Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung



rasa yang telah terbunuh (#1) - cerbung
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah


Motor ojek yang kutumpangi meliuk-liuk di jalan yang cukup ramai, menuju sebuah tempat yang kutuju untuk bertemu seseorang yang berjanji akan menemuiku di tempat itu. Pengojek Itu mengendarai motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Aku yang menjadi penumpangnya cukup takut dengan kecepatan dan cara dia mengendarai motornya.

Ketika berhenti di persimpangan jalan karena lampu lalu lintas yang menyala merah, kutepuk bahu pengojek motor itu sambil berkata, "Pelan-pelan saja, tak usah ngebut, aku juga tidak sedang dikejar-kejar waktu, Bang." Sang pengojek hanya mengangguk. Lampu berwarna hijau menyala, pengojek motor itu kembali menjalankan motornya, tapi kali ini tidak seperti tadi, ia menjalankan motornya sedikit lebih pelan.

Sebelum azan Magrib, sampailah aku di tempat yang kutuju. Pengojek menghentikan motornya di pinggir jalan, tepat di depan sebuah mal. Aku pun turun dan menyerahkan selembar uang untuk pembayaran ongkos ojek yang telah disepakati. Setelah menerima pembayaran, pengojek itu kembali melajukan motornya dan hilang di keramaian lalu lintas.

Sesaat aku menatap mal yang berdiri tepat di depanku, lalu kukeluarkan HP-ku untuk memotret mal itu dan kukirim fotonya melalui WhatsApp kepadanya dengan sedikit pesan, "Sudah sampai di sini." Tak lama kemudian dia membalas, "Iya, tunggu aku di situ, Mas." Kemudian kulangkahkan kakiku berjalan menuju ke mal tersebut. Di dalam hati aku berkata, "Semoga di dalam mall ini ada yang menjual power bank."

Sesampainya di dalam mal, aku berkeliling mencari tempat yang menjual power bank untuk mengisi baterai HP-ku yang daya tinggal sedikit. Aku khawatir HP itu mati sehingga aku bisa kehilangan kontak dengan orang yang telah berjanji ingin bertemu denganku.

Setelah berkeliling beberapa lantai di mal, akhirnya aku menemukan sebuah toko yang menjual power bank. Dengan membayar 355.000 rupiah, aku pun mendapatkan sebuah power bank. Meskipun isinya hanya setengahnya, itu sudah cukup untuk mengisi penuh baterai HP-ku, dan aku tidak khawatir lagi akan kehilangan kontak dengannya. Setelah mendapat power bank, aku bergegas turun menuju masjid yang tak jauh dari mal untuk salat Magrib karena azan Magrib sudah terdengar. Tak lama setelah selesai salat, terdengar suara notifikasi WhatsApp dari HP yang ada di saku celanaku. Kukeluarkan HP itu dan segera membaca chat WhatApp-nya.

"Oke, aku keluar rumah ini."

"Iya, hati hati jalannya," jawabku.

Kurang lebih, setengah jam kemudian, terdengar lagi suara notifikasi WhatsApp darinya.

"Aku sudah sampai, Mas di mana?"

"Di depan Alfa mart," jawabku

"Oke aku ke situ."

Tak lama kemudian

"Ningsih."

"Mas Her."

" Akhirnya, ada pertemuan di cerita kita, Sih."

"Alhamdulillah. Iya, Mas. "

Sebenarnya aku ingin sekali memeluknya, namun tak mungkin kulakukan sebab tempat aku dan Ningsih bertemu cukup ramai. Akhirnya aku hanya menjabat tangannya. Setelah berjabat tangan dan melepaskan kerinduan sesaat, Ningsih mengajakku duduk di tikar dekat pedagang kopi. Ia pun memesan dua gelas kopi dan beberapa cemilan.

"Mas, kok tidak bilang-bilang kalau Mas mau ke sini? Kalau sedari awal Mas bilang kepadaku, aku kan bisa menjemput Mas di terminal dan mengajak Mas ke rumahku."

"Kan waktu itu aku sudah pernah bilang tanggal sekian sampai tanggal sekian di bulan ini, insyaallah aku akan ke rumah Ningsih, mungkin Ningsih lupa."

"Masa iya aku lupa, Mas?"

"Coba Ningsih ingat-ingat lagi atau buka chat kita dan dicari, pasti ada chat dariku yang mengatakan kalau aku mau ke sini tanggal segini."

"Cari di chat, ogah! Pasti udah jauh banget. Kita kan chat setiap hari, sehari saja bisa sampai puluhan, mungkin ratusan chat. Bakalan pegel jari dan mataku, Mas."

"Kan ada aku yang bantuin, bantuin doa. Hahaha."

Ningsih memukul gemas bahuku sambil berkata, "Mas tuh ya, nanti aku gigit lho."

"Masih ingat aja mau mengigitku, kirain udah lupa. Hahaha."

"Ingat dong! Dan juga aku masih ingat, aku akan menimpuk Mas pakai bakiak kalau Mas meledek aku terus."

"Alhamdulillah, untungnya malam ini Ningsih pakai sendal, jadi aman buat meledekin. Hahaha."

"Tuh kan. Aku gigit beneran nih!" ucap Ningsih sambil menarik tanganku.

"Gigit aja, aku rela kok. Hahaha."

Ningsih melepas tanganku dan mukanya langsung cemberut. Mungkin kalau tempat ini tidaklah ramai, dia benar-benar akan mengigit tanganku.

"Udah ngga usah cemberut gitu ntar hilang manisnya."

"Biarin!!"

Tiba-tiba HP yang kuletakkan di depanku berbunyi. Sebuah pesan masuk. Aku langsung membukanya dan tersenyum sendiri membaca isinya. Ningsih menatapku dan bertanya, "Inbox dari siapa, Mas?"

Kusodorkan HP yang kupegang kepadanya sambil berkata, "Nih dibaca sendiri inbox-nya."

Ningsih tak langsung mengambil HP yang kusodorkan, ia tampak ragu dan hanya menatapku. Aku menatapnya lembut dan mengangguk, dan akhirnya Ningsih pun mengambilnya dan membacanya. Setelah membacanya, dia kembali menatapku. Lalu aku pun berkata, "Digulir aja ngga apa-apa kok." Ningsih pun menggulirnya  dan membaca beberapa pesan sebelumnya, ia pun terlihat tersenyum.

Baca juga: Apakah Memang Dia?

"Mas ini senang banget jailin orang, waktu itu Mas Irul, sekarang Kang Jaka."

"Lagi iseng, Sih.. hehehe"

"Nih, langsung dibalas biar Kang Jaka ngga nungguin, Mas," ujar Ningsih sambil menyerahkan HP yang dipegangnya kepadaku.

Aku pun mengambil HP itu, langsung membalas inbox dari Kang Jaka, "Ya sekarang juga sama kan, ntar juga orangnya online lagi."

Tak lama kemudian notifikasi pesan masuk kembali terdengar. Aku langsung membukanya.

"Tapi kan jadi lama dapat balasannya."

"Ya gitu deh, mungkin habis lebaran baru dibalas."

"Lama juga ya... Hmmm."

"Sabar aja ya, Kang."

"Bwahahahaha.. Jadi saya yang ngebet."

"Nah loh. Hahaha."

Kuletakkan kembali HP-ku di depanku, dan ketika HP itu berbunyi lagi, kubiarkan saja karena aku merasa tak enak kepada Ningsih kalau aku hanya sibuk sendiri dengan HP-ku. Kuajak mengobrol kembali Ningsih dan kami pun kembali larut dalam obrolan.

Semakin malam, tempat kami bertemu semakin ramai. Kebetulan malam ini malam Minggu, maka tak heran banyak pasangan kekasih, keluarga, atau bahkan mereka yang masih sendiri datang ke tempat ini untuk melepaskan penat atau sekadar cuci mata sambil menikmati hiburan. Ada pertunjukan musik dan seni budaya, entah seni budaya apa namanya aku tak tahu karena baru sekali ini melihatnya.

"Mas, hari sudah semakin malam. Sebelum Ningsih pamit pulang, kita makan wedang ronde dulu. Waktu itu Mas pernah bilang kalau Mas belum pernah makan wedang ronde, kan?"

"Oh ya, aku sampai lupa. Ayo kita makan wedang ronde, tapi kita makannya di mana, Sih?"

"Itu di belakang panggung, di situ ada penjual wedang ronde, Mas."

Aku dan Ningsih segera berdiri. Sebelum beranjak ke penjual wedang ronde di belakang panggung, aku lebih dulu membayar kopi dan cemilan yang sudah kami nikmati. Setelah membayar semuanya, aku dan Ningsih berjalan menuju belakang panggung untuk menghampiri pedagang wedang ronde. Begitu sampai, Ningsih tanpa ragu memesan dua mangkuk. Seperti saat minum kopi dan makan cemilan, aku dan Ningsih makan wedang ronde ini sambil duduk lesehan di atas tikar.

Tak lama kemudian dua mangkuk wedang ronde datang. Ningsih memberikan semangkuk kepadaku sambil berkata, "Akhirnya kesampaian juga makan wedang rondenya, Mas."

"Iya, terima kasih, Sih," jawabku.

Sebelum menyantap wedang ronde yang diberikan Ningsih, aku mengaduk-aduknya, penasaran apa saja isi semangkuk wedang ronde. "Oh, ternyata isi semangkuk wedang ronde ngga berbeda jauh dengan semangkuk sekuteng," ucapku dalam hati. Lalu aku pun mencicipinya, sengaja memilih bulatan mirip bola pingpong yang tak ada di sekuteng.

Baca juga: Dia Yang Kusayang

Ningsih memperhatikanku dan dia lantas bertanya setelah melihatku mencicipi wedang ronde, "Gimana rasanya, Mas?"

"Sepertinya, aku sudah pernah makan yang seperti ini. Sebentar, aku ingat-ingat dulu di mana aku pernah memakannya."

"Di mana, Mas?" tanya Ningsih penasaran.

"Di Tawangmangu, ya di Tawangmangu. Aku ingat pas makan bola-bolanya ini. Rasanya sama seperti yang pernah kumakan di Tawangmangu."

"Bola-bolanya itu yang disebut ronde, Mas."

"Oh..."

"Berarti Mas udah pernah makan wedang ronde dong," ucap Ningsih, dan terdengar ada sedikit kekecewaan di suaranya.

"Iya, tapi baru ini kali aku makan wedang rondenya bersama Ningsih," jawabku sedikit menghibur.

"Ah Mas ini."

"Oh ya, boleh apa ngga aku datang ke rumah Ningsih?"

"Boleh, kalau memang Mas mau datang ke rumahku boleh-boleh aja, tapi jangan sekarang, Mas. Ini sudah malam, ngga enak sama tetangga. Mas tau sendiri, kan, kehidupan di kampung seperti apa."

"Iya, aku mengerti kok. Aku ke rumah Ningsih bukan malam ini tapi besok pagi."

"Tapi jangan terlalu pagi juga, aku mau mengantar Ibu dulu ke balai desa."

"Jam setengah sembilanan, ngga terlalu pagi, kan?"

"Kalau jam setengah sembilan, aku sudah di rumah, aku cuma ngantar aja nggak nungguin."

Tanpa sadar semangkuk wedang ronde telah habis. Ningsih pun pamit pulang karena hari memang sudah cukup malam, dan aku melihat ada kebahagiaan di wajahnya saat ia beranjak pulang. Kupandangi kepergian Ningsih sampai dia tak lagi terlihat, lalu aku berjalan menuju mal untuk membeli pakaian ganti, sebab aku tak membawa pakaian lain selain yang sudah dua hari ini melekat di badanku. Setelah mendapatkan pakaian dan sebuah tas punggung kecil, aku keluar dari mal dan kembali melihat-lihat keramaian di depan mal. Sekitar jam setengah dua belas malam, aku baru beranjak dari tempat itu untuk mencari penginapan.

Aku berjalan menghampiri salah satu pedagang yang ada di situ dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan sebuah kamar untuk menginap. Sebuah nama penginapan yang tak jauh dari tempat itu berhasil kudapatkan, dan aku pun segera menuju ke sana. Sesampainya di penginapan tersebut, aku langsung menuju meja penerima tamu untuk memesan kamar. Untungnya, masih ada kamar yang kosong, sehingga aku tak perlu lagi mencari-cari penginapan yang lain.

Rp185.000 semalam. cukup mahal juga untuk sebuah kamar ber-AC yang tak terlalu besar. Kamar hanya berisi satu tempat tidur berukuran sedang, sebuah meja kecil, sebuah televisi, dan kamar mandi. Aku lupa menanyakan apakah besok pagi dapat sarapan atau tidak.

Sebelum tidur, aku cas dulu power bank yang tadi kubeli. Semoga saja saat pagi daya power bank sudah penuh. Aku juga mengecek HP untuk melihat notifikasi apa saja yang masuk. Ada cukup banyak notifikasi, dan aku hanya membaca serta membalas yang perlu, seperti chat dari Ningsih yang mengabarkan kalau dia sudah sampai di rumah dan bertanya apa aku sudah dapat tempat untuk menginap. Aku juga inbox Kang Jaka dan kebetulan kulihat dia sedang online.

Baca juga: Dara, Gadis Dunia Maya

Tak lama kemudian terdengar kembali satu notifikasi inbox. Aku langsung membukanya. "Oh iya, emang udah lama Mas Her memendam perasaan Mas Her sama dia?"

"Belum lama juga, sepertinya baru-baru aja."

"Berapa bulan?"

"Setengah tahun lebih, Kang."

"Hah!!"

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa cuma syok dikit. Setengah tahun, ya lama lah. Kok Mas Her diam-diam aja?"

"Oh ternyata lama, tapi 'kan belum setahun. Lah memangnya harus teriak-teriak ya, Kang?"

"Iya sih. Ya seenggaknya, ada nunjukin dikit gitu. Tapi ya nggak tau juga, mungkin Mas Her udah nunjukin banyak via privat."

"Malah saya ngga tau kalau lewat privat."

"Owhh, Jadi kayak semacam pemuja rahasia gitu dong."

"Mungkin, Kang."

"Uhuuyy! Jadi ingat lagunya Sheila on Seven."

"Ngga tau lagunya saya, Kang.."

"Tinggal cari di google, Pemuja Rahasia - Sheila on Seven."

"Nanti dah di cari lagunya. Maaf, saya udah ngantuk mau tidur dulu, Kang."

"Oke, saya juga udah ngantuk, Mas."

Mungkin karena tidurku yang terlalu nyenyak, atau memang aku yang terlalu lelah, aku baru terbangun sekitar pukul enam pagi. Aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, aku berganti pakaian dengan pakaian yang kubeli semalam. Setelah merasa semua beres, aku keluar dari kamar. Perutku sudah terasa lapar, aku berencana mencari makan sekaligus menyerahkan kunci kamar dan berpamitan. Kukunci pintu kamar itu, lalu kuserahkan kuncinya kepada penjaga penginapan yang berjaga di meja penerima tamu. Aku memang hanya menyewa kamar untuk semalam saja, dan aku pun berpamitan. Ketika aku hendak berjalan keluar, penjaga penginapan itu berkata sambil menunjuk ke sebuah meja, "Tidak sarapan dulu, Mas? Itu sudah disediakan di atas meja." Aku melihat ke meja yang ditunjuk oleh penjaga penginapan. Di atas meja itu memang aku melihat ada beberapa piring nasi goreng dan beberapa gelas teh hangat. "Ternyata dapat sarapan juga," ucapku dalam hati. Kuambil sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat, lalu aku duduk di sebuah bangku di sudut untuk menikmati sarapanku.

Tak butuh waktu lama, nasi goreng serta segelas teh itu sudah berpindah ke dalam perut. Nasi gorengnya lumayan enak; ada suwiran ayamnya, irisan sosis dan juga irisan ketimun. Namun, sayangnya porsinya sedikit, tidak sepiring penuh. Tapi lumayanlah, bisa untuk mengganjal perutku yang sedang lapar. Tehnya teh manis hangat, jadi pas banget untuk menemani menu sarapan. Setelah semuanya ludes masuk ke dalam perut, aku pun pergi meninggalkan penginapan itu.

Sampai di luar penginapan, aku melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiriku, waktu telah menunjukkan pukul delapan kurang tujuh menit. Segera kukeluarkan HP dari saku celana untuk memesan ojek online. Setelah memastikan ada yang merespon dan bisa mengantarkanku ke rumah Ningsih, kukirimkan pesan WhatsApp kepadanya, "Sedang menunggu ojek online nih."

Sepersekian detik kemudian, masuk pesan balasan dari Ningsih, "Mas benaran mau datang ke rumahku?"

Baca juga: Sepenggal Kisah Dunia Maya

"Benaran, lah. Masa jauh-jauh dari Jakarta ke sini cuma bertemu Ningsih saja tanpa berkunjung dan tau rumah Ningsih, rugi banget dong. Lagi pula ngga ada yang melarang, kan, kalau aku datang ke rumah Ningsih?"

"Ahh, Mas ini! Siapa juga yang melarang Mas datang ke rumah? Baiklah, aku tunggu di rumah. Nanti dari rumah kita pergi ke tempat yang pernah aku ceritakan dan ingin kukunjungi bersama Mas."

"Tempat yang mana? Tempat yang belum lama dikunjungi itu, ya?

"Bukan, tempat itu kurang asyik, Mas. Malas aku datang lagi ke sana."

"Kurang asyik atau....... hahaha"

"Ahh, Mas ini! Jangan menggodaku terus, nanti aku gigit lho."

"Waduhhh..."

"Makanya... Tempat yang pernah kujadikan status WhatsApp, masa Mas lupa?"

"Oh tempat yang itu, aku lihat di YouTube, tempatnya sih kelihatannya lumayan asyik juga. Aku jadi penasaran dan ingin tau tempatnya seperti apa?"

"Tempatnya adem dan enak buat mengobrol, Mas."

"Memangnya Ningsih sudah pernah ke sana?"

"Belum... hihihi"

"Hahaha."

Ojek online yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dia berhenti di seberang jalan tepat di depanku dan aku pun mengakhiri chat dengan Ningsih dengan mengirimkannya pesan, "Mau berangkat nih. Tunggu yang sabar ya."

"Oke..."



Bersambung ke: Rasa Yang Telah Terbunuh (#2)

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung

O.D.O.P - Cerpen

Misteri Di Balik Senja (#2) - Cerbung

Apakah Memang Dia? (#1) - Cerbung