Malam Terakhir Mereka (#2) - Cerbung

Malam Terakhir Mereka (#2) - Cerbung




malam terakhir mereka (#1) - cerbung


Nita, Andin, Wahyu, dan Yudha terus berlari dalam gelapnya kebun, sementara suara langkah makhluk itu terus mengejar, terkadang menghilang seolah mempermainkan ketakutan mereka. Kabut tipis perlahan mulai menyelimuti kebun, membuat suasana semakin mencekam. Nita, yang berlari paling depan, berhenti tiba-tiba saat melihat sesuatu di depannya.

"Jalan buntu!" teriaknya.

Rimbunan pohon besar dan semak belukar menghadang di depan mereka.

"Bagaimana ini?" Wahyu mencoba menarik napas, dadanya terasa sesak. Ia memandang ke sekeliling, tetapi tidak ada celah untuk melarikan diri.

"Gimana kita bisa keluar dari sini?" Andin menangis panik, tubuhnya gemetar hebat.

"Kita nggak bisa terus lari… kita harus sembunyi!" seru Nita.

"Tapi di mana? Tempat ini terlalu terbuka!" balas Wahyu.

Yudha memutar kepalanya, matanya menyapu kegelapan kebun. Ia menunjuk sebuah pohon besar dengan akar-akar yang mencuat ke permukaan tanah, menciptakan celah seperti gua kecil. "Cepat, ke sana! Kita sembunyi di bawah pohon itu!" serunya.

Mereka bergegas menuju pohon itu, satu per satu masuk ke dalam celah yang cukup besar untuk menyembunyikan mereka. Mereka berhimpitan di dalam celah, menahan napas agar tidak mengeluarkan suara.

Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Hanya desau angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar. Namun, tak lama kemudian, suara langkah berat itu kembali terdengar. Kreeeekkk… kreeeekkk…

Makhluk itu berjalan perlahan, suaranya semakin dekat. Andin menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan tangis. Nita meremas tangan Wahyu, tubuhnya gemetar hebat. Wahyu menutup matanya, berdoa dalam hati agar makhluk itu pergi. Yudha menggenggam sebatang kayu kecil yang ia temukan, meskipun ia tahu itu tidak akan banyak membantu.

Bayangan makhluk itu perlahan muncul di depan pohon. Tingginya hampir dua kali lipat manusia biasa, dengan tubuh kurus menyerupai batang pohon. Ia bergerak perlahan, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Langkahnya berhenti tepat di depan pohon tempat mereka bersembunyi.

Sedetik terasa begitu lambat. Makhluk itu berdiri diam hanya beberapa langkah dari mereka, kepala makhluk itu bergerak-gerak seolah mencium bau di udara. Napas mereka tertahan, jantung mereka berpacu dengan cepat.

Nita hampir terisak, tetapi Wahyu dengan cepat membekap mulutnya.

"Jangan bergerak... jangan bersuara..." bisik Wahyu, hampir tanpa suara.


Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, makhluk itu mulai melangkah lagi, kali ini menjauh. Suara kreeeekkk… kreeeekkk… perlahan memudar. Mereka tetap diam selama beberapa saat, tidak berani bergerak atau mengeluarkan suara. Setelah yakin makhluk itu benar-benar pergi, Yudha memberi isyarat untuk keluar dari persembunyian.

"Kita harus terus bergerak," bisik Yudha. "Kalau kita diam di sini, dia akan kembali."

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, makhluk itu kembali. Tangan besar dan kurus makhluk itu meraih ke dalam celah akar, mencoba mencengkram salah satu dari mereka. Cengkraman itu mencengkeram kaki Wahyu, membuatnya tersentak dan nyaris berteriak. Makhluk itu menarik Wahyu keluar dari persembunyian, mengangkatnya ke udara. Wahyu memukul makhluk itu sekuat tenaga.

Makhluk itu menggeram, suaranya menggema, lalu dengan gerak cepat menghempaskan tubuh Wahyu ke tanah. Wahyu mengerang kesakitan, napasnya tersengal, tubuhnya terkapar tak berdaya. Lalu, makhluk itu menyeret tubuh Wahyu ke dalam kegelapan kebun dan menghilang di antara kerapatan pepohonan.

"Wahyu.. tidak!" Andin berteriak. Air matanya mengalir deras, tangannya gemetar. Nita memeluknya erat, mencoba menenangkan, meskipun dirinya sendiri pun ketakutan setengah mati. Yudha masih terpaku di tempatnya, syok melihat kejadian mengerikan itu.

Kini hanya tersisa mereka bertiga: Yudha, Nita dan Andin. Mereka tahu, waktu mereka tidak banyak. Makhluk itu tak akan berhenti sebelum menangkap semuanya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?!" tangis Nita dengan suara penuh dengan ketakutan.

Suara langkah makhluk itu kembali terdengar, semakin dekat.

"Lari!" seru Yudha, menarik Nita dan Andin. Namun, ia tahu, mereka hanya berlari dalam kegelapan menuju sesuatu yang tidak diketahui.

Namun, semakin mereka berlari, semakin terasa seolah-olah kebun itu tidak ada ujungnya. Gelapnya malam dan rasa takut yang mencekam membuat mereka merasa seperti terjebak dalam lingkaran tanpa akhir

Langkah mereka semakin berat, napas terengah-engah, rasa takut menekan dada mereka. Kebun yang gelap dan tak berujung seolah mengurung mereka, membuat mereka kehilangan arah.

"Yudha, aku nggak bisa lagi..." rintih Nita, terhuyung-huyung di belakang.

"Kamu harus kuat!" bentak Yudha, meskipun tubuhnya sendiri sudah hampir menyerah.

Namun, suara langkah itu mendekat lagi, lebih berat, lebih cepat. Andin, yang berada di depan, mendadak berhenti.

"Kenapa berhenti?!" teriak Yudha.

Andin hanya menunjuk ke depan, tubuhnya gemetar. Tepat di jalan yang hendak mereka lewati, makhluk itu berdiri diam, menatap mereka dengan mata hitam kelam yang berkilat samar dalam cahaya bulan.

"Dia... dia seperti tahu ke mana kita akan pergi," ucap Andin dengan suara parau.

"Tidak ada pilihan lain." Yudha menggertakkan gigi. Ia memindahkan kayu kecil yang dipegangnya ke tangan kiri lalu meraih sebuah batu besar di tanah, menggenggamnya erat. "Kalian lari ke kiri, aku akan mengalihkan perhatiannya!"

"Nggak, Yudha," Andin memegang lengannya, air mata mulai menggenang di matanya. "Kita nggak bisa ninggalin kamu!"

"Kalian harus! Kalau nggak, kita semua mati di sini!" Yudha menarik tangannya dari genggaman Andin. "Lari sekarang!"


Tanpa menunggu jawaban, Yudha melemparkan batu itu ke arah makhluk tersebut. Batu itu menghantam dadanya, tetapi makhluk itu bahkan tidak bergerak. Justru, ia menolehkan kepala ke arah Yudha dengan gerakan lambat yang menyeramkan.

Andin dan Nita tak punya pilihan. Dengan berat hati, mereka berlari ke arah kiri, meninggalkan Yudha yang kini berhadapan langsung dengan makhluk itu.

Makhluk itu melangkah mendekati Yudha dengan gerakan lambat namun mengancam. Yudha mundur, mencoba menjaga jarak, tetapi punggungnya menabrak sebatang pohon besar. Tidak ada jalan keluar, ia terperangkap.

"Kalau kau pikir aku takut, kau salah besar." Yudha mencoba menantang, meskipun seluruh tubuhnya gemetar.

Makhluk itu berhenti beberapa meter darinya, menatapnya seperti seorang pemburu mengamati mangsanya, lalu dengan cepat melompat ke arahnya

Yudha berusaha melawan, mengayunkan sebatang kayu kecil yang dipegangnya. Namun perlawanannya sia-sia, makhluk itu terlalu kuat. Dalam hitungan detik, tangan makhluk itu mencengkeram lehernya dan mengangkatnya ke udara.

Yudha berteriak, mencoba memukul-mukul tangan makhluk itu, tetapi perlahan suaranya melemah. Tubuhnya yang tak lagi bergerak dihempaskan ke tanah dengan keras dan menariknya ke dalam kegelapan, seperti yang telah terjadi pada tiga temannya sebelumnya.

Di kejauhan, Andin dan Nita mendengar teriakan terakhir Yudha sebelum semuanya kembali sunyi.

"Yudha..." ucap Nita dengan suara bergetar, air matanya membasahi pipinya.

"Kita nggak bisa berhenti," kata Andin, meskipun ia sendiri hampir kehilangan kekuatan. "Kita harus keluar dari sini... demi mereka."

Namun, di dalam hatinya, Andin tahu: kebun ini seolah hidup, dan makhluk itu tidak akan berhenti sampai semuanya menjadi miliknya.

Andin dan Nita berlari tanpa arah di tengah kebun yang gelap. Napas mereka terengah-engah keringat membasahi tubuh mereka. Bayangan makhluk itu dan jeritan terakhir Yudha terus menghantui mereka.

"Andin, kita harus keluar dari sini," seru Nita sambil menggenggam erat tangan Andin.

"Tapi… Yudha…" Andin terisak.

"Dia… dia sudah tidak bisa diselamatkan," potong Nita, suaranya bergetar.

Tiba-tiba, suara langkah berat dan ranting yang patah terdengar di belakang mereka. Suara itu mendekat, semakin cepat.

"Tidak! Dia datang lagi!" Andin berteriak histeris, menarik Nita untuk berlari sekuat tenaga.

Nita menoleh ke belakang, melihat bayangan makhluk itu yang kini berlari ke arah mereka. Dia tahu mereka tidak akan bisa berlari lebih lama lagi.

"Andin, dengar aku baik-baik!" Nita tiba-tiba menghentikan langkah mereka. Dia berbalik dan menatap Andin dengan serius. "Kamu harus lari. Jangan berhenti. Apa pun yang terjadi, jangan lihat ke belakang!"

"Apa maksudmu? Nggak, aku nggak akan ninggalinmu!" Andin menggenggam tangan Nita lebih erat, wajahnya dipenuhi ketakutan.

"Kamu harus pergi, Andin! Kalau kita terus bersama, makhluk itu akan menangkap kita berdua!" Nita berteriak mendorong Andin agar bergerak.

"Tapi..."

"Pergi sekarang!" Nita memotong dengan tegas, lalu berbalik dan meraih sebuah batu besar di tanah sebagai senjata bersiap menanti kemunculan makhluk itu. Jantungnya berdebar kencang, suara kreeeekkk… kreeeekkk… dari langkah makhluk itu terdengar semakin dekat.


Andin terpaksa mematuhi, ia berlari sambil terisak, meninggalkan Nita yang berdiri menghadapi makhluk itu sendirian.

Makhluk itu muncul dari kegelapan. Nita mengangkat batu di tangannya, meskipun tangannya gemetar.

"Kamu mau aku? Sini!" Nita berteriak mencoba terlihat berani meskipun hatinya diliputi rasa takut yang luar biasa.

Makhluk itu berhenti sejenak, seperti menilai keberanian Nita. Lalu dengan cepat, ia menerjang ke depan.

Nita mengayunkan batu di tangannya, tetapi makhluk itu dengan mudah menangkis serangan tersebut. Batu itu terlempar, dan sebelum Nita sempat bereaksi, makhluk itu mencengkeram lehernya.

"Ugh… lepaskan!" Nita meronta. Cengkeraman itu terlalu kuat.

Makhluk itu mengangkat Nita tinggi-tinggi ke udara, tubuhnya menggantung tak berdaya. Nita meronta, menendang dan memukul, tetapi semua usahanya sia-sia. Geraman keluar dari makhluk itu. Suaranya seakan menusuk tulang punggung Nita hingga terasa membeku

Nyaris tak terdengar, Nita memanggil, "Andin… lari…"

Makhluk itu tiba-tiba melemparkan Nita ke sebuah pohon besar. Tubuhnya menghantam pohon dengan keras, suara tulang patah memecah keheningan malam. Nita jatuh ke tanah, menggeliat menahan sakit yang luar biasa, namun ia masih bernapas.

Dengan langkah perlahan, makhluk itu mendekat, meraih tubuh Nita yang tergeletak. Kali ini, cengkeramannya beralih ke kepala Nita, seolah hendak meremukkannya. Dengan sisa tenaganya. Nita berteriak untuk terakhir kali, "Tidak… Andin… lari!" Makhluk itu menyeret tubuhnya lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan jejak darah di tanah. Dari kejauhan, di antara pepohonan, Andin menyaksikan kejadian mengerikan itu. Tanpa pikir panjang, ia berbalik dan berlari.

Andin berlari sekuat tenaga, menembus gelapnya kebun yang seolah tak berujung. Ranting-ranting pohon menggores kulitnya. Kakinya berkali-kali tersandung akar-akar yang menjalar di tanah, membuatnya hampir jatuh. Napasnya tersengal, hampir habis, namun suara langkah berat makhluk itu tetap terdengar di belakangnya, dekat dan semakin mendekat.

Air matanya mengalir deras, bercampur dengan peluh yang membasahi wajahnya, di pikirannya hanya ada satu hal: bertahan hidup. Namun rasa bersalah karena tak mampu menyelamatkan mereka terus menghantuinya. Nita, Yudha, Wahyu, Bagas, Heni, mereka semua… semuanya sudah tiada.

"Kenapa… kenapa aku tidak bisa menyelamatkan mereka?" gumamnya sambil terus berlari, meskipun tubuhnya terasa hampir lumpuh.

Tiba-tiba, Andin berhenti dan menatap ke tanah. "Ini jejakku sendiri," ucapnya.

Bekas jejak kaki di tanah jelas menunjukkan pola yang sama: ia berputar-putar. Jalur yang baru saja dilalui ternyata membawanya kembali ke tempat yang sama.

"Ini nggak mungkin. Dia bermain-main denganku," gumam Andin sambil menatap sekitarnya. Andin memegang kepala, mencoba berpikir jernih di tengah kepanikannya.

Baca juga: Dia Yang Kusayang

Belum sempat Andin mencerna keanehan itu, langkah berat itu terdengar lagi, lebih pelan tetapi semakin mendekat. Kali ini suara itu datang dari arah berbeda, seperti mengepung Andin.

"Aku nggak bisa terus di sini." Instingnya menyuruhnya untuk segera pergi. Andin kembali berlari, kali ini tanpa peduli arah. Langkah kakinya semakin terasa berat. Nafasnya tersengal-sengal. Suara itu terus mengikutinya, memaksanya untuk terus berlari.

Akhirnya, Andin tiba di sebuah tanah lapang kecil di tengah kebun. Di sana, terlihat sebuah sumur tua yang sudah lama tidak digunakan. Sumur itu berlumut dengan bibir retak-retak ditutupi dengan kayu-kayu lapuk yang hampir ambruk.

Suara langkah berat itu tak terdengar lagi. Hening. Tidak ada apa pun selain suara napas andin yang tersengal-sengal memecah keheningan malam 

"Dia pergi," ucapnya dengan suara pelan. Andin mulai merasakan sedikit ketenangan.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan, makhluk itu muncul lagi. Dia melangkah pelan menuju Andin. Mulutnya menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya.

Makhluk itu berhenti beberapa meter dari Andin, menatapnya dengan matanya yang kosong. "Kenapa dia tidak menyerangku?" bisik Andin dengan suara gemetar. "Apakah dia sengaja ingin membuatku takut,"

Makhluk itu menggerakkan kepalanya perlahan, seperti sedang mengamati mangsanya. Kemudian, dia menunjuk ke arah sumur tua itu dengan jarinya yang panjang dan kaku.

"Apa maksudnya?" Andin tampak kebingungan. "Dia ingin aku... sumur itu? Dia berasal dari situ."

Sebelum Andin sempat berpikir lebih jauh, makhluk itu berlari ke arahnya dengan sangat cepat. Andin hanya bisa berteriak, "Tolong... tolooong." Saat makhluk itu melompat ke arahnya, Andin mencoba menghindar. Namun Andin tidak bisa bergerak. Kakinya seperti terpaku di tanah, dan tubuhnya gemetar tanpa henti. Air matanya mengalir deras saat ia menatap makhluk itu.

Makhluk itu kini berdiri tepat di depannya. Wajahnya yang menyeramkan menatap Andin yang sudah terpojok. Tubuh Andin jatuh berlutut, tangannya terangkat seolah memohon. "Jangan… jangan…" isaknya pelan, hampir seperti bisikan.

Makhluk itu tidak peduli. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih tubuh Andin dengan cengkeraman kuat. Andin menjerit keras, meronta-ronta, tetapi usahanya sia-sia. Makhluk itu mengangkat tubuh Andin ke udara, lalu dengan kekuatan luar biasa, melemparkannya ke dalam sumur tua.

"Aaaaahhh! Jangan!!!" jerit Andin. Suaranya menggema di udara malam saat tubuhnya melayang ke dalam kegelapan sumur. Kedua tangannya berusaha menutup matanya, seolah tidak ingin melihat apa yang menantinya di dasar sumur.

Bukkk...

Byurrr...

Andin terbangun dengan teriakan melengking. "Aduuuh!" Seketika ia merasakan tubuhnya basah kuyup oleh air dingin yang menyiram wajah dan tubuhnya. Ia tersentak dan langsung terduduk di lantai di bawah kasurnya, menatap ibunya yang berdiri di samping tempat tidur dengan ember kosong di tangan.

"Anak gadis jam segini masih tidur nyenyak! Bangun! Banguuuuuun! Mau jadi apa kamu kalau tidur terus!" bentak ibunya sambil meletakkan ember ke lantai dengan keras.

Andin mengusap wajahnya yang basah. Matanya membelalak, masih setengah panik. "Bu... Bu, tadi... tadi ada makhluk... aku lari... aku..."

"Makhluk apa? Yang ada, kamu malas bangun pagi! Sudah, cepat mandi, jangan bengong terus!" seru ibunya, lalu keluar dari kamar sambil mengomel.

Andin masih duduk terpaku, napasnya masih tersengal, seolah makhluk itu masih ada di dekatnya. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa ia berada di kamarnya sendiri, bukan di kebun yang gelap.

Andin menghela napas panjang, air di tubuhnya membuatnya gemetar. "Itu cuma mimpi," gumamnya, meskipun bayangan sosok menyeramkan itu masih membekas dalam pikirannya. Ia bangkit dari lantai, membetulkan letak selimut yang terjatuh, lalu melangkah ke kamar mandi dengan tubuh yang basah kuyup.



Tamat

Komentar

  1. njir ternyata mimpi.. tapi mimpi rasa jadi nyata 🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Daripada mimpi dikejar mahluk seram, mendingan di kejar cewek cantik ya.😁

      Hapus
    2. dikejar asmirandah gw maunya :D

      Hapus
    3. Asmirandah tapi punggung nya bolong gimana.😂

      Hapus
  2. Walah cuma mimpi tooh....ya gitu kalo mimpi siang' berasa di kejar-kejar mahluk gk jelas..udahnya capeek bener, udah mirip cerita misteri yang sempet booming di tv bbrpa thun yng lalu, kalo GK salah di SCTV tiap malem Jumat 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sangat menyiksa ya kalau mimpi siang-siang tapi syukurlah selama ini belum pernah mendapatinya.

      Hapus
  3. Hiii...ternyata cuma mimpi...
    Tapi serem juga ah kalau mimpi seperti begitu Mas. Jadi seperti film2 thriller yang dikejar-kejar makhluk seram tapi kemanapun kita lari selalu makhluk itu sudah ada dihadapan kita.

    Salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah kalau bermimpi seram, pemimpinya selalu dikejar-kejar sampai dia terbangun.

      Hapus
  4. Udah tegang banget, kirain Andin akan jadi korban juga, eh tahunya cuma mimpi.

    BalasHapus
  5. Udh baca serius ampe merinding eh ujungnya ternyata mimpi 😂
    Tapiii... jgn2 nanti jd beneran

    BalasHapus
  6. Ya ampun
    saya membaca sampai seksama dan runut
    eh ternyata hanya mimpi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak apa-apa, malah bagus dan menjiwai walau akhirnya hanya mimpi..hihihi

      Hapus
  7. Cerita yang amat mendebarkan dan nasib baik cuma mimpi saja

    BalasHapus
  8. belum baca doa kayaknya sebelum tidur hehe

    BalasHapus
  9. Astagfirullah pembaca tertipu dan sudah gugup bgt.plot twist nya ternyata mimpi...hahahahaha

    BalasHapus
  10. Mimpi yang menyeramkan seperti itu biasanya terlihat lebih nyata dan mudah diingat daripada mimpi biasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya seperti itulah biasanya. Mimpi yang menyeramkan akan mudah diingat.

      Hapus
  11. btw cerita pasrt 1 nya udh lama ya mas? ga nemu soalnya.. dari awal baca udh penasaran, 1 demi 1 mati soalnya :D.. penasaran juga makhluk apaan itu... eh ternyata plot twist, cuma mimpi hahahaha.

    sereeem banget mimpi beginiiii... sampe disiram air pula hahahahaha... lgs gelagapan bangun2 yaa ;p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum lama, ada dua post di bawahnya tuh.

      Pas bangun memang gelagapan tapi lega..hihihi

      Hapus
  12. Ini yang istilahnya ketindihan bukan ya. Kita pengen minta tolong tapi malah kaku. Orang lain melihat kita lagi mengigau bahkan teriak"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin, soalnya saya belum pernah ketindihan..hihihi

      Hapus
  13. Mbul pikir tadinya itu genderuwo hahahahhaha...bacanya udah sambil tutup mata...tatuuuuud ama genderuwo apalagi kalau genderuwonya gede
    tapi mbul sendiri belum pernah melihat genderuwo loh....baik di dunia nyata ataupun alam ngimpi...taunya dari cerita podcast horror aja hahhahaha...lebih baik sebelum bubuk baca doa dulu kalau bisa wudhu bagi yang muslim...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga mikirnya itu genderuwo tapi ternyata makhluk dalam mimpi..hihihi

      Hapus

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Dia Yang Kusayang (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung

Nurul, Si Gadis Kecil - Cerpen

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen