mulai fokus pada pekerjaan, belajar hal-hal baru, dan bertemu dengan teman-teman lamanya. Dunia nyatanya yang sempat terasa gelap mulai kembali bercahaya, meskipun di sudut hatinya, Irfan tetap ada.

Empat bulan berlalu sejak pesan terakhir Irfan. Di suatu malam, Lia menerima sebuah email dari seseorang yang bernama Rasyid. Jantung Lia berdegup ketika membaca judul email itu: "Halo, Lia. Aku adik Irfan." Dengan tangan gemetar, Lia membuka email itu.

Baca juga: Beranjak Dari Luka

"Lia, aku tahu kamu pasti bertanya-tanya... mengapa Irfan berhenti menghubungimu. Maafkan aku baru menghubungimu sekarang. Irfan... dia sudah meninggal. Sebenarnya, dia sakit keras selama ini. Ia mengidap leukemia. Irfan tak ingin kamu melihatnya dalam kondisi lemah, jadi ia memilih pergi tanpa pamit. Tapi sebelum meninggal, ia selalu menyebut namamu. "Lia adalah sahabat terbaikku, kamulah alasan dia tetap bertahan," katanya. "Ia sangat menyayangimu, Lia. Ia selalu bercerita tentangmu, tentang obrolan-obrolan kalian yang membuatnya tertawa.

Lia, Irfan meninggalkan sebuah buku catatan yang berisi banyak hal tentang kamu. Jika kamu bersedia, aku ingin mengirimkannya padamu. Aku rasa ini adalah caranya untuk tetap hadir dalam hidupmu, meskipun hanya melalui kata-kata."

Mata Lia memanas, dan tanpa bisa ditahan air matanya jatuh, membasahi pipi. Irfan, seseorang yang bahkan belum pernah ia temui secara langsung, telah meninggalkan jejak yang begitu mendalam di hidupnya.

Lia mengetik balasan dengan penuh perasaan: "Rasyid, terima kasih telah menghubungiku. Kata-katamu, dan pesan Irfan, benar-benar menyentuh hatiku. Aku ingin sekali membaca buku itu, jika tidak merepotkan. Irfan mungkin telah pergi, tetapi ia akan selalu hidup di hati dan kenanganku. Terima kasih telah menjaga kenangan ini untukku."

Beberapa hari kemudian, sebuah paket diterima Lia. Di dalamnya, ada sebuah buku catatan sederhana berwarna biru, dengan tulisan tangan Irfan di setiap halamannya. Setiap lembar berisi cerita mereka, ditulis ulang oleh Irfan dengan tambahan catatan pribadi hal-hal yang tak pernah ia ungkapkan pada Lia.

Salah satu halaman membuat Lia terdiam lama.

"Hari ini aku berbicara dengan Lia lagi. Dia membuatku lupa sejenak tentang rasa sakit yang kurasakan.

Penyakit ini mungkin akan membunuhku, tapi aku tidak ingin itu membunuh hubungan yang kurasakan dengan Lia. Dia adalah alasanku bertahan sejauh ini."

Di akhir buku, ada sebuah pesan yang ditulis khusus untuk Lia:

“Lia, jika kamu membaca ini berarti aku sudah tiada. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu menghargai setiap detik yang kita habiskan bersama. Kamu adalah bagian terbaik dari hidupku. Dan aku ingin kamu tahu juga bahwa kamu adalah salah satu alasan terbaik untukku bertahan. Jangan pernah merasa sendiri. Aku akan selalu bersamamu, di sini, di dalam setiap cerita yang kita bagi.”

Lia memeluk buku itu erat-erat, membiarkan tangisnya pecah. Ia merasa kehilangan yang begitu dalam, tetapi di saat yang sama, ia juga merasa bersyukur. Irfan telah meninggalkan sesuatu yang tak ternilai baginya: kenangan yang abadi.

"Untuk Irfan, rasanya baru kemarin kita saling berbagi cerita, meski hanya lewat kata. Kamu selalu terasa begitu dekat, seperti sahabat yang sudah kukenal sejak lama. Sekarang, kamu telah pergi, meninggalkan sebuah kekosongan yang begitu dalam. Aku akan sangat merindukanmu, merindukan setiap canda dan dukunganmu. Kamu adalah anugerah yang tak ternilai dalam hidupku, dan kehilanganmu adalah luka yang akan selalu terasa perih. Terima kasih telah hadir dan mewarnai hari-hariku, bahkan di tengah duka yang kini kurasakan.

Aku tahu, ini tidak akan mudah. Tapi aku akan mencoba tegar, demi kamu. Jika suatu saat nanti kita dipertemukan kembali, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menunggumu. Beristirahatlah dengan tenang, sahabatku. Kamu akan selalu ada di sini, di tempat yang paling berharga dan terhangat dalam hatiku.

Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku, meski jarak memisahkan kita. Selamat jalan, Irfan. Aku janji, aku tidak akan pernah melupakanmu." tulis Lia di bawah pesan khusus yang tulis Irfan untuknya sebelum menutup buku itu.

Lia menyalakan laptopnya. Ia membuka folder draf email yang selama ini ia simpan, dan mulai mengetik sebuah balasan yang takkan pernah sampai: "Irfan, aku ingin kamu tahu bahwa aku juga sangat bersyukur pernah mengenalmu. Kamu membuatku merasa berarti di saat aku merasa begitu kecil. Dan meskipun kita hanya bertemu lewat kata-kata, aku merasa lebih mengenalmu daripada siapa pun. Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku."



Tamat

Komentar

  1. Wah mana nih tisu
    Keren banget, jangan -jangan ini pengalaman pribadi ya
    yang jago ngegombal

    BalasHapus
  2. wah menarik ini...masih betul-betul terjadi tu..

    BalasHapus
  3. Kayaknya di sini ada yang lagi ngiris bawang ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bawang apa mbak, kalo bawang putih berarti mau buat nasi goreng.😁

      Hapus
    2. Minta dong bawang sama nasi gorengnya..wkwkwk

      Hapus
    3. Bawang merah kayaknya lebih pedes kalo bawang putih lebih harum ....ga nyambung yak 😁

      Hapus
    4. Kalo ngga nyambung, coba diikat pakai tali rafia mbak.😁

      Hapus
    5. tali kalar maah lebih kuat mas :D

      Hapus
  4. Wah kasihan Lia, tapi memang begitu sih kehidupan.

    Jadi ingat dengan teman FB kenari paseh. Dulu sering bercanda di FB sampai ngobrol tentang kehidupan. Sampai akhirnya lama dia ngga nongol. Mungkin mas Herman kenal.

    Aku kira dia bosan main FB. Ada setengah tahun hilang.

    Eh sampai suatu hari kenari paseh update status gambarnya orang orang lagi gotong keranda mayat. Aku tanya sama kang kenari, takutnya itu istrinya.

    Lha, ternyata itu kang kenari paseh sendiri. Istrinya yang balas pesan ku.😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenal, kenal dari jaman ngeblog tahun 2014 walau ngga begitu dekat. Saya malah sempat mau main ke rumahnya di Paseh, Sumedang, mau minta burung sama nangka tapi ngga kesampaian, kang kenari meninggal.

      Hapus
    2. Waktu ngeblog di mwb aku juga ngga kenal dekat, tapi begitu mwb tutup dan pindah ke FB jadi sering ngobrol dan jadi akrab.

      Pernah dia ngajak ketemuan di Sumedang tapi sayangnya aku ngga ada waktu

      Hapus
  5. Kemaren bacanya ga terasa nyampe tengah tengah nahan aer mata juga mas her...eh biasalah si Mbul kalau baca cerita yang mengharukan malah tetiba ikutan mbesesek...huhu...#tissue mana tissue

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maafkan daku yang sudah bikin mbul sedih..hihihi

      Hapus
    2. Ceritanya pedih dan bikin nahan tangis...paling ga bisa baca yang endingnya ada yang meninggal hiks...memang mas herman paling piawai bikin cerpen yang kayak gini (genre romance muda mudi)..seneng kalau masih bisa berkarya liwat fiksi tapi ga khawatir dikomentarin ini itu sama orang yang ga mudeng cerpen wkwkkw...semangat berkarya mas herman

      Hapus
  6. Aduh...ceritanya melo begini Mas...

    Saya punya cerita juga, ini beberapa tahun lalu saat saya masih gandrung main twitteran. Jadi ketemulah disana beberapa teman maya. Salah satunya ada wanita, orang Kalimantan. Biasa kalau pagi saling sapa, siang juga. Akhirnya kita berbagi pin BB... (oh iya saat itu zaman HP Blackberry).

    Beberapa saat kemudian dia tidak pernah membalas chat saya. Ya sudah saya lupakan saja. Akhirnya satu ketika muncul pesan yang menyebut dirinya sbg adiknya. Infonya teman saya itu beberapa bulan dirawat, dan kini sudah meninggal.

    Begitu sedikit ceritanya Mas.

    Salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berlawanan dengan cerita saya ya, Kang. Cerita saya yang meninggal tokoh prianya.

      Hapus
  7. habis baca ini, jadi keinget seseorang, btw ceritanya bagus mas :')

    BalasHapus
  8. Ini siapa yang ngiris bawang merah di sini sih, jadi mewek.
    Nggak pernah terbayangkan jika mendapatkan pesan kayak gitu dari seseorang yang pernah dekat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang ngiris bawang, tukang bawang pastinya.. wkwkwk

      Hapus
  9. Mewek deh, kenapa sih harus meninggal. Kirain aku kawin dengan wanita lain makanya ngga balas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tadinya mau buat seperti itu tapi kayaknya kurang menggigit.. wkwkwk

      Hapus
  10. Walau pertemuan hanya sebentar tapi membawa kesan mendalam buat keduanya, tapi tetep aja nyesek akhirnya.

    BalasHapus
  11. Jangankan Lia, yang baca juga ikutan sedihhhh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untungnya yang nulis ngga ikutan sedih.. hihihi

      Hapus
  12. Indahnya kenangan yang mereka berdua miliki...

    BalasHapus
  13. Sedikit amat ceritanya... Padahal awal2 aku mikirnya irfan malu ketemu krn mungkin ga confident dengan fisiknya. Ternyata krn sakit.

    Eh tapi bener, terkadang aku pun lbh terbuka dengan temen dunia maya drpd yg nyata. Lebih berasa nyaman aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sengaja dibuat sedikit biar bacanya ngga capek..hihihi

      Hapus
  14. bikin mewek bacanya, feelnya dapet banget mas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya mas khanif ada pengalaman pribadi yang mirip nih, makanya mewek bacanya.

      Kenal sama cewek dan akrab banget, tengah malam bangun buat ngingetin sholat tahajud. Kalo pagi chat bilang jangan lupa sarapan. Begitu terus selama berbulan-bulan.

      Tak disangka suatu hari ceweknya ngilang.

      Setelah setahun tiba-tiba ada chat masuk, dari adiknya. Dia minta maaf kalo kakaknya ngga pernah balas pesannya karena sekarang...

      Sekarang sudah...😭😭😭
      .
      .
      .
      .
      .
      .
      .
      .
      .
      .
      .


      .
      .
      .


      Sudah menikah dengan pria lain.😁😁😁

      Hapus
    2. kalo inimah cerita pengalamanya mas agus dulu kali ah :D, kalo aku gak pernah punya pengalaman kayak gitu :D

      Hapus
  15. Cerita yang sangat kompleks mengharukan. Interaksi di dunia maya seringkali berbeda dengan dunia nyata. Sama hal menebak kepribadian, ketika di medsos introvert di dunia nyata bisa extrovert atau sebaliknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayak beli kucing dalam karung ya, pas dibuka ternyata anak singa.

      Hapus
  16. Tadinya berharap clickbait Irfan adalah Rasyid

    BalasHapus
  17. Aaahhhh, syediiiiih :( :( Irfan itu di awal pertemuan online, kata-katanya menarik banget ya. Bikin terkekeh. Gebet aku, katanya wkwkwkkww. Senang baca cerita ini sangat menggugah perasaan :)

    BalasHapus
  18. Rasanya saya jadi terharu membacanya ini, Mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maafkanlah bila cerita membuat jadi terharu.

      Hapus
  19. Dan aku baru sadar udh pernah komen di sini, typo pulaaaa... ya ampuuuun itu maksudnya sediiih mas, bukan sedikiit hahahaahahaha.... memang paling males kalo komen pake hp... auto type nya nyebelin hahahaha

    BalasHapus

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen

Adakah Pertemuan Di Cerita Kita? (Masih Ada Sedikit Harapan) - Cerpen

Dara, Gadis Dunia Maya (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung