Pertengkaran Di Sore Hari - Cerpen
Pertengkaran Di Sore Hari - Cerpen
~2.jpeg)
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah
Sore hari selepas jam kerja, aku tak langsung pulang. Aku pergi ke sebuah warung kopi sederhana yang menjadi langgananku. Warung itu hampir sebulan tak kukunjungi karena disibukkan oleh pekerjaan yang menumpuk dan tak ada habisnya.
Warung kopi itu berada di pinggir jalan, di bawah sebatang pohon mangga, yang lokasinya tak begitu jauh dari tempatku bekerja. Walaupun sederhana, warung kopi itu menjadi tempat favoritku untuk melepaskan penat setelah berkerja seharian.
Pemilik warung kopi itu adalah lelaki berumur lima puluh tahunan bernama pak Agus. Aku sudah akrab dengannya, bahkan sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.
Tak seperti biasanya, warung kopi itu yang biasanya ramai di sore hari, sore itu tampak sepi. Tak ada satu pun pengunjungnya. Aku hanya melihat Pak Agus sedang duduk sendirian di dalam warungnya.
"Assalamu'alaikum," ucapku memberi salam ketika sampai di depan warung kopi itu.
"Wa'alaikumussalam," jawab Pak Agus.
“kopi hitamnya segelas sama rokoknya sebungkus, Pak,” pintaku kepada Pak Agus setelah menyalaminya dan duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu di depan warung.
Pak Agus memberikanku sebungkus rokok sambil berkata, "Ini rokoknya, Man. Kopinya tunggu sebentar bapak buatkan."
Setelah memberikanku sebungkus rokok, Pak Agus membuatkanku segelas kopi hitam, kopi favoritku.
Sambil menunggu kopi pesananku selesai dibuatkan Pak Agus, kubuka sebungkus rokok yang baru saja diberikannya, kuambil sebatang lalu membakar ujungnya dan mulai mengisapnya.
“Sudah lama baru kelihatan lagi, ke mana aja, Man?” tanya Pak Agus sambil memberikanku segelas kopi hitam yang tadi kupesan.
“Biasa, Pak. Kerjaan yang harus diselesaikan lagi menggunung.”
"Oh, lagi banyak pekerjaan. Bapak pikir kamu sudah dimutasi, Man. Makanya tak pernah ke warung Bapak lagi," kelakar Pak Agus.
"Hahaha. Bapak ada-ada aja nih."
"Lha, pegawai Pemda kan memang sering dimutasi ke tempat lain, Man?"
"Iya sih, tapi itu buat pimpinannya aja yang sering dimutasi. Kalau pegawai seperti aku yang cuma pegawai kelas rendah, mutasinya bisa sangat lama, mungkin lima atau sepuluh tahun."
" Oh, syukurlah, dan kalau bisa jangan dulu dimutasi, Man. Kalau naik golongan atau pangkat nggak apa-apa, malah bagus."
"Sebenarnya ingin juga dimutasi, biar dapat suasana baru. Tetapi dimutasinya jangan ke Pulau Seribu saja, takut naik perahunya. Hahaha."
"Bapak doakan kamu dimutasi ke tempat yang enak, tapi jangan sekarang-sekarang ini dimutasinya, Man."
"Lho! Memangnya kenapa kalau sekarang ini aku dimutasi? tanyaku sedikit heran.
"Kalau sekarang ini kamu sampai dimutasi bisa ada yang sedih."
"Ada yang sedih? Memangnya siapa yang akan sedih kalau aku dimutasi? tanyaku semakin heran.
"Ahh! Masa kamu nggak tau, Man? Atau jangan-jangan kamu cuma pura-pura aja nih?"
"Benar, Pak. Aku tidak tau," jawabku serius.
"Ya udah, lupakan aja. Bapak juga cuma bercanda kok. Hehehe"
"Bapak ini buat aku penasaran saja. Siapa sebenarnya yang akan sedih kalau aku dimutasi? Kasih tau dong, Pak, biar anakmu ini tak mati penasaran."
"Umy," jawab Pak Agus pelan.
"Umy? Umy, si perempuan cerewet yang menyebalkan itu ya?
Pak Agus tak menjawab, dia hanya tersenyum kecil.
Baca juga: Makhluk Manis Dalam Lift
"Kalau dia yang sedih, dimutasi sekarang ke pulau Seribu atau pulau Seram juga tak apa-apa, Pak," jawabku sambil tertawa dan menggerakkan tangan kananku ke sebuah nampan untuk mencomot sepotong pisang goreng. Namun, sebelum tanganku sampai ke pisang goreng itu, ada yang lebih dulu menabok tanganku hingga membuatku berteriak kesakitan. Aku pun menarik kembali tanganku karena tabokannya kurasakan cukup keras.
"Itu pisang goreng gue, jangan lu ambil!" terdengar suara perempuan dari arah belakangku.
"Nah tuh orangnya datang, Man," kata Pak Agus.
"Busyeet dah, pisang goreng di nampan itu kan masih ada dua, lu satu gue satu, jangan serakah dah lu jadi orang," ucapku sambil menatap tajam perempuan yang baru datang dan menabok tanganku.
"Ogah, gue mau dua-duanya. Gue lagi lapar, mau apa lu?" jawab perempuan itu sambil duduk di sampingku dan memesan segelas teh manis hangat.
"Teh manis hangatnya satu, Pak."
Pak Agus mengangkat jempolnya dan tersenyum, "Siap, Bapak akan buatkan teh manis hangat spesial buat Umy."
"Itu ada roti. Kalau lu lapar makan aja tuh roti. Kalau perlu, lu habisin tuh roti sekeranjang biar mata lu biru kayak habis dipukulin."
"Lu aja yang makan roti, kenapa nyuruh gue? Gue lagi pengen makan pisang goreng. Lagian, apa pangkat lu nyuruh gue makan roti?"
"Gue masih kenyang, malas makan roti. Lu aja tuh yang makan roti, kan lu lagi lapar. Lagian, gue duluan yang datang ke sini."
"Bodo amat. Lu mau datang duluan atau datang belakangan, gue lagi kepengen makan pisang goreng bukan kepengen makan roti. Emang masalah buat lu?"
Aku tak menjawabnya dan hanya menatapnya sambil menghirup kopi hitam yang masih terlihat mengepulkan asap tipis.
“Kenapa ngeliatin gue? Suka ya lu ya sama gue?”
Pertanyaan yang keluar dari mulutnya sontak membuatku tersedak oleh kopi yang kuminum.
“Dihhh... Kepedean banget lu jadi orang. Gue nggak bakalan tertarik sama perempuan yang cerewet macem lu.”
"Ya siapa tau kan, biar cerewet gini, gue ini kan cantik, iya kan?"
"Cantik?"
"Iya cantik! Buktinya tuh lu ngeliatin gue terus. Udah ngaku aja kalau lu suka sama gue, nggak usah malu. Iya kan, Pak Agus?"
Pak Agus hanya nyengir sambil memberi segelas teh manis hangat kepada Umy.
"Ini teh manisnya, My."
“Makasih, Pak,” lanjutnya berterima kasih saat Pak Agus memberikan segelas teh manis hangat pesanannya.
"Lu ini siapa sih sebenarnya? Cerewet banget.”
“Gue? Gue orang lah. Mqasa lu nggak tau atau jangan-jangan mata lu buta ya?”
“Mana ada orang yang ngeselin banget kayak lu."
Sambil tertawa Umy berkata, "Ngeselin apa ngegemesin?"
Mendengar jawaban darinya, aku semakin jengkel dibuatnya.
"Jangan-jangan lu bukan orang tapi kuntilanak yang nungguin pohon mangga ini ya?"
“Heh, punya mulut! Kalau ngomong dijaga ya!" Hardiknya sambil melotot.
"Bapak heran sama kalian berdua kalau ketemu selalu berantem, jangan-jangan kalian berdua ini berjodoh," ucap Pak Agus menengahi pertengkaranku dengan Umy.
"Ogah bangetttttt," jawaban yang sama terucap berbarengan dari mulut kami sehingga membuat aku dan Umy saling tatap.
“Nah... nah... Bapak doakan kalian berdua benar-benar berjodoh... Aamiin," ucap Pak Agus sambil tertawa, sedangkan aku dan Umy kembali saling tatap kemudian menundukkan kepala dan terdiam seribu bahasa.
Tamat
Baca juga: Misteri Di Balik Kata Hmmm