Bukan Cinta Yang Sama (#2) - Cerbung

Bukan Cinta Yang Sama (#2) - Cerbung




bukan cinta yang sama (#2) - cerbung


Beberapa hari setelah pengumuman Raka, suasana di antara mereka mulai berubah. Raka tetap menjadi dirinya yang ceria, tapi ada momen-momen di mana mereka semua merasa kehilangan pada sesuatu yang belum terjadi.

Di sisi lain, Chandra mulai menyadari sesuatu.


Selama ini, ia menganggap Dea sebagai sahabat. Tapi belakangan, ia mulai merasakan hal-hal kecil yang berbeda. Cara Dea memperhatikannya dengan mata yang teduh, cara Dea selalu ada saat ia butuh teman bicara, dan bagaimana Dea selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk menenangkan pikirannya.

Malam itu, mereka berdua duduk di kafe yang biasa mereka datangi.

"Jadi, kamu sudah siap?" tanya Dea sambil mengaduk kopinya.

"Siap untuk apa?"

"Siap untuk perubahan. Siap untuk melepas Raka. Siap untuk… masa depan yang berbeda."

Chandra terdiam sejenak. "Aku tidak pernah suka perubahan."

Dea tersenyum kecil. "Aku tahu."

"Tapi," lanjut Chandra, menatap Dea, "Aku mulai belajar kalau perubahan tak selalu buruk."

Dea mengangkat alis. "Oh ya?"

Chandra menghirup kopinya. "Mungkin, perubahan bisa menjadi awal sesuatu yang lebih baik."

Dea menatapnya lama sebelum tersenyum. "Akhirnya, kamu sadar juga."

"Sadar apa?"

Dea tertawa kecil. "Sadar kalau kamu tidak bisa terus-menerus terjebak di masa lalu."

Chandra ikut tersenyum. 'Mungkin karena ada orang yang tidak bosan-bosan mengingatkan aku."

Dea menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tapi sebelum Chandra bisa berkata apa-apa lagi, ponsel Dea berbunyi, satu notifikasi pesan diterima.

"Raka mengajak kita kumpul lagi malam ini," ucap Dea setelah membaca pesannya. "Katanya ada hal lain yang mau dia katakan."

Chandra mengangguk. "Oke, kita ke sana sekarang."

Dan mereka keluar dari kafe, menuju rumah Raka.

**********

Malam itu, Chandra dan Dea tiba di rumah Raka. Lian dan Andini sudah lebih dulu di sana, dan suasana terasa lebih hangat dari sebelumnya.

Raka berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Aku tahu kita sudah sering berkumpul belakangan ini," kata Raka, "Tapi malam ini spesial."

Lian menyilangkan tangan. "Jangan bilang kamu berubah pikiran soal pindah?"

Raka tertawa kecil. "Tidak, aku tetap pergi. Tapi sebelum itu, aku mau kasih sesuatu buat kalian."

Raka mengeluarkan beberapa amplop dan menyerahkannya satu per satu. Chandra membuka amplopnya dan menemukan selembar kertas.

Dea yang duduk di sampingnya membaca isi kertas itu dengan alis terangkat. "Ini… tiket liburan?"


Raka mengangguk. "Iya, sebelum aku pergi, aku mau kita semua punya satu kenangan terakhir bersama. Jadi, kita akan liburan minggu ini."

Andini menatapnya tak percaya. "Serius, Ka?"

"Serius," kata Raka mantap. "Hitung-hitung perpisahan sebelum aku memulai babak baru dalam hidupku."

Chandra menatap tiket di tangannya. Ia tak bisa menahan senyumnya. "Kamu tahu cara buat perpisahan tidak terlalu sedih."

Raka tertawa. "Aku belajar dari yang terbaik."

Mereka semua akhirnya setuju.

Saat malam semakin larut, Dea menarik Chandra ke samping. "Jadi, kamu benar-benar ikut?"

Chandra menatapnya dan tersenyum kecil. "Kenapa tidak?"

Dea mengangguk pelan. "Bagus. Karena aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk melihatmu benar-benar menikmati hidup lagi.”

Chandra terdiam, lalu tersenyum lebih lebar. "Terima kasih."

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar siap menyambut sesuatu yang baru.

**********

Akhirnya, akhir pekan tiba. Chandra, Dea, Raka, Lian, dan Andini berangkat ke vila di pinggir kota. Perjalanan mereka diisi dengan candaan khas dan daftar putar lagu-lagu nostalgia yang bikin suasana makin seru.

Saat mereka tiba, matahari sudah mulai tenggelam, mewarnai langit dengan jingga keemasan. Vila yang mereka tempati cukup luas, dengan perabotan kayu yang nyaman dan halaman belakang yang menghadap ke danau yang berkilau.

"Luar biasa, Ka. Kamu benar-benar niat banget buat perpisahan," kata Lian sambil menjatuhkan tubuhnya ke sofa.

Raka tertawa. "Harus dong! Momen terakhir sebelum aku pergi harus berkesan."

Dea berjalan ke balkon, menghirup udara segar. "Tempatnya keren banget. Malam ini kita barbeque, ya?"

"Setuju!" Andini langsung mengangkat tangan.

Sementara teman-temannya sibuk mengatur rencana, Chandra merasa perlu waktu sendiri dan memilih untuk berjalan ke tepi danau. Pikirannya terasa tenang di sini, jauh dari kebisingan kota dan rutinitas yang selama ini mengikatnya.

Saat sedang asyik memandangi air danau, tiba-tiba satu suara menegurnya.

"Kamu kenapa di sini sendiri?"

Chandra menoleh dan melihat Andini berjalan ke arahnya. 

"Cuma menikmati suasana."

Andini berdiri di samping Chandra, ikut memandangi air danau yang tenang. "Dulu, kamu orang yang paling susah diajak liburan."

Chandra tersenyum tipis. "Dulu aku masih belum bisa melepaskan banyak hal."

Andini melirik. "Sekarang?"

Chandra menghela napas pelan. "Sekarang… aku mulai belajar menerima perubahan."


Hening sejenak. Angin malam berhembus lembut, membuat suasana semakin syahdu.

Andini akhirnya tersenyum. "Aku senang denger itu."

Chandra menoleh ke arahnya. "Kenapa?"

Andini menatap lurus ke depan. "Karena aku ingin kamu bahagia."

Chandra terdiam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa hangat saat mendengar kata-kata itu.

Sebelum ia sempat menjawab, Lian berteriak dari vila: "Woi! Kalian pacaran di sana? Buruan balik, kita mau makan."

Andini tertawa. "Ayo, kita kembali sebelum mereka makin heboh."

Chandra ikut tersenyum dan mereka segera kembali ke vila.

**********

Malam semakin larut, bintang-bintang bersinar lebih terang, dan kelimanya duduk melingkar di halaman belakang vila. Aroma daging panggang bercampur dengan udara malam yang sejuk, sementara suara tawa mereka mengisi keheningan.

"Aku tak menyangka ini akan menjadi momen terakhir kita seperti ini," kata Andini sambil menggigit sosis bakarnya.

Raka mengangkat gelasnya. "Oleh karena itu, kita harus menikmati ini sebaik mungkin."

Mereka semua mengangkat gelas, bersulang untuk kebersamaan yang sebentar lagi berubah.

Saat obrolan mulai mereda, Lian tiba-tiba menatap Chandra dengan tatapan menyelidik. "Eh, aku penasaran. Kamu benar tak ada pacar, Dra?"

Chandra, yang sedang meminum minumannya, hampir tersedak. "Apa sih?"

Dea tertawa kecil. "Iya, iya, kita juga mau tahu."

Chandra meliriknya sekilas sebelum berdeham. "Tidak ada."

"Serius?" Lian makin mendekat, penuh curiga. "Kamu kan biasanya susah move on. Tapi belakangan ini, kamu kelihatan lebih... beda."

Chandra menggaruk tengkuknya. "Maksudmu?"

Lian menyeringai. "Ya, kamu kelihatan lebih tenang, lebih enjoy. Biasanya kamu galau melulu."

Raka ikut menimpali. "Jangan-jangan ada seseorang yang buat kamu berubah?"

Mata mereka semua langsung tertuju ke Chandra.

Chandra mendesah. "Sudah ah, makan saja.”

Lian dan Raka tertawa puas, Andini menatap geli sementara Dea hanya tersenyum tipis.

**********

Setelah makan malam, mereka kembali duduk di teras vila, menikmati angin malam dan suara jangkrik yang bersahutan.


Raka mendadak menatap mereka semua dengan ekspresi serius. "Aku mau tanya sesuatu."

Lian mengangkat alis. "Serius benar, Ka. Tumben."

Raka mengabaikan komentar itu dan menatap Chandra. "Kalau kamu dikasih kesempatan buat memulai sesuatu yang baru… kamu bakal ambil?"

Chandra terdiam sejenak, menatap ke arah langit malam. "Tergantung."

"Kalau misalnya itu berkaitan dengan perasaan?" Raka menyipitkan mata, jelas sedang menguji sesuatu.

Dea, yang duduk di sebelah Andini, menahan napas, sementara Andini tersenyum misterius.

Chandra menghela napas pelan. "Aku tak mau terburu-buru."

Lian menggeleng. "Kamu tuh ya, kebanyakan mikir. Hidup tidak selamanya harus direncanakan, Dra."

Andini, masih tersenyum, ikut menimpali, "Kadang, kalau kamu terlalu menunggu waktu yang ‘pas’, justru kesempatan bisa keburu hilang."

Dea menghela napas dan berkata pelan, "Kamu di jalanmu, lakukan apa yang kamu mau, dan aku di jalanku dengan tujuanku sendiri."

Chandra terkejut mendengar kata-kata itu, karena ia tahu betul dari mana asalnya. Itu adalah kata-kata yang pernah ia katakan dulu, saat masih berusaha melepaskan seseorang dari masa lalunya.

Andini menatapnya dengan mata jernih. "Tapi kalau suatu saat jalan kita bertemu lagi… mungkin itu bukan kebetulan."

Hening sejenak.

Raka tersenyum tipis, seolah sudah menebak arah semua ini sejak awal.

Lian terkekeh. "Nah, kalau ini film, harusnya sudah ada lagu romantis yang diputar di background."

Semua orang tertawa. Chandra menatap Dea dan Andini bergantian.

**********

Malam semakin larut, tapi tidak ada yang beranjak tidur. Mereka masih duduk di teras vila, menikmati obrolan ringan yang sesekali diiringi gelak tawa. Namun, di tengah kehangatan itu, ada satu orang yang pikirannya justru semakin kacau: Chandra.

Ia melirik ke arah Dea dan Andini yang sedang tertawa bersama Lian. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai berubah setiap kali ia melihat mereka. Sesuatu yang dulu mungkin ia abaikan, tapi kini mulai terasa semakin jelas.

Saat semua orang mulai masuk ke dalam, Chandra memilih untuk tetap duduk di luar. Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya.

Tak lama kemudian, Dea keluar, membawa dua cangkir teh hangat.

"Kamu tidak masuk?" tanyanya sambil menyerahkan salah satu cangkir pada Chandra.

"Belum mengantuk."

Dea duduk di kursi sebelahnya, menyesap teh pelan-pelan. "Dari tadi aku perhatikan, kamu kelihatan banyak mikir."

Chandra tersenyum kecil. "Sudah biasa, sudah jadi kebiasaan."

Dea menatapnya sebentar sebelum berkata, "Kalau kamu cinta karena dia mencintaimu, itu bukan cinta tapi empati."


Chandra menoleh, kaget mendengar kata-kata itu.

Dea melanjutkan, "Kalau kamu cinta itu karena harta atau uang,  bukan cinta tapi ketertarikan. Kalau kamu cinta karena penampilannya, itu bukan cinta tapi obsesi. Dan kalau kamu cinta karena kebaikannya, itu bukan cinta tapi kagum."

Chandra terdiam, meresapi kata-kata itu.

Dea menatap lurus ke depan, suaranya lebih pelan, "Jadi, menurut kamu… cinta itu apa?"

Chandra menarik napas dalam, lalu menatapnya. "Cinta itu… Cinta itu ketika kamu tidak perlu alasan kenapa kamu mencintainya."

Dea tersenyum kecil. "Jawaban yang bagus."

Hening sejenak menyelimuti mereka, hanya suara angin yang berhembus pelan yang terdengar.

Kemudian, dengan suara hampir berbisik, Dea berkata, "Kalau aku…" ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, "…aku tidak tahu sejak kapan, tapi aku rasa aku mulai tahu jawabannya."

Chandra menatapnya. "Dea..." ucapnya dengan suara yang lebih dalam dari biasanya.

Dea menoleh, matanya memantulkan cahaya lampu teras yang temaram. "Apa?"

Chandra menelan ludah. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi pikirannya masih berputar-putar.

"Apa yang tadi kamu maksud?" tanyanya akhirnya.

Dea menghela napas pelan. "Aku rasa aku mulai tahu… apa itu cinta."

Jantung Chandra berdebar lebih cepat dari yang seharusnya.

Dea tersenyum tipis, lalu menatap lurus ke depan. "Aku tidak bilang ini cinta, tapi…" ia berhenti sebentar, seolah memilih kata yang tepat, "aku merasa nyaman berada di dekat kamu."

Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi bagi Chandra, itu cukup untuk membuat dadanya sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Chandra akhirnya menghela napas panjang. "Dea, aku…"

Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, suara Raka terdengar dari dalam rumah.

"Woiii! Udah malem! Jangan ngobrol berduaan doang, sini main kartu dulu!"

Dea tertawa kecil, lalu berdiri. "Ayo, sebelum mereka curiga kita membicarakan hal yang aneh-aneh."

Chandra hanya bisa mengangguk, lalu mengikuti Dea masuk ke dalam vila. Di dalam, Lian sudah duduk dengan tumpukan kartu di depannya, sementara Raka duduk bersila di sampingnya.

"Nah, akhirnya dua orang yang paling dicurigai malam ini bergabung juga," goda Lian.

Andini yang sedang mengambil camilan langsung ikut nimbrung, "Dari tadi kalian membicarakan apa sih? Kok lama banget di luar?"

Dea tersenyum geli. "Ah, biasa saja, cuma berbicara random."

Raka memicingkan mata ke arah Chandra. "Beneran nih?"

Chandra menghela napas, lalu duduk di sofa tanpa menjawab.


Raka terkekeh. "Ya sudahlah, kita main saja. Yang kalah, harus jujur menjawab satu pertanyaan dari yang menang."

"Wah, bahaya nih!" komentar Lian sambil tertawa.

Mereka mulai bermain. Permainan berlangsung seru, penuh tawa dan teriakan protes setiap kali ada yang kalah. Sampai akhirnya, giliran Chandra yang kalah.

Raka langsung bersiap dengan senyum penuh arti. "Nah, ini yang kita tunggu-tunggu."




Komentar

  1. Waduh, ternyata Candra lagi galau nih karena cinta. Kira-kira siapa yang akan dipilih Candra, apakah Dea atau Andini.🤔

    Ataukah malah Raka biar jadi CR, bukan Cristiano Ronaldo tapi Candra dan Raka.😁

    BalasHapus
  2. Jadi inget dulu, bercita-cita jadi cerpenis. Tapi gak pernah dimuat walau sudah mencoba ngirim beberapa.

    BalasHapus
  3. Pas baca part 1, aku sukaaa, Krn Chandra tegas banget Ama si cewe mantan. 😅😄. Langsung ditegasin biar ga muncul2 lagi 🤭.

    Part 2 nya masih penasaran , Krn kok cendrung balik ke galau 🤣. Menunggu tulisan part 3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ngga galau ngga asyik, mbak.. wkwkwk.

      Hapus

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Di Balik Romantisme Yang Hilang - Cerpen

Sepenggal Kisah Dunia Maya (#2) - Cerbung

Misteri Di Balik Senja (#1) - Cerbung

Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai - Cerpen

Jejak Hati Di Minimarket - Cerpen