Dara, Gadis Dunia Maya (#2) - Cerbung

Dara, Gadis Dunia Maya (#2) - Cerbung




dara,gadis dunia maya - cerbung
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah


"Man, besok jadikan ikut aku pulang ke Banjarnegara?" tanya Arief, teman kerjaku ketika aku bertemu dengannya di dalam sebuah lift yang membawa kami naik ke lantai atas tempat kami berdua bekerja.

"Jadilah, kan aku sudah mengambil cuti kalau sampai nggak jadi bisa mati bego aku di rumah, Rief. Dan aku juga ingin tau keramaian pesta pernikahan di Banjarnegara itu seperti apa. Selama ini aku belum pernah menghadiri pesta pernikahan di sana, Rief," jawabku.

"Oke, Man. Kalau jadi, nanti aku kenalin kamu sama saudara sepupuku. Barangkali aja kamu berjodoh dengannya."

"Lha, kan sepupu kamu besok mau nikah kok malah mau dikenalin ke aku, bisa digebukin orang sekampung aku, Rief?"

"Bukan yang mau menikah yang mau aku kenalin, tapi sepupuku yang lainnya, Man. Cuma dia tak secantik gadis kota, maklumlah dia cuma gadis kampung biasa."

"Oh, bolehlah... Walau gadis kampung, menurutku gadis-gadis Banjarnegara itu cantik-cantik. Aku pernah..."

"Pernah apa, Man? Kok nggak diterusin?"

"Pernah ke Banjarnegara, tepatnya pernah lewat sana dan melihat gadis Banjarnegara, Rief." Huff... hampir saja aku keceplosan mengatakan kalau aku pernah menjalin hubungan dengan gadis asal Banjarnegara.

"Oke, Man. Besok aku jemput kamu di rumah selepas Ashar."

"Oke."

Pas keluar dari lift kami pun berpisah menuju ruang kerja masing-masing, walaupun satu tempat kerja aku dan Arief berbeda bagian.

**********

Esok sorenya, sebuah mobil berjenis MPV warna hitam berhenti tepat di depan rumahku. Seorang pemuda turun dari dalam mobil, lalu memberi salam.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," aku langsung menjawabnya, karena aku memang sudah menunggu kedatangannya.

"Siap berangkat, Man."

"Siap, Rief. Sebentar aku pamit dulu sama we w orang tuaku."

Aku pun masuk ke dalam untuk pamit kepada orang tuaku. Kembali keluar dengan menenteng sebuah tas punggung, yang berisi beberapa lembar pakaian untuk salin.

"Cuma bawa itu aja, Man?" tanya Arief.

"Iya, memang mau bawa apalagi?"

"Kirain kamu mau bawa rumah juga," kelakar Arief.

"Bolehlah kalau bisa," balasku sambil tertawa.

Aku dan Arief berjalan menuju mobil. Arief menyuruhku duduk di bangku depan untuk menemaninya menyetir. Di bangku belakang aku melihat kedua orang tuanya, adik perempuannya, dan seorang gadis muda yang baru pertama kali kulihat.

Kunci kontak dimasukkan, mesin distarter, dan mobil pun berjalan pelan membawaku menuju salah satu kabupaten yang ada di Jawa Tengah, Kabupaten Banjarnegara


Mobil terus berjalan membelah keramaian jalan kota Jakarta, dan perlahan namun pasti meninggalkan kota metropolitan ini. Kini, mobil sudah berada di jalan tol. Arief mengendarai mobilnya cukup santai, dengan kecepatan rata-rata di jalan tol. Sesekali aku mengajaknya ngobrol. Keadaan di luar mobil sudah gelap karena sudah lewat Magrib. Lampu-lampu penerang jalan tol  sudah menyala, begitu juga dengan lampu-lampu lainnya.

"Rief, cari rest area dulu, kita istirahat sekalian salat Isya. Sudah jam delapan lewat," bapak Arief berkata.

"Iya, Pak. Nanti kalau ada rest area, kita berhenti di situ," jawab Arief.

Beberapa menit kemudian sebuah rest area terlihat, Arief mengarahkan mobilnya memasuki area tersebut untuk istirahat sejenak. Setelah mobil berhenti, kami semua turun. Kedua orang tua Arief bersama adik dan gadis muda yang belum kukenal langsung menuju musala. Aku bersandar pada badan mobil, kukeluarkan sebatang rokok membakar dan mengisapnya.

"Ayo kita salat, Man."

"Sebentar, Rief. Aku merokok dulu, mulut udah asam dari tadi."

"Ya udah aku duluan. Nanti selesai salat kita makan dan istirahat sejam, baru kita lanjut lagi."

"Oke, nanti setelah rokok ini habis, aku susul, Rief."

Arief mengangguk dan berjalan menyusul keluarganya.

Sepeninggal Arief aku melanjutkan merokok sambil bersandar di badan mobil. "Sudah lama ingin ke Banjarnegara tapi tak jadi-jadi, pas jadi sayangnya cerita itu sudah berakhir," batinku sambil menghela napas panjang.

Tak terasa rokok yang kuisap hampir habis dan aku pun membuangnya. Sebelum pergi menyusul Arief, kukeluarkan ponselku lalu mengambil foto rest area dan membagikan foto tersebut ke Facebook dengan menambahkan sedikit keterangan: "Istirahat sejenak sebelum lanjut menuju Banjarnegara."

Kuaktifkan mode pesawat pada ponselku sebelum memasukkannya ke saku celana, lalu aku berjalan menuju musala yang ada di rest area untuk menunaikan salat Isya. Selesai salat, aku melihat-lihat ke seputaran musala mencari Arief dan keluarganya, tetapi tak kulihat mereka semua. Aku melangkah keluar dari musala, mengeluarkan ponsel, lalu menonaktifkan mode pesawat. Ketika mode pesawat dinonaktifkan dan jaringan sudah terhubung kembali, notifikasi dari Facebook dan WhatsApp pun langsung terdengar. Aku tak menghiraukan semua notifikasi yang masuk, dan langsung menelpon Arief untuk menanyakan lokasinya, "Ada di mana? Kok kucari-cari di musala nggak ada?" "Di rumah makan, lagi makan ini." "Oke aku ke situ." Dan aku pun bergegas melangkah menuju rumah makan yang ada di rest area.

Setibanya di rumah makan aku melihat Arief dan keluarganya sedang makan di satu meja dan aku pun langsung menghampirinya.

"Makan dulu atau minum dulu, Man," ucap Arief setibanya aku di dekatnya.

"Iya, Nak Herman. Makan dulu setelah kenyang baru kita lanjut. Kalau perut kenyang di mobil kan bisa tidur," sambung ibunya Arief.

Aku pun duduk di sebelah Arief, tepat di depanku duduk gadis muda yang belum aku kenal. Meskipun dia sudah beberapa jam bersamaku dalam satu mobil, aku belum berkenalan dengannya. Kuperhatikan, wajahnya cukup cantik dan usianya mungkin beberapa tahun lebih muda dariku. Dandannya sangat sederhana, hanya memakai lipstik tipis.

"Namanya Eni. Eni Setiawati, Nak Herman," ucap ibunya Arief

"Ohh," ucapku gelagapan.

"Santai aja, nggak usah gelagapan gitu, Man,"

"Gimana nggak gelagapan, Rief? Lagi enak-enaknya mandangin bidadari, eh diceletukin ibu, jadi pengen malu aku, Rief." ucapku sambil tertawa

Semua ikut tertawa kecuali Eni. ia duduk terdiam memandangiku sebentar, lalu melanjutkan makannya.

"Eni ini masih sendiri lho, Man."

"Masa sih! Gadis secantik bidadari masih sendiri, nggak percaya aku, Rief?"

"Kalau nggak percaya, tanya saja sama ibuku, Man."

"Masa tanya sama ibu, tanya saja sama orangnya langsung, Nak Herman."

"Herman mana berani tanya langsung ke Eni, kenalan aja dia nggak berani," bapaknya Arief menimpali sambil tertawa.

"Udah, udah... Lihat tuh mukanya Eni udah merah, tapi tetap cantik sih hahaha."

"Mukanya mas Herman juga merah tuh."

Serentak semua tertawa.

Setelah pesananku diantarkan oleh pelayan rumah makan, aku pun langsung makan. Kami makan sambil mengobrol ke sana kemari. Dari obrolan itu, aku jadi tahu siapa Eni, ternyata Eni masih saudara dengan Arief, walau saudara jauh. Orang tua Eni masih sepupu dengan orang tua Arief.


Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. Aku menawarkan diri untuk menggantikan Arief menyetir agar dia bisa istirahat, tetapi Arief menolaknya. Dia bilang, temani saja dia di depan sambil sesekali mengajaknya mengobrol agar tidak mengantuk. Perjalanan masih cukup jauh, mungkin menjelang subuh baru sampai, paling cepat pukul dua atau tiga pagi.

Sambil mengobrol dengan Arief, aku membuka ponselku untuk melihat notifikasi, baik dari WhatsApp ataupun Facebook. Terutama di Facebook, banyak sekali notifikasi masuk yang mengomentari foto yang kubagikan.

"Wah si Herman mau ke Banjarnegara, ternyata diam-diam, dia berhubungan akrab sama Dara," komentar dari Bayu.

"Tau tuh orang, bilangnya kagak deket, tau-tau nyamperin ke rumahnya," balas Jaka.

"Gue jadi curiga, jangan-jangan dia yang melarang Dara main FB. Makanya sekarang Dara jarang online," Ahmad menimpali.

"Wkwkwk," aku pun membalasnya.

"Jiahhh... gubrakkkk... dia cuma ketawa. Parah luh, Man," sambar Deni.

"Udah-udah, kita doain aja semoga dia sama Dara berjodoh. Biar dia kagak galau terus... Xixixi," ucap Shanty.

Aku hanya tersenyum-senyum dan ketawa kecil membaca komentar-komentar dari Pasukan Bocor Alus.

Melihat aku tersenyum-senyum dan tertawa sendiri, Arief lalu bertanya, "Kenapa kok senyum-senyum dan ketawa sendiri, Man?"

"Ini komentar teman-teman Facebook-ku pada gokil semua, Rief."

"Oh kirain aku kamu udah stress gara-gara kekenyangan makan, Man."

"Kalau kekenyangan bukan stress, tapi kebiasaan orok yang kumat, Rief."

"Kebiasaan orok?"

"Iya. Kebiasaan orok, alias ngantuk, Rief."

"Kalau ngantuk tidur aja, yang lain juga udah pada tidur tuh."

Aku menengok ke belakang. Kulihat semuanya sudah tertidur. Saat melihat Eni, dalam hatiku berkata, "Lagi tidur aja terlihat cantik, apalagi kalau diajak kondangan."

"Aku temani kamu menyetir aja, Rief, biar bisa tetap fokus dan nggak tertidur"

"Terima kasih, Man. Itu sebabnya aku mengajak kamu ke Banjarnegara, biar aku menyetir ada teman mengobrolnya, Man."

"Ngomong-ngomong, sepupu kamu  menikahnya sama orang mana, Rief?

"Sama orang Banjarnegara juga, cuma beda kecamatan aja, Man."

"Sama orang Banjarnegara juga, pasti banyak upacara adatnya nih. Jadi semakin penasaran aku sama keriuhan pernikahan nanti."

Kami asyik mengobrol dan tak terasa perjalanan sudah memasuki kabupaten Banjarnegara. 

"Sebentar lagi kita sampai, Man." 

Aku tak menyahuti perkataan Arief, mataku fokus memandangi sebuah masjid yang ada di depan. Ketika mobil melewati masjid itu, aku terus memperhatikan. Karena mobil berjalan cukup kencang, nama masjid itu tak  sempat terbaca olehku. "Masjid itu seperti pernah kulihat, sayang namanya tak sempat kubaca," batinku. Otakku berpikir keras mencoba mengingat-ingat masjid yang baru saja terlewati itu. Kembali aku membatin, "sepertinya aku pernah melihat masjid itu, tapi kapan? Aku kembali menengok ke belakang melihat masjid itu. 

"Ada apa, Man?" tanya Arief.

"Itu tadi masjid yang baru saja kita lewati bentuknya bagus, Rief," jawabku, dan semoga saja Arief tak curiga.

"Oh, masjid itu. Masjid itu namanya Al-Munawaroh, Man. Bentuk bangunannya memang bagus."

Mendengar nama masjid tersebut aku berkata dalam hati, "Al-Munawaroh... Sepertinya aku pernah mendengar namanya dan sepertinya aku juga pernah melihat bentuknya, tapi kapan. Meskipun beberapa kali aku pernah ke Banjarnegara, rasa-rasanya aku belum pernah ke tempat ini."

"Masjid Al-Munawaroh?" tanyaku memperjelas.

Iya, masjid Al-Munawaroh. Memangnya kenapa, Man? Ada yang aneh kah? tanya Arief menyelidik.

"Munawaroh, namanya kayak nama temanku, Rief."

"Benar kah?"

Iya, Rief. Teman sekolahku."

"Teman atau teman, Man?

"Teman, Rief," ucapku sambil tertawa.


Sekali lagi aku menengok ke belakang melihat masjid tersebut yang sudah tertinggal cukup jauh. Aku kembali mencoba mengingat-ingat kapan aku pernah melihat masjid itu.

"Tenang saja, Man. Nanti juga kamu bisa melihat masjid itu lagi."

"Biar kutebak. Nanti pulangnya pasti kita lewat sini lagi kan, Rief.'

Iya, Man. Pulangnya memang kita akan lewat sini lagi, tapi bukan itu sebabnya, Man."

"Lalu?"

"Kamu ingat nggak, kalau aku mau kenalkan kamu sama sepupuku?"

"Ingat, Rief. Lalu apa hubungannya sama masjid itu?"

"Dia tinggal tak jauh dari masjid itu, Man."

Mendengar jawaban Arief, aku langsung ingat kapan aku pernah melihat masjid itu. Aku melihatnya di dalam salah satu foto yang dikirimkan Dara kepadaku. Masjid itu menjadi latar belakang foto Dara bersama temannya, yang dikirimnya lewat WhatsApp. Saat aku bertanya itu di mana, Dara menjelaskan itu tak jauh dari rumahnya dan namanya adalah Masjid Al-Munawaroh.

"Jangan-jangan sepupu kamu..."

"Jangan-jangan sepupu aku apa,  Man?"

"Marbot masjid, Rief hahaha."

Karena teringat sama Dara hampir saja aku mengatakan kalau sepupunya Arief itu adalah Dara. Untung saja aku masih bisa mengalihkannya dan Arief pun tak curiga.

"Sepupu aku perempuan masa marbot masjid, sakit kamu, Man hahaha."

"Hahaha."

Aku dan Arief tertawa ngakak sampai-sampai ibunya Arief terbangun dan bertanya, "apa yang ditertawakan sampai ngakak begitu?"

"Ini, Bu. Si Herman sakit," jawab Arief sambil menahan tawa.

"Nak Herman sakit apa?"

"Sakit perut sampai mules, Bu."

"Tahan, Man. Jangan sampai keluar di dalam mobil sebentar lagi kita sampai hahaha."

"Hahaha."

Aku dan Arief kembali tertawa ngakak, sampai-sampai semua yang tertidur terbangun oleh suara tawa kami berdua. Sementara ibunya Arief hanya geleng-geleng kepala. Untungnya ketika mereka semua terbangun, perjalanan hampir sampai, hanya tinggal beberapa ratus meter saja, dan mereka tak melanjutkan tidurnya kembali.

Tak lama kemudian Arief menghentikan mobil yang dikemudikannya tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas dan tanpa pagar pembatas.

"Nah kita sudah sampai, selamat datang di Banjarnegara, Man," ucap Arief sambil mematikan mesin mobilnya.

Aku mengambil tasku yang kutaruh di dashboard mobil lalu membuka pintu dan keluar dari mobil. Tubuhku langsung disambut hawa dingin. Ketika aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, ternyata hampir pukul setengah empat pagi. Sebelum melangkah menuju rumah, kuhirup napas dalam-dalam untuk menikmati segarnya udara di pedesaan pada dini hari.

"Man, ayo masuk. Kita istirahat di dalam aja, di luar udaranya dingin, Man," ucap Arief sambil melangkah menuju rumah.

Memang udaranya terasa dingin bukan hanya dingin, bahkan teramat dingin. Apalagi bagiku yang sudah terbiasa tinggal di kota yang panas. Aku pun berjalan menuju rumah mengikuti Arief dan masuk untuk beristirahat.




Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung

O.D.O.P - Cerpen

Misteri Di Balik Senja (#2) - Cerbung

Apakah Memang Dia? (#1) - Cerbung