Aroma yang Dipilih Hutan - Cerpen

Aroma yang Dipilih Hutan - Cerpen




aroma yang dipilih hutan - cerpen


Suara tawa memenuhi ruang kafe vintage yang ramai, sementara aroma kopi dan kue yang baru dipanggang menguar memenuhi udara. Lima sekawan duduk melingkari meja bundar. Mereka adalah Adhie, Galih, Kinan, Sheila, dan Risa. Semuanya adalah mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta.

"Jadi, begini," kata Adhie sambil menggeser sebuah peta usang di atas meja. Jari telunjuknya berhenti di sebuah titik di ujung timur pulau Jawa, Taman Nasional Alas Purwo. "Proyek dokumenter semester ini kita ambil tema yang lain dari yang lain. Kita akan ke Alas Purwo."

Kinan meletakkan latte-nya. Matanya membulat. "Alas Purwo, Dhie? Hutan tertua di Jawa? Tempat berkumpulnya jin, katanya?" Nadanya terdengar cemas. Namun, Adhie tahu Kinan selalu mengikutinya.

"Justru itu!" seru Adhie, wajahnya berseri-seri. "Kita tidak akan mendokumentasikan flora dan fauna, tapi legenda dan mistisnya. Tempat itu adalah pusatnya energi. Aku sudah mengurus izinnya, termasuk pemandu lokal yang sangat tahu daerah sana. Lagipula, kita tidak akan masuk terlalu dalam. Hanya di area pantai Plengkung dan sekitar Situs Kawitan."

Sheila yang sejak tadi sibuk membersihkan lensa kameranya, mengangkat kepala. "Menarik. Cahaya di sana pasti gila-gilaan. Aku bisa dapat shot arsitektur alam yang belum pernah ada."

Namun, Risa yang hanya menyeruput tehnya tanpa suara, tiba-tiba angkat bicara. Suaranya halus, hampir berbisik. Aroma melati yang lembut, ciri khasnya, seketika menyebar tipis, menenangkan namun misterius. "Jangan. Jangan ke sana, Adhie. Ada sesuatu di sana... yang akan menuntut kembang tujuh rupa."

Semua mata tertuju padanya. Risa adalah keturunan dari keluarga yang masih memegang teguh tradisi kejawen, dan firasatnya sering kali tepat.

Galih mencoba menenangkan suasana. "Ris, jangan begitu. Itu cuma legenda. Lagipula, kita tidak bermaksud merusak apa pun. Hanya mendokumentasikan."

Risa menggeleng pelan, matanya yang gelap menatap lurus ke arah Adhie. "Bukan legenda. Itu peringatan. Mereka tidak suka diganggu, apalagi jika kita membawa... bunga yang mereka inginkan."

Adhie tertawa. "Aduh, Risa. Kita ini sudah modern. Kembang tujuh rupa itu hanya ritual penyucian. Aku janji, kita tidak akan melakukan ritual apa pun. Kita hanya membuat film."

Meskipun Risa masih tampak enggan, ia akhirnya mengangguk setelah perdebatan panjang. Mereka berlima adalah tim yang solid, dan keputusan Adhie adalah keputusan bersama.

**********

Perjalanan ke Alas Purwo memakan waktu dua hari, diakhiri dengan mobil kabin ganda sewaan yang melaju di jalan berbatu di Banyuwangi. Mereka tiba di basecamp kecil yang dikelola oleh pemandu mereka, seorang pria paruh baya bernama Pak Danang, di pinggiran hutan. Udara di sana seketika berubah. Dingin, lembap, dan membawa aroma petrichor yang kuat.

Malam pertama berlalu dengan persiapan logistik. Risa, seperti biasa, memilih tidur paling dekat dengan pintu, menjaga jarak. Kinan, yang selalu posesif terhadap Adhie, sering kali mencari perhatian. Sementara Galih dan Sheila, yang memiliki sifat mirip, sama-sama pragmatis dan suka humor gelap, sering menghabiskan waktu bersama mengecek peralatan dan mendiskusikan sudut pengambilan foto.

Kinan selalu merasa terancam oleh Risa, bukan karena kecantikannya, tetapi karena Adhie selalu memberi perhatian ekstra pada perkataan Risa, seolah-olah firasat Risa lebih berharga daripada semua logika.

Kinan, meskipun takut, tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia selalu ingin lebih dekat dengan Adhie, dan perjalanan ini adalah kesempatan.

"Adhie, kalau kita ke tempat mistis, apa kamu tidak takut?" tanya Kinan suatu sore, saat mereka berdua berjalan-jalan di sekitar basecamp, mencari sinyal ponsel yang hampir tidak ada.


Adhie merangkulnya erat. "Takut? Tentu saja. Tapi rasa penasaran lebih besar. Lagipula ada kamu. Selama kamu ada di sampingku, rasa takutku hilang."

Ucapan manis Adhie meredakan ketegangan Kinan. Mereka berhenti di bawah pohon Beringin tua yang akarnya menjulur seperti tirai.

Di pangkal pohon, Kinan melihat sesuatu yang kontras dengan warna cokelat tanah. Sebuah batu nisan kecil tanpa nama, dan di atasnya, ada beberapa tangkai bunga yang layu. Tapi, ada satu jenis bunga yang menarik perhatiannya: sebuah bunga putih kecil dengan kelopak rapuh dan aroma yang tajam.

Kinan teringat aroma Risa. Ia merasa ini adalah cara sempurna untuk menarik perhatian Adhie, mengambil sesuatu yang dianggap sakral oleh Risa dan mengubahnya menjadi miliknya.

"Aroma ini... seperti Risa," gumam Kinan.

Dia mengambilnya. Hanya satu kuntum. Bunga itu terasa dingin di tangannya.

"Ini aneh," kata Adhie, mendekat. "Sepertinya ini kembang tujuh rupa yang Risa bicarakan. Aku ingat ibuku pernah bilang, beberapa jenis bunga melambangkan nyawa. Kenapa ada di sini?"

Kinan, tanpa pikir panjang, menyelipkan bunga itu di rambutnya. "Anggap saja ini jimat keberuntungan. Aroma harumnya menenangkan."

Saat kembali ke basecamp, suasana tiba-tiba terasa tegang. Risa menatap Kinan dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Kinan, apa yang kamu bawa?" tanya Risa, suaranya lebih keras dari biasanya.

"Oh, ini," Kinan menunjuk bunga di rambutnya. "Cantik, kan? Aromanya enak."

Risa berjalan cepat ke arah Kinan, tangannya terangkat hendak mengambil bunga itu, namun Adhie menahannya.

"Risa, santai. Itu hanya bunga," kata Adhie.

"Itu bukan hanya bunga, Adhie!" Risa berteriak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Itu yang disebut kembang tujuh rupa. Itu bunga yang dijaga. Kamu tidak boleh membawanya! Itu akan membuat penunggu hutan tahu keberadaan kita!"

Galih dan Sheila berlari mendekat.

"Ada apa ini?" tanya Galih.

"Kinan mengambil bunga itu," jawab Risa, menunjuk bunga di rambut Kinan. "Kita harus mengembalikannya. Sekarang!"

Kinan, yang merasa malu karena dimarahi, melepaskan bunga itu. "Baiklah, baiklah! Aku tidak tahu itu akan jadi masalah besar!" Ia melemparkannya ke tanah.

Risa tidak puas. "Tidak cukup dilepas dan dilempar begitu saja. Kita harus mengembalikannya ke tempat semula, dengan permintaan maaf," desaknya.

Adhie, tidak ingin membiarkan kekasihnya pergi ke hutan saat senja, mencoba menenangkan. "Sudah, Risa. Besok pagi kita kembalikan. Kinan sudah membuangnya. Kurasa itu sudah cukup."

Risa menatap Kinan dan Adhie bergantian. Wajahnya pucat pasi. Ia mundur perlahan dan masuk ke tendanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aroma melati yang selalu menyertai Risa, kini terasa lebih kuat, menusuk hidung, seolah-olah bunga yang tadi dilempar Kinan kini mekar kembali.

Malam itu, Kinan dan Adhie terlibat pertengkaran kecil. Kinan merasa Risa terlalu berlebihan, sementara Adhie merasa Kinan ceroboh. Sementara itu, Galih mencoba berbicara dengan Risa, namun Risa hanya diam, menggambar simbol-simbol aneh di tanah dengan ranting.

"Ris, apa yang kamu gambar?" tanya Galih, cemas.

"Pelindung," jawab Risa singkat, matanya fokus. "Semoga mereka tidak datang malam ini."


**********

Esok harinya mereka memutuskan untuk mendirikan kemah di area Pantai Plengkung, meskipun Risa terus memprotes. Pantai ini terkenal dengan ombaknya yang besar. Namun, di balik itu, ada hutan lebat yang dianggap hutan larangan.

Setibanya di sana, Sheila segera sibuk dengan kameranya, mengabadikan ombak yang memecah karang. Adhie dan Galih mulai mendirikan tenda, sementara Kinan hanya duduk termenung, sesekali melihat ke arah Risa yang menjauh, seolah-olah mencari sesuatu.

Saat senja mulai turun dan mengubah langit menjadi gradasi oranye dan ungu yang menawan, Kinan merasa tidak enak badan. Kepalanya terasa pusing, ia pun menghampiri Adhie.

"Aku pusing," bisik Kinan pada Adhie. "Aku masuk ke tenda dulu, ya."

"Mau kutemani?" tanya Adhie, khawatir.

"Tidak usah. Aku hanya ingin tidur sebentar."

Kinan masuk ke dalam tenda. Baru lima menit berlalu, isak tangis lirih terdengar dari dalam tenda. Adhie tersentak dan segera berlari ke arah tenda, menyibak kain penutupnya, tetapi ia hanya mendapati kesunyian. Kinan tidak ada di sana.

"Kinan?" panggil Adhie.

Tidak ada jawaban. Tenda itu kosong. Hanya ada tas Kinan yang tergeletak. Adhie panik. Ia segera keluar dan memanggil teman-temannya.

"Kinan hilang!" seru Adhie.

Risa, yang sejak tadi duduk membelakangi mereka, berbalik. Matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.

"Dia diculik," kata Risa, suaranya bergetar. "Penunggu hutan mengambilnya karena bunga itu."

"Omong kosong!" seru Adhie, mencoba rasional. "Dia mungkin hanya pergi ke toilet atau jalan-jalan sebentar."

"Tidak, Dhie," sela Galih, wajahnya serius. "Di sini tidak ada toilet. Dan Kinan tidak akan pergi sendirian saat senja. Apalagi dia tadi pusing."

Sheila, yang biasanya paling skeptis, kini juga terlihat pucat. "Adhie, kita harus cari. Coba cek ke arah hutan."

Risa mencegah mereka. "Jangan ke sana! Jika kalian pergi tanpa perlindungan, kalian juga akan hilang! Mereka menginginkan bunga itu, dan Kinan adalah bunganya sekarang."

Adhie mencengkeram bahu Risa. "Apa maksudmu? Katakan padaku! Apa yang harus kami lakukan?"

Risa memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam. "Kita harus pergi ke Situs Kawitan. Itu adalah pusat energi Alas Purwo. Mungkin mereka membawanya ke sana. Aku akan memimpin jalan. Tapi... kita harus membawa persembahan."

Galih mendengarkan. "Persembahan apa?"

Risa menatap Galih. "Sesuatu yang murni. Sesuatu yang tidak ternoda."

**********

Malam merayap. Adhie, Galih, Sheila, dan Risa masuk ke dalam hutan hanya berbekal senter dan satu parang milik Adhie. Risa memimpin, jalannya cepat dan pasti, seolah-olah ia sudah tahu seluk-beluk hutan itu seumur hidupnya.

Hutan itu sunyi. Terlalu sunyi. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada burung malam. Hanya suara langkah kaki mereka dan detak jantung mereka yang menggema. Wangi melati yang tajam kini menyeruak, lebih kuat daripada bau hutan yang lembap.

Setelah berjalan hampir dua jam, mereka tiba di sebuah tempat terbuka. Di tengah-tengah lapangan kecil itu, berdiri tegak sebuah pohon beringin yang sangat besar, akarnya menjulur turun dan membentuk sebuah ruangan alami yang gelap.

"Ini Situs Kawitan, dan ini adalah gerbangnya," bisik Risa.

Adhie melangkah maju, senternya menyapu area. Di bawah pohon beringin, mereka melihatnya. Kinan, ia duduk bersandar pada akar pohon yang besar, matanya tertutup, wajahnya pucat. Di sekelilingnya, ada banyak tumpukan kembang tujuh rupa yang masih segar, menguar aroma yang memabukkan.


"Kinan!" seru Adhie, hendak berlari.
Risa menarik kerah jaket Adhie. "Jangan! Ada mereka di sana."

Adhie mengabaikannya. Ia harus menyelamatkan Kinan. Ia berlari ke arah Kinan.

Saat Adhie hampir mencapai Kinan, sesosok bayangan hitam tinggi muncul dari balik akar pohon. Sosok itu tidak memiliki bentuk yang jelas, namun auranya terasa mematikan.

Sosok itu berbicara, suaranya serak dan berderak, seolah-olah datang dari kedalaman tanah. "Kau datang, manusia yang berani mencuri bunga nyawaku... Kau membawa yang aku inginkan?"

Adhie terhenti. "Bunga? Aku sudah mengembalikannya! Jangan ganggu dia!"

"Bukan bunga itu. Dia... adalah gantinya. Aku menginginkannya. Dia sebagai gantinya kembang tujuh rupa, bunga kehidupan, yang diambil olehnya. Kini, darahnya yang harum adalah pengorbanan yang aku terima."

Tiba-tiba, Kinan membuka matanya. Matanya merah, namun pandangannya kosong. Kinan tersenyum aneh, senyum yang bukan miliknya.

"Adhie.." bisik Kinan, suaranya mendesis. "Aku adalah bunga itu sekarang. Aku cantik. Aku wangi. Mereka menyukaiku."

Adhie mundur, ketakutan. Sosok hitam itu perlahan-lahan mulai merasuk ke dalam tubuh Kinan, membuat aura Kinan semakin menyeramkan.

Risa maju, memegang sesuatu di tangannya. Itu adalah sebuah kotak kayu kecil.

"Aku membawanya," kata Risa, suaranya kini penuh wibawa. Aroma melati menguar kuat, menembus bau tanah dan hutan, seolah ia adalah bunga yang paling wangi di Situs Kawitan itu. "Aku membawa apa yang kalian inginkan. Biarkan dia pergi."

Sosok gelap itu terhenti, tertarik oleh kotak kayu di tangan Risa. "Apa yang kau bawa, gadis dengan aroma melati?"

Risa membuka kotak yang dibawanya. Di dalam kotak terbaring sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk bunga, yang terbuat dari tujuh jenis batu mulia yang berbeda warna.

"Ini adalah kalung pusaka leluhurku," kata Risa. "Dibuat dengan ritual kembang tujuh rupa yang sebenarnya. Bukan hanya bunga, tapi jiwa dari keturunan yang menjaga Alas Purwo ini. Selama ini, aku selalu mencium wangi melati karena aku adalah salah satu penjaga yang dipilih. Aku adalah persembahan yang murni. Aku yang kalian inginkan."

Adhie, Galih, dan Sheila terkesiap. Mereka tidak pernah tahu rahasia Risa.
Adhie berteriak. "Jangan, Risa! Tidak! Jangan lakukan itu!"

Risa tidak menghiraukannya. Ia menatap Adhie, matanya kini dipenuhi cinta yang tulus. "Sejak kita masih sekolah, aku mencintaimu, Adhie, diam-diam. Aku tahu kamu hanya melihat Kinan. Tapi, kali ini... aku yang akan menyelamatkanmu. Seluruhnya."

Ia melemparkan kalung itu ke tanah. Sosok hitam itu tertarik dengan kalung tersebut. Seketika ia keluar dari tubuh Kinan dan meraih kalung pusaka itu. Ketika kalung pusaka itu berhasil diraih olehnya, satu letupan dahsyat terjadi. Sosok hitam lenyap berganti dengan seorang wanita berusia dua puluhan yang berdiri tegak menenteng tabung gas Elpiji warna hijau. Matanya melotot. Dari mulutnya keluar teriakan keras, "Main ponsel terus, gas habis nih! Cepat beli sana, aku mau masak!"

Hermansyah sampai tersentak hebat. Ponsel yang dipegangnya terlepas, jatuh di lantai dengan bunyi brak. Ia menatap nanar wanita yang berdiri di depannya. "Astaghfirullah! Ningsih!"

Wanita yang dipanggil Ningsih menaruh tabung gas di depan Hermansyah, mengeluarkan suara yang cukup keras. "Cepat beli, kamu mau makan apa nggak!"

Hermansyah buru-buru mengambil tabung gas dan berjalan terhuyung menuju warung. "Sial! Sedang seru-serunya nonton cerita horor, makhluk paling manis di rumah menyuruh beli gas," gerutu Hermansyah.




Tamat

Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Jeda Setelah Luka - Cerbung

Bayang-Bayang di Bawah Bulan - Cerpen

Senyum Laras di Persimpangan - Cerpen

Kehangatan yang Terlarang - Cerpen

Luka yang Tak Layak Dicintai - Cerpen