Apakah Memang Dia? (#3) - Cerbung

Apakah Memang Dia? (#3) - Cerbung 




apakah memang dia? (#3) - cerbung
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah


"Ihh, Abang beneran minta dicubit lagi nih!" jawab Devi sambil menggerakkan tangan kanannya, hendak mencubit kembali lengan Hermansyah.

Hermansyah menjauhi lengannya agar tak tercubit oleh Devi. Tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan WhatsApp dari HP yang berada di dalam saku kiri depan celana Hermansyah. Tangan kiri Hermansyah langsung masuk ke saku celananya untuk mengeluarkan HP itu, lalu dia menyapukan jari tangan kanannya untuk melihat isi pesan yang baru saja diterimanya. Setelah membacanya, Hermansyah langsung membalas pesan itu. Seketika Hermansyah sibuk dengan HP-nya sementara Devi hanya memandanginya.

Ketika dilihatnya Hermansyah sudah menyimpan kembali HP-nya, Devi langsung berkata, "Sekarang Abang gak bisa mengelak lagi, barusan Abang chat sama dia kan?"

"Dia? Dia siapa sih?" Jawab Hermansyah, pura-pura bingung.

"Udahlah, Bang. Jangan pura-pura terus, Abang udah gak bisa mengelak lagi, Devi masih ingat nada notifikasi itu, itukan nada notifikasi khusus milik dia."

"Sok tau kamu Dev. Tapi ngomong-ngomong, kok Devi masih ingat aja kalau nada notifikasi itu nada notifikasi khusus milik dia."

"Nah kah, akhirnya Abang mengaku juga...hahaha," jawab Devi sambil tertawa senang karena berhasil memancing Hermansyah untuk mengakuinya.

"Ops, kelepasan," jawab Hermansyah sambil nyengir.

"Makanya, Bang. Jangan belajar bohong, akhirnya ketauan juga kan, hahaha."

"Iya deh, iya. Abang mengaku kalah dan Devi yang menang."

"Karena Devi yang menang, berarti Devi boleh nambah dong, Bang. Asyiikkkk."

"Waduh!!!"

Akhirnya pesanan yang dipesan pun datang. Sambil makan Hermansyah bercerita tentang hubungannya yang kembali dekat dengan Ningsih dan berharap kedekatannya yang sekarang ini tak akan berhenti lagi di tengah jalan seperti hubungan sebelumnya.

**********

Jumat pagi, ketika Hermansyah sedang duduk sendiri sambil melamun, di kantin sebuah gedung tempatnya bekerja, ditemani segelas kopi dan sebatang rokok, seorang teman datang menghampiri dan menegurnya.

"Hayooo! Hari masih pagi, sudah melamun."

"Ahh, kamu bikin Abang kaget aja, Dev. Untungnya jantung Abang tidak copot dan kopi ini nggak tumpah."

"Makanya jangan kebanyakan melamun, Bang. Hari masih jauh malam sudah melamun. Apa yang dilamunin sih?"

"Biasa..."

"Biasa apa? Udahlah gak usah dilamunin terus, setiap orang pasti ada jodohnya. Kalau memang sudah waktunya datang, pasti akan datang, Bang."

"Tapi kapan datangnya, teman-teman Abang sudah pada punya istri dan anak, sedangkan Abang pacar aja nggak punya, Dev?"

"Gak tau kapan datangnya, yang sabar aja menunggunya dan ingat akan selalu ada cahaya di ujung terowongan, Bang."

"Iya, adikku yang manis."

"Maaf, nggak ada ribuan lecek, Bang. Hahaha. Ngomong-ngomong mau gak, Devi kenalin sama teman Devi, Bang?"

"Teman yang mana, Dev?"

"Ada deh tapi..."

"Gak deh, pasti becanda lagi, kan."

"Diihhh!  Begitu aja udah ngambek. Hihihi."

"Pasti ujung ujungnya Devi becanda lagi?"

"Gak, Bang. Kali ini Devi serius, tapi dia udah punya satu anak. Gimana mau, gak?"

"Punya satu anak ya, sebentar Abang pikir pikir dulu... tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok."

"Duaaarrrrrr!!!!"

"Bolehlah, lumayan dapat bonus 1, Dev."

"Tuh kan, giliran Devi serius malah Abang yang sekarang bercanda. Ya udah, gak jadi deh Devi kenalinnya."

"Baiklah, sekarang Abang serius, lalu kapan Devi mau mengenalinya kepada Abang?"

"Nanti sepulang kerja, Devi tunggu Abang di cafe depan, seberang jalan."

"Oke, kita deal."

"Deal, udah sekarang jangan melamun lagi... Kerja... Kerja... Kerja, Bang," ucap Devi sambil melangkah pergi.


Hermansyah memperhatikan Devi yang pergi meninggalkannya sampai tubuhnya hilang ditelan oleh tikungan di ujung sana. Dalam hatinya, ia bertanya, "Siapa kira-kira yang akan dikenalkan Devi kepadanya nanti sore sepulang kerja di kafe yang berada di seberang jalan?"

Hari itu Hermansyah merasa waktu berjalan sangatlah lambat. Ia ingin hari cepat cepat berganti sore, tapi waktu seolah enggan beranjak. Akhirnya, hari itu ia habiskan dengan banyak melamun.

**********

Hari sudah sore, waktu pulang pun tiba, tapi Hermansyah masih asyik duduk melamun di kursinya. Di meja kerjanya terlihat berkas-berkas pekerjaannya yang masih berantakan.

"Man, aku pulang duluan ya, maaf nih tidak bisa menemani soalnya istriku di rumah sudah menunggu. Hari ini aku sudah janji mau mengajaknya jalan jalan," ucapan Ahmad membuyarkan lamunan Hermansyah

"Memangnya sudah jam berapa kamu mau pulang, Mad?"

"Sudah jam setengah lima, Man."

"Hah?! Sudah jam setengah lima yang benar, Mad?" Hermansyah tampak kaget.

"Tuh lihat, masa jam sebesar itu nggak kelihatan, Man?" kata Ahmad sambil menunjuk ke arah jam dinding di sebelah kanannya.

"Lha iya sudah jam setengah lima. Tunggu saya sebentar, sore ini saya juga sudah ada janji bertemu dengan seseorang, Mad."

Hermansyah buru-buru merapikan pekerjaannya karena ia ingat selepas kerja ada janji bertemu dengan Devi yang ingin mengenalkannya dengan seseorang di kafe yang berada di seberang jalan.

"Makanya jangan melamun terus, seharian kerja cuma melamun aja. Apa yang dilamuni sih?"

"Sudah, ayo balik, ntar yang di rumah marah lho. Hehehe," jawab Hermansyah setelah merapikan pekerjaannya sekenanya. Mereka pun berjalan keluar ruangan menuju lift. Di depan pintu lift ada dua orang yang sedang menunggu. Tak lama kemudian lift pun datang dan mereka masuk ke dalam lift.

"Oh iya, saya numpang naik motor sampai di kafe yang ada di seberang jalan itu, Mad."

"Memang motormu kenapa, Man?

"Motor saya nggak kenapa-napa, cuma malas aja, nanti kalau balik mutarnya jauh dan pastinya macet."

"Ngomong-ngomong mau ketemu siapa di kafe, Man?" tanya Ahmad.

"Mau ketemu Devi."

"Devi apa Devi, Man. Aku jadi curiga, benar nih mau ketemu Devi? tanya Ahmad dengan pertanyaan yang sedikit menyelidik.

"Sudah sana keluarkan motornya, saya tunggu di depan ya!" ucap Hermansyah sambil menepuk bahu Ahmad. Saat lift sampai di lantai yang dituju dan pintunya terbuka, Hermansyah keluar dari lift. Ahmad pun segera keluar, lalu melangkah menuju parkiran motor.

Beberapa menit kemudian, sebuah sepeda motor dengan dua orang penumpang terlihat keluar dari gedung dan langsung berbaur dengan kepadatan lalu lintas. Tak sampai sepuluh menit, sampailah mereka di depan kafe tempat Hermansyah dan Devi berjanji untuk bertemu.

Letak kafe itu persis di depan tempat Hermansyah bekerja, namun dipisahkan oleh jalan raya dua arah berpembatas. Sedangkan jembatan penyeberangan terletak beberapa ratus meter setelah kafe.

"Oke terima kasih, Mad. Saya turun di sini. Mungkin Devi sudah menunggu di dalam kafe."

"Bener nih mau ketemu Devi, bukan ketemu sama yang lain?"

"Sudah sana cepat pulang, jangan sampai yang di rumah ngambek, nanti bisa ada banyak piring terbang, Mad."

"Oke Man, aku pamit. Semoga pertemuannya berjalan sukses dan jangan lupa hari Senin diceritakan ya, Man. Assalammualaikum," Ahmad langsung menjalankan motornya dan menghilang di keramaian lalu lintas jalan. 

"Wa'alaikumsalam," jawab Hermansyah.


Hermansyah menengok ke sana-sini mencari Devi. "Di mana itu orang? kok nggak kelihatan? Jangan-jangan dia..."

Hermansyah mengeluarkan HP-nya untuk menelepon Devi. Setelah menengok sana-sini, ia tidak melihat Devi. Namun belum sempat ia meneleponnya, Devi sudah datang dan menyapanya.

"Maaf Devi terlambat, tadi Devi ada sedikit urusan, Bang."

"Nggak apa-apa, Abang juga baru sampai dan belum juga dikasih minum. Katanya Devi mau..."

Devi langsung memotong perkataan Hermansyah. "Sebentar Devi panggilin dulu orangnya, Bang!" lantas devi berjalan masuk ke dalam kafe. Tak lama kemudian, dia telah kembali bersama seorang perempuan berjilbab berusia sekitar tiga puluh tahun.

Hermansyah menatap sebentar perempuan yang datang bersama Devi. Ia tersenyum begitu tahu siapa perempuan yang ingin dikenalkan Devi kepadanya. Demikian pula, perempuan itu, dia pun menatap dan ikut tersenyum.

"Cieee... Saling tatap dan saling senyum nih yeeee," ledek Devi ketika mendapati Hermansyah dan temannya yang hendak ia kenalkan saling tatap dan saling senyum.

Hermansyah mengulurkan tangan kanannya untuk mengajaknya berkenalan, dan perempuan itu pun menyambutnya.

"Hermansyah," ucap Hermansyah memperkenalkan dirinya.

 "Linawati, panggil saja Lina.." jawab perempuan itu.

"Nah biar enak ngobrolnya dan bisa sambil makan dan minum, gimana kalau kita cari bangku kosong di dalam kafe?" ajak Hermansyah kepada Devi dan Lina.

"Boleh, Bang," jawab Devi dan Lina berbarengan.

Mereka bertiga berjalan masuk ke kafe, mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Secara kebetulan, ada empat bangku kosong di sudut kafe. Mereka pun segera mengambil tempat di bangku-bangku itu. Setelah semua duduk, Hermansyah lalu menanyakan kepada Devi dan Lina apa yang ingin mereka pesan.

"Lina mau pesan apa?"

"Terserah Abang mau pesanin Lina apa."

"Kalau kamu Dev mau pesan apa?"

"Devi sebenarnya masih kenyang, tapi karena ada yang mau traktir, Devi pesan batagor sama jus alpukat aja, Bang" jawab Devi sambil tersenyum kecil.

"Masih kenyang kok pesannya batagor sama jus alpukat, kenapa bukan pesan kuaci aja, Dev?" ledek Hermansyah.

"Kuaci? Apa gak ada yang lain yang lebih wow selain dari kuaci, Bang?"

"Ada, sop sendal jepit butut."

"Au ah."

"Hahaha."

"Sudah Bang, jangan diledekin terus! nanti Devi bisa melayang tinggi ke atas awan kalau diledekin terus, Bang" Lina menimpali.

"Kalian berdua bener-bener kompak banget, padahal baru ketemu dan baru kenal, jangan-jangan kalian berdua sebenarnya sudah..."

"Berjodoh!" ucap Hermansyah dan Lina berbarengan, memotong perkataan devi.

Devi menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi dan duduk cemberut tak bisa lagi berkata-kata. Ditatapnya Hermansyah dan Lina bergantian di hatinya ada perasaan curiga dan menduga-duga apa keduanya sebenarnya sudah saling kenal, sekali lagi ditatapnya mereka berdua secara bergantian.

Hermansyah dan Lina pura-pura tidak tahu kalau mereka sedang diperhatikan Devi. Lina pura-pura melihat ke sekeliling kafe, sementara Hermansyah pura-pura melihat daftar menu kafe. Devi semakin curiga dan ingin bertanya, tapi ia mengurungkan niatnya ketika ia melihat Hermansyah memanggil pramusaji untuk memesan makanan dan minuman.

Seorang pramusaji wanita mengenakan T-shirt kuning dan rok hitam berusia dua puluh tahunan datang menghampiri mereka bertiga dan bertanya, "Mau pesan apa Mas dan Mbak?"

"Gado-gado, dan es campur dua. Batagor, dan jus alpukat satu," jawab Hermansyah sambil menatap pramusaji itu. 'Cantik juga,' katanya dalam hati.

"Hanya itu saja, tak ada tambahan yang lainnya, Mas dan Mbak?" tanya pramusaji itu lagi.

"Ada yang mau menambahkan pesanan lagi apa gak nih?" tanya Hermansyah kepada Devi dan Lina.

"Udah Bang, aku cukup gado gado dan es campur aja. Mungkin Devi mau pesan yang lainnya."

"Devi juga, cukup batagor sama jus alpukat aja, Bang."

"Sudah Mbak, itu saja dulu nanti kalau kurang baru ditambah lagi. Mungkin dua-duanya malu takut dibilang gembul, Mbak"

Pramusaji itu pun melangkah pergi meninggalkan mereka bertiga untuk membuatkan makanan dan minuman yang telah mereka pesan. Hermansyah memandangi kepergian pramusaji itu, dalam hatinya berkata, "Sempurna."



Bersambung

Part Sebelumnya: Apakah Memang Dia? (#2)

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung

O.D.O.P - Cerpen

Misteri Di Balik Senja (#2) - Cerbung

Apakah Memang Dia? (#1) - Cerbung