Dara, Gadis Dunia Maya (#4) - Cerbung

Dara, Gadis Dunia Maya (#4) - Cerbung




dara,gadis dunia maya (#4) - cerbung
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah


Arief masuk ke rumah untuk membuat kopi. Aku membuka bungkus rokok yang baru saja kukeluarkan dari saku celanaku. Di dalamnya masih ada beberapa batang. Kuambil sebatang, lalu sisanya yang ada di dalam bungkusnya kutaruh di lantai. Sebatang rokok itu kuselipkan di bibirku, kubakar ujungnya, dan mulai mengisapnya.

Tak lama kemudian, Arief keluar dari dalam rumah dengan memegang dua gelas kopi hitam. Gelas-gelas itu kemudian diletakkannya di lantai. Aroma kopi yang begitu segar langsung tercium oleh hidungku.

Aku mengambilnya segelas, meniup-niupnya sebentar, lalu meminumnya beberapa teguk untuk membasahi tenggorokan.

"Ahh! Nikmat banget, mataku jadi terang, Rief. Monas kalau nggak kealingan pasti kelihatan hahaha"

"Bukan cuma monas, duit gajian juga kalau udah keluar dari mesin ATM pasti kelihatan, Man." Arief menimpali sambil tertawa.

"Tapi aku heran, Rief?!"

"Heran, heran kenapa, Man?"

"Heran, berani-beraninya kopi keluar sendirian."

"Doakan aja nanti sepupuku pulang bawa temannya hahaha."

Kopi segelas nyaris habis kuminum, rokok di dalam bungkusnya hanya tersisa sebatang, tapi yang ditunggu belum juga datang. Aku mengambil kembali bungkus rokokku. "Terakhir, Rief. Kalau sampai yang sebatang ini habis tapi sepupumu belum pulang juga, kita pergi dulu mencari makanan."

"Oke, Man. Tapi jangan buru-buru juga mengisapnya."

"Tenang, aku takkan buru-buru mengisapnya, tapi langsung ku..."

"Nah, itu dia datang, Man," ucap Arief memotong perkataanku sambil tangannya menunjuk ke seorang gadis yang sedang berjalan santai menuju ke arah kami.

Aku menengok ke arah yang ditunjuk Arief. Aku terdiam seribu bahasa dan seperti tak percaya dengan apa yang kulihat. Walau masih agak jauh, wajah gadis itu langsung kukenali. Wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku, dan tanpa sadar aku pun berkata, "Diaa….!!!!!"

Mendengar aku berkata Dia, Arief langsung bertanya kepadaku, "Kamu kenal, Man?"

"Apa... A... apa, Rief?" aku menjawab sedikit gelagapan.

"Kamu kenal sama sepupuku itu, Man? tanya Arief mempertegas dengan nada sedikit menyelidiki.

"Nggak, aku nggak kenal, Rief."

"Lha, tadi aku dengar kamu bilang dia? Itu menunjukkan kalau kamu kenal sama sepupuku itu, Man."

"Oh itu. Aku bilang dia, maksudnya apa dia yang datang itu benar sepupu kamu, Rief"

"Oh begitu, aku kira kamu sudah kenal sama sepupuku itu, Man. Iya dia itu sepupu aku."

"Gimana bisa kenal, ketemu sama dia aja baru hari ini. Aneh kamu, Rief," ucapku meyakinkan Arief.

Tak lama kemudian gadis yang datang itu tiba di depan kami dan memberikan salam, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab Arief sambil mencium tangan gadis yang baru datang itu. Sementara itu, aku hanya menatap lekat-lekat, masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Wajah gadis yang sekarang ini ada di hadapanku benar-benar tak asing lagi bagiku.

Dari tadi, Rief?" tanya gadis yang baru datang itu.

"Lumayan lama, dari sebelum Zuhur, Mbak."

"Oh maaf, Mbak tadi main dulu ke rumah teman," gadis itu berkata sambil melirik ke arahku yang masih memperhatikannya.

Aku menjadi gugup karena ketahuan memperhatikannya. Untungnya Arief tanpa disadarinya telah menyelamatkanku dari kegugupan itu.

"Mbak, kenalkan ini Hermansyah, teman aku dari Jakarta," ucap Arief yang secara tidak langsung telah menyelamatkanku.

Aku pun segera mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan dan berkenalan dengannya begitu pula dengan gadis itu.

"Hermansyah," aku menyebutkan namaku

"Sri," gadis itu pun menyebutkan namanya.

"Sri?" tanyaku kembali sambil menatap wajahnya dalam-dalam, seperti tak percaya dengan apa yang kudengar.

"Iya. Kenapa? Apa ada yang salah, Mas? jawabnya sambil menatapku tajam.

Mendapatkan tatapan tajam darinya, aku kembali menjadi gugup dan menunduk tak kuasa untuk menatap balik.

"Nggak ada yang salah cuma sedikit bingung aja, Mbak," ucapku mencoba mengembalikan ketenangan setelah kegugupan tadi akibat mendapatkan tatapan tajam dari Sri.

"Bingung kenapa, Man?" tanya Arief.

"Iya, bingung kenapa, Mas?" Sri pun turut bertanya.

"Bingung sama namanya."

"Kenapa dengan nama aku, Mas?" Sri mencecarku dengan pertanyaan hingga membuatku gugup kembali.

"Namanya pendek banget," jawabku dalam kegugupan.


"Nama panjangnya, Sri Handayani, Man."

Sekali lagi tanpa disadarinya, kembali Arief menyelamatkanku.

"Ah, yang benar, Rief?"

"Benar, nama panjang aku, Sri Handayani, Mas."

"Oh... Sri Handayani. Bukan Sri Wulandari?"

"Bukan, Mas," jawab Sri tegas.

"Sri Wulandari itu siapa, Man?". tanya Arief.

"Temanku, Rief. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Wajahnya mirip sama Mbak Sri ini."

"Oh, pantesan tadi kamu bilang dia, Man. Jadi kamu kaget dan mengira kakak sepupuku ini adalah Sri Wulandari, temanmu yang sudah lama tak bertemu itu?"

Iya, Rief.

"Sri Wulandari? Aku juga tadi dari rumah temanku yang bernama Wulan. Dia..."

"Benarkah? Apa wajahnya Sri Wulandari sama seperti wajah Mbak? Potongku. Aku masih tetap kaget mendengar penjelasannya bahwa ia adalah teman dari Dara, gadis asal Banjarnegara yang pernah kukenal. Walaupun demikian, aku sangat yakin itu memang dia, karena wajah Sri sama persis dengan gadis di foto yang dikirimkan oleh Dara. Namanya pun sama, Sri.

"Tentu saja berbeda, Mas. Aku dan Wulan hanya teman bukan saudara kembar. Mana mungkin wajah aku dan dia sama. Lagi pula temanku itu namanya Wulan Safitri bukan Sri Wulandari," ucap Sri Sambil tertawa. "Atau jangan-jangan Mas kenal dengan temanku, Wulan?"

"Memangnya wajah wulan seperti apa?" tanyaku.

Sri tidak langsung menjawab, ia menghidupkan ponselnya, membuka galeri, melihat-lihat foto yang ada di sana. Kemudian, dia menunjukkan foto seorang gadis kepadaku.

Aku terkejut melihat foto yang ditunjukkan oleh Sri, foto itu adalah foto Dara tetapi aku berusaha menutupi keterkejutanku dan pura-pura bertanya, "Ini foto siapa, Mbak?"

"Ini foto temanku, Wulan Safitri, Mas. Apakah Mas mengenalnya?" tanya Sri dengan nada menyelidik.

Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak, aku nggak mengenalnya."

Untuk memastikannya, Sri kembali menyuruhku memperhatikan baik-baik foto yang ia tunjukkan. "Coba Mas perhatikan lagi Wulan ini," ucapnya.

Aku memandangi kembali dengan seksama. Dan aku tahu foto yang ditunjukkan oleh Sri itu adalah foto Dara, gadis yang dikenalnya. Namun, aku berpura-pura tidak mengenalnya.

"Wajahnya tidak mirip Mbak, sedang wajah temanku, Sri Wulandari, hampir mirip sama Mbak," kataku sedikit berbohong untuk menyembunyikan rahasiaku kalau aku mengenal gadis di foto yang ditunjukkan olehnya.

"Apa Mas yakin?" tanya Sri dengan nada kembali seperti orang yang sedang menyelidik.

"Aku sangat yakin kalau foto ini bukan foto temanku Sri Wulandari. Tetapi mungkin saja ini dia, walau tak ada sedikit pun kemiripan dengan Mbak, sebab sudah lama aku tidak bertemu dengannya jadi sudah tidak begitu mengenalinya."

"Apa Mas masih punya foto teman Mas itu?" tanya Sri dengan harapan yang muncul di matanya.

Aku menggelengkan kepalaku. "Maaf, aku tidak punya fotonya. Kami berpisah sudah sangat lama, waktu kami naik ke kelas tiga SMP. Dia pindah ke Jawa, tapi aku tak tau tepatnya di mana."

Sri terlihat sedikit kecewa tetapi ia mencoba mengatasinya. "Hmm, mungkin hanya kebetulan saja. Nama dan wajah yang mirip tidak selalu berarti mereka adalah orang yang sama."

Aku merasa lega karena Sri tidak menekanku lebih jauh. Aku mengalihkan pandanganku menatap Arief, yang sedari tadi diam saja mendengarkan percakapanku dengan Sri.

Mendapatkan tatapan dariku, Arief pun berkata, "Aku setuju. Kita tidak perlu terlalu memikirkannya. Yang terpenting sekarang, kamu sudah berkenalan dengan kakak sepupuku, dan janjiku sekarang sudah lunas, Man."

Aku dan Sri menyetujui perkataan Arief, dan kita melanjutkan obrolan dengan suasana yang lebih santai.

Sri menawarkan kami kopi lagi, tetapi aku dan Arief sama-sama meminta teh. Ketika Sri masuk ke rumah, aku hendak meminjam motor Arief untuk membeli rokok, tetapi Arief mencegahnya. Ia mengatakan rokoknya masih cukup untuk diisap berdua. Tak lama kemudian Sri keluar kembali dengan membawa nampan yang berisi tiga gelas teh hangat dan sepiring kue tradisional khas Banjarnegara. Suasana kini menjadi lebih santai dengan canda tawa yang mengalir di antara kami.


Aku menatap Sri dengan penuh keingintahuan, "Mbak, apakah Mbak nanti datang ke pernikahan sepupu Mbak?"

Sri mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Mas. Aku juga kan terlibat dalam persiapan pernikahan sepupuku ini. Dan sebagai salah satu keluarga dekat, aku berusaha membantunya sebisa mungkin."

Aku kembali bertanya, "Seperti apa acara pernikahan di Banjarnegara? Apa ada tradisi khusus yang dilakukan?"

"Di Banjarnegara, pernikahan biasanya melibatkan banyak tradisi adat. Misalnya, upacara seserahan, siraman, malam Midodareni dan banyak lagi."

"Aku benar-benar ingin mengalami itu semua," ujarku. "Aku belum pernah memiliki kesempatan mengikuti pernikahan adat di Banjarnegara, ini akan menjadi pengalaman yang berharga buatku."

Percakapan antara aku, Arief, dan Sri berlanjut tentang persiapan pernikahan dan keunikan budaya di Banjarnegara. Kami bertiga saling bertukar pandangan dan cerita.

Saat matahari mulai tenggelam di cakrawala, Arief melihat jam tangannya dan berkata, "Waktunya kita pulang, Man. Sebentar lagi magrib."

"Tak terasa sudah mau magrib aja padahal kita baru juga ngobrol," keluhku. "Dan terima kasih atas sambutan hangatnya, Mbak. Aku senang bisa berkenalan dan mengobrol dengan Mbak," lanjutku.

Sri tersenyum ramah, "Sama-sama. Aku juga senang bisa bertemu dan berbagi pengalaman dengan Mas."

Aku dan Arief pun hendak berpamitan untuk pulang. Namun, sebelum kami berpamitan, ibunya Sri keluar dari dalam rumah dan berkata, "Nanti saja pulangnya setelah salat magrib dan makan malam, Budhe sudah masak masakan enak, Rief."

Sri pun berkata, "Betul kata Ibuku, pulangnya setelah magrib dan makan malam saja. Jarang-jarang lho kamu bisa makan sama Mbak dan Budhe, Rief.

Aku pun menyetujuinya. "Benar, Rief. Kita pulang setelah makan aja. Apalagi tadi Budhemu bilang telah menyiapkan makan malam yang enak, aku sudah terbayang masakan Banjarnegara yang lezat dan perutku juga sudah lapar, Rief," ucapku sambil tertawa.

"Ahh, kamu, Man, memang nggak boleh dengar orang nawarin makan, udah netes saja itu iler dan perut langsung kelaparan."

"Kan dari tadi kita belum makan, Rief. Kita cuma minum kopi, teh dan makan kue aja, jadi wajar dong kalau aku sudah lapar. Iya kan, Mbak."

Sri pun mengangguk.

"Iya, kita pulang sehabis makan malam tapi jangan lupa sehabis makan kamu cuci piring dulu, Man."

"Waduhhhh hahaha."

Dan mereka bertiga pun lantas tertawa.

**********

Setelah makan malam aku dan Arief berpamitan pulang. Sri mengantarkan hingga depan teras rumah.

"Aku berharap kita bisa bertemu lagi di lain waktu, Mbak," ucapku.

Sri menatapku dan berkata, "Semoga saja, Mas. Kita bisa bertemu lagi atau paling tidak kita bisa bertukar kabar."

"Benar, Man. Kita bisa menjaga hubungan ini. Persahabatan tidak mengenal jarak. Sudah, Man, berikan nomor WhatsApp-mu pada Mbak Sri."

"Ini nomor WhatsApp-ku, Mbak." Aku pun menyebutkannya dan Sri segera menyimpannya di kontaknya setelah itu, Sri pun menyebutkan nomornya agar bisa kusimpan.

Setelah saling tukar nomor WhatsApp, aku pun berpamitan. "Assalamu'alaikum," ucapku memberi salam.

Sri tersenyum dan menjawab, "Wa'alaikumussalam. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersama Mas dan Arief. Hati-hati di jalan, jangan terlalu kencang kendarai motornya, Rief."

"Iya, Mbak," ucap Arief sambil mengangguk.

Aku dan Arief berjalan ke arah motor Arief yang terparkir di halaman rumah Sri. Setelah mengenakan helm dan duduk di jok motor, Arief pun menstarter motornya.

"Siap untuk pulang, Man."

"Siap, Rief."

Arief perlahan-lahan menjalankan sepeda motornya meninggalkan rumah Sri.

Perjalanan pulang berjalan dalam keheningan yang nyaman, hanya terdengar suara mesin sepeda motor dan deru angin. Suasana tenang dan sejuk di sepanjang perjalanan membuatku merasa rileks.

"Rief, terima kasih sudah mengajakku pulang ke kampungmu," kataku dengan tulus. "Pertemuan dengan Sri dan mengenal keluarganya menjadi pengalaman yang berharga bagiku."

Arief tersenyum dan berkata, "Tentu saja, Man. Aku senang kamu bisa ikut serta. Kita adalah sahabat dan keluarga."

Di sepanjang perjalanan, aku melihat pemandangan yang di sajikan di pinggir jalan. Ketika melewati masjid Al-Munawaroh, aku teringat kembali kepada Dara. Dalam hati kecilku bertanya, "Mungkinkah di kampung Arief di Banjarnegara ini aku akan bertemu dengan Dara?"



Bersambung

Part sebelumnya (Dara, Gadis Dunia Maya (#3))

Komentar

  1. Wah masih belum bertemu kah sama Dara, kenapa gak langsung bilang iya aja pas Sri nunjukin foto Dara, takut di cie ciee in sama si Arif kah? 🤣🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum, belum ketemu. Belum ketemu idenya buat jadi ketemu..hihihi. Kalau langsung bilang kurang seru, Kang. Kan dari awalnya si Hermansyah memang menyembunyikan tentang si Dara ini, Kang.

      Hapus
    2. Yaya, maaf maaf, ga sabar aja pengen liat Herman segera memeluk Dara, wuahaha..

      Hapus
    3. Konsepnya ngga seperti itu, ngga ada acara peluk-pelukan yang ada gebuk-gebukan.. wkwkwk

      Hapus
    4. Hoho tidak bisa, inikan cerita romantis jadi harus ada peluk2an, hihi..

      Hapus
    5. Iya deh manut sama penulisnya hihi..

      Hapus
    6. Belum ketemu soalnya biar bersambung. Kalo ketemu ntar tamat dong.😂

      Hapus
    7. Nah tuh, mas agus tau..wkwkwk

      Hapus
  2. E tadi aku kok baca si arief salim sambil cium tangan sri tah? hihihiaku kenapa ya? Tiyap mampir baca blog cerpennya temen temen rasanya seneng gitu, hihi...serasa disuguhin kayak lagi baca novel roman era jaman dulu tapi gratis, jadinya seneng bolak balik hahahahha...teruskan sambungannya mas her...


    aduh dag dig dug ga tuh, siapa yang nikah ya? Jangan-jangan dara ya atau wulan safitri 😂

    kue khas banjarnegara sih apa ya,biar kutebag...mungkin nopia atau mino kali ya, atau endog bledeg...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan Sri itu kakak sepupunya Arief.

      Sambungannya masih dikonsep mau dibikin dua atau tiga episode.

      Yang pasti yang nikah itu sepupu Arief..hihihi

      Salah semua tebakannya.hihihi

      Hapus
    2. Padahal mbul orang Banjar negara ya atau Banyumas kali ya?

      Suhu Herman sebenarnya tahun 1980an sering rilis novel tapi nama penanya bukan Herman tapi Eny Ar**w.🤣

      🏃💨💨💨

      Hapus
    3. Kenapa mas, apa nabrak rak piring? 🤔

      Hapus
  3. asem...kalau dolan ke blognya temen temen blogger cerpen, rasa pengen belajar nyerpenku kok ya timbul 🤭🤣🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo kak bikin juga, tentang reporter cwo dan cwe yg ditugaskan bersamaan di lapangan buat meliput mudik lebaran lalu terjadilah cinlok 🤣

      Hapus
    2. Nah kan, ayo bikin cerpen lagi jangan biarkan bakatnya terkubur di Palung Mariana.

      Hapus
    3. Wkwkw..sebenernya bakat sih ga punya, ga sebagus cerpen cerpen temen temen kayak mas her, mas agus, mas jaey, kang satrio dan maa khanif, tapi passion nulis cerpen aja hahah... cuma karena lama ga nulis fiksi, kayak yang dibilang mas her ide jadi terpendam dalam palung terdalam di dunia palung mariana hahhahaha...

      Hapus
    4. Paling bulan Agustus nanti nulis cerpen lagi, nama tokohnya Anita Van Hellen jadi Noni Belanda jatuh cinta sama pejuang kemerdekaan Indonesia. Judul cerpen nya saat Belanda pergi.🤭

      Hapus
    5. Bagus juga judul cerpennya, saya setuju tuh..hihihi

      Hapus
    6. Paling jg cerpen buatan Mbul gak jauh2 dari makanan

      Hapus
    7. nah kalau mbul cocoknya nulis daily life beneran wkwkkw...utamanya makan makan hahahah...kalau kakak kakak senior mbul di atas barulah pada pintar pintar nulis fiksi hahahahah

      Hapus
  4. Masih ke elingan si Dara kah si Herman?..tadi kenapa gak sekalian terus terang aja sama si Sri dan Arief...siapa tau yg nikahan itu si dia




    BalasHapus
    Balasan
    1. Konsep ceritanya tidak seperti itu..hihihi

      Hapus
  5. saking lama nunggu malah jadi lupa awal ceritanya mas her :V

    BalasHapus
  6. Keluarga besar Arief keluarga yang harmonis. Punya sepupu yang cantik lagi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Konsep ceritanya sebenarnya ngga seperti itu..hihihi

      Hapus
  7. enakn ya bertamu ya seperti itu ya
    dapat tawaran makan, lumayan bisa menghemat pengeluaran
    nama sri, emang menjadi pujaan hati dan umumnya cantik cantik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya setuju, memang umumnya nama Sri orangnya cantik-cantik tapi kalau dia masih muda..hihihi

      Hapus
  8. Paling nanti kalo ketemu Wulan Safitri ternyata bukan Dara, soalnya kalo Wulan itu Dara ntar tamat dong. Perkiraan ku baru tamat setelah 10 season, biar ngga kalah dengan sinetron tersanjung.🤭

    Btw, Herman rokoknya apa tuh, apa Samsu ataukah Dalil? 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada kemungkinan seperti itu, mas..wkwkwk

      Kayaknya rokok kecil, mas.

      Hapus
    2. Cocok tuh 10 session biar kaya drakor, drakor rata2 sekitar 13 sesion tamat.. 😅

      Hapus
    3. Memang mau saing juga sama drakor, kang..wkwkwk.

      Hobi nonton drakor juga ya, kang?

      Hapus
    4. Kang Jaey malah langganan Netflix sama iQiyi biar bisa maraton nonton Drakor.🤣

      Hapus
    5. Ga sampai langganan juga mas paling aku nonton gratis di TransTV 🤣

      Ya hobi dikit huu, tergantung tema dan pemerannya, klo tema keluarga dan pemerannya tua aku malas, tapi klo tema pacaran dan pemerannya tampan dan cantik, baru aku mau 🤣

      Dulu aku share series drakor di wapka, jadi tau jumlah seriesnya 😅

      Hapus
    6. Gimana wapka dan wenru sekarang ya? Apa sudah bubar juga kayak mwb?

      Hapus
    7. Wapka, terakhir yang saya tau masih ada kalau wen ru sudah tutup

      Hapus
  9. Saking lamanya cerita sambungannya kluar, aku sampe udh lupa eps yg trakhir dibaca maaaas 🤣. Jadi agak ga mudeng. Kayaknya aku hrs baca dulu yg sebelumnya deh 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah memang itu tujuannya, biar dibaca lagi cerita awalnya..hihihi

      Hapus

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Dia Yang Kusayang (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung

Nurul, Si Gadis Kecil - Cerpen

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen