Hati Yang Lelah Menanti - Cerpen
Hati Yang Lelah Menanti - Cerpen

Aku tak ingat kapan tepatnya perasaan ini muncul. Mungkin sudah lama, bahkan jauh sebelum dia mulai melihatku sebagai seorang sahabat yang selalu bisa diandalkan. Namun, bagiku, rasa ini bukan sekadar hubungan tanpa arah; ini adalah perasaan tulus yang terpendam selama bertahun-tahun, menunggu waktu yang tepat untuk menemukan jalannya.
Berkali-kali, aku menjadi tempat kembali. Setiap kali hatinya terluka, aku selalu di sana, mendengar kisahnya tanpa pernah bosan. Saat ia menceritakan bagaimana ia tersakiti, aku mendengarkan tanpa keluh kesah, meski ada bagian dalam diriku yang perlahan terkikis. Harapanku sederhana, mungkin suatu hari ia akan sadar bahwa ada seseorang yang lebih dari sekadar sahabat, seseorang yang benar-benar memahami dan menginginkan kebahagiaannya.
Pernah suatu kali, ia bertanya, "Kenapa sih kamu selalu ada buat aku? Padahal aku seringnya hanya curhat soal pria yang menyakitiku." Aku tersenyum kecil waktu itu. "Mungkin karena aku hanya ingin melihatmu bahagia." Ia tertawa kecil, menepuk bahuku. "Kamu memang sahabat terbaik."
Sahabat. Kata itu seolah jadi batasan di antara kami. Bagaimana tidak? Selama ini aku terjebak di antara batas tipis: sahabat atau cinta yang terpendam.
Dari awal, aku selalu berharap ada satu titik di mana dia menyadari perasaanku. Aku menjadi saksi semua kisah cintanya, mendengar setiap kali dia jatuh cinta, patah hati, lalu kembali lagi padaku mencari penghiburan. Setiap kali terluka, dia datang padaku. Setiap kali dia bahagia, aku seakan tak ada. Siklus itu terus berputar, bertahun-tahun lamanya.
Bertahun-tahun aku ada di sampingnya, menemaninya melewati pasang surut kisah cintanya. Kadang-kadang dia bergurau, menyebut kami sebagai pasangan sahabat yang tak terpisahkan, bahkan sering membuat janji-janji kecil yang seharusnya membuatku senang, tapi justru malah membuatku semakin sadar bahwa ia tidak melihatku sebagai lebih dari sahabat. Setiap kali aku ingin membuka perasaanku, ada saja yang menghentikanku, ketakutan bahwa jika aku jujur, dia akan menjauh.
Malam itu, siklus itu kembali berulang. Aku sedang bersandar di kursi kerja, memeriksa laporan yang tak kunjung selesai, ketika ponselku bergetar. Nama yang akrab terpampang di layar, dan meski perasaanku sudah lelah, entah kenapa, aku masih menyimpan harapan kecil setiap kali namanya muncul.
"Lagi di mana?" Pesan singkat darinya selalu mengundang rasa rindu yang tak pernah reda. Sudah berulang kali aku menjadi tempatnya kembali, terutama ketika hatinya terluka. Dan meski aku tahu, luka itu bukan karenaku, aku selalu berharap suatu hari ia menyadari bahwa aku ada di sini, menunggu dengan hati terbuka.
"Di rumah, kenapa?" balasku.
Butuh beberapa detik sebelum balasannya muncul.
"Tak apa-apa, aku hanya lagi tidak tahu mau berbicara dengan siapa lagi. Kamu sibuk, tidak?"
Aku sudah bisa menduga apa yang akan ia katakan. Setelah bertahun-tahun mendengarkan ceritanya, aku hampir bisa menebak polanya, datang saat ia terluka, hilang saat ia bahagia.
"Tidak, aku bisa meluangkan waktu buat kamu. Ada apa?"
"Butuh teman bicara. Bisa bertemu sekarang?" tanyanya, seperti biasa.
Baca juga: Pada Akhirnya, Akankah Luka Berakhir?
Aku ingin membalas dengan pertanyaan lain, ingin bertanya mengapa setiap kali ia merasa hancur, ia selalu mencariku, namun ketika hatinya tenang, aku seakan tak ada dalam hidupnya. Tetapi, aku hanya mengetikkan satu kata, "Oke."
Kami bertemu di taman yang sering kami datangi. Kami duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di mana angin malam sering membawa kesejukan yang tenang. Saat aku tiba, ia sudah duduk di sana, memeluk kedua lututnya, wajahnya sembab dengan sisa-sisa air mata yang masih tampak jelas. Kali ini, luka itu lebih dalam, aku bisa melihatnya dari sorot matanya. Hatiku teriris melihatnya terluka, meski aku tahu, lukanya ini bukan karena aku.
"Kenapa? Ada masalah lagi dengan dia?" tanyaku, berusaha terdengar tenang, meski batinku berkecamuk.
Dia menatapku dengan pandangan kosong, berusaha mencari kata-kata. Akhirnya ia menghela napas panjang, lalu mulai bercerita, "Aku tidak tahu kenapa selalu seperti ini. Aku kira dia benar-benar sayang, ternyata… dia cuma membohongi aku." Suaranya terdengar serak dan patah-patah.
Rahangku mengeras, berusaha menahan diri. Hatiku tersentuh, bukan oleh rasa iba, melainkan oleh rasa lelah yang semakin lama semakin menggerogoti. Sudah berkali-kali aku mendengar cerita yang sama, harapannya yang selalu dihancurkan oleh seorang pria. Dan setiap kali itu terjadi, aku yang mendengar, aku yang menenangkan, namun setelah itu aku yang ditinggalkan.
"Dia janji tidak akan mengulangi lagi… aku percayakan semua ke dia, tapi…" Suaranya tertahan, matanya kembali berair. "Kenapa setiap kali aku percaya, akhirnya aku malah kecewa? Apa aku yang salah?"
Aku ingin tertawa, tapi yang keluar hanya helaan napas panjang. "Kamu tidak salah, kamu hanya… terlalu percaya sama orang yang tidak pantas dipercaya."
Dia menatapku, wajahnya seperti menuntut jawaban yang lebih. "Apa maksudmu?"
Aku menatap ke arah lain, meredam emosi. "Tidak ada. Kamu seharusnya lebih berhati-hati. Kamu selalu memberi kesempatan pada orang yang menyakitimu, tapi di sisi lain kamu tidak pernah melihat orang yang ada di sini untukmu. Kamu tidak pernah melihatnya, kan?"
Dia terdiam, tampak bingung. "Siapa yang kamu maksud?"
Aku menarik napas panjang, menahan kata-kata yang ingin sekali aku luapkan. "Tidak penting. Kamu di sini lagi-lagi dengan luka yang sama, dengan orang yang sama, dan kamu terus berharap ada yang berubah. Tapi kamu tidak pernah mau melihat kenyataan, kan?"
Dia menundukkan kepala, terdiam lama, membiarkan kesunyian menggantung di antara kami. "Aku pikir… aku pikir dia bakal berubah, aku kira kali ini dia serius. Tapi ternyata, sama saja. Pria sepertinya hanya senang mempermainkan perasaan."
Aku menghela napas, mendengar kata-katanya semakin membuat hatiku sakit. "Mungkin… kamu tidak memberi kesempatan kepada yang benar-benar peduli dengan kamu."
Dia mendongak, alisnya berkerut seakan mencoba memahami maksudku, tapi aku tahu, kata-kata itu pasti terdengar asing baginya.
"Aku tidak mengerti," katanya akhirnya, nadanya penuh kebingungan.
Baca juga: Hanya Fiksi, Tapi...
Bagaimana mungkin ia mengerti, jika selama ini, aku hanyalah bayangan di balik cinta-cintanya yang menyakitkan?
"Kenapa kamu terus-menerus menyakiti diri sendiri?" tanyaku pelan. "Bertahun-tahun, aku di sini untukmu. Aku mendengarkan ceritamu, menjadi penenangmu. Apa kamu tidak pernah menyadari kenapa aku mau di sini untukmu?"
Dia hanya menatapku, ragu dan bingung. "Aku selalu berpikir... kamu sahabat terbaikku. Kamu selalu ada saat aku butuh... aku kira hubungan kita memang seperti ini."
"Sahabat terbaik?" Aku tertawa, tapi tawa itu terdengar getir bahkan di telingaku sendiri. "Kalau kamu bisa melihat caraku memandangmu, mungkin kamu akan tahu kalau aku tidak hanya ingin menjadi sahabat. Bertahun-tahun aku menunggumu, berharap kamu sadar kalau aku ada di sini tidak hanya untuk menjadi sahabat. Tapi kamu selalu buta, selalu pergi saat aku ingin lebih dari sekadar sahabat."
Dia menggeleng pelan, seolah tak percaya. "Kamu… kamu serius?"
"Ya, aku serius," jawabku nyaris berbisik, takut jika aku berbicara lebih keras, semua perasaanku akan tumpah dan tak bisa lagi kukendalikan. "Selama ini, kamu datang kepadaku hanya untuk menyembuhkan lukamu. Tapi kamu tidak pernah berpikir, bagaimana rasanya untuk orang yang tiap kali didatangi saat kamu sedang patah hati?"
Dia terdiam, dan untuk pertama kalinya, aku melihat tatapan ragu dalam matanya. "Tapi… aku tidak tahu… Aku… aku tidak pernah melihat kamu lebih dari sekadar sahabat. Kamu selalu jadi orang yang aku percaya, yang aku andalkan."
Aku menggeleng pelan, tak tahu harus tertawa atau menangis. "Itu masalahnya. Kamu terlalu terbiasa menganggap semuanya hanya sebatas perhatian biasa, sampai kamu tidak sadar kalau perasaan ini nyata. Aku di sini, menghabiskan waktu mendengarkan semua keluhanmu, berharap suatu saat kamu akan melihatku. Tapi mungkin itu kesalahanku, berharap terlalu banyak dari seseorang yang tidak pernah menginginkan lebih dariku."
Dia menggigit bibirnya, wajahnya tampak kalut dan gelisah. "Aku butuh kamu. Kamu satu-satunya yang selalu ada untukku. Semua pria sama saja, pada akhirnya mereka pergi."
"Termasuk aku?" tanyaku, suaraku kini terdengar lebih tegas. "Kamu kira aku tidak pernah punya batas? Aku tidak bisa terus jadi tempat pelarian setiap kali kamu gagal dengan orang lain. Aku punya hati, dan hati ini lelah. Kalau kamu tidak bisa memberi lebih dari sekadar rasa kasihan atau ketergantungan, maka aku tidak bisa terus bertahan."
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa…" bisiknya, matanya penuh kebingungan dan air mata.
"Aku sudah cukup lama bertahan, menunggu, berharap… tapi kali ini aku yang menyerah. Mungkin semua ini sia-sia sejak awal." Aku berdiri, meski langkahku berat, aku tahu inilah saatnya berhenti.
"Jadi… kamu benar-benar mau meninggalkan aku?" tanyanya, suaranya bergetar, seakan tak percaya apa yang baru saja terjadi.
Aku menatapnya untuk terakhir kali, mencoba mengingat wajah itu dengan jelas. "Aku tidak pernah meninggalkanmu. Kamu yang tidak pernah benar-benar memilikiku. Aku lelah jadi bayangan, jadi tempat pelarian, dan kali ini, aku memilih pergi."
Dia tak lagi mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapku dengan tatapan kosong yang menyiratkan luka. Namun, aku tahu, luka di hatiku jauh lebih dalam. Dengan langkah berat, aku meninggalkan taman itu, meninggalkan cinta yang tak pernah terbalas sambil berharap, suatu hari nanti, ia akan menyadari apa yang telah hilang.
Tamat
Baca juga: Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai
jadi inget lagunya drive
BalasHapuswaktu jaman galau2nya
Judul nya apa kang? Apa yang judulnya judi.🤔
HapusApa liriknya seperti ini?
Judi (judi)
Menjanjikan kemenangan
Judi (judi)
Menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
😂😂😂
Ngga jauh dari judi nih orang.. wkwkwk
Hapusnah seperti itulah
BalasHapusAwalnya teman curhat, eh lama lama jatuh hati juga
Walau sudah tahu akan bertepuk sebelah tangan hehehe
Eh nasib
Cerita klasik ya..hihihi
HapusYah, kok langsung ditinggal sih, siapa tahu ia lagi bingung mau terima jadi pacar atau ngga, kan perlu waktu juga buat mikir.
BalasHapusCapek nungguin orang bingung..wkwkwk
HapusLah, nunggu sehari dua masa ngga sabar sih. Siapa tahu ia akhirnya mau jadi pacarnya, iya kan.
HapusMau jadi pacarnya sampai dapat pacar yang baru.🤣🤣🤣
Lah gimana itu.. wkwkwk
HapusTerkadang cewe itu memang butuh waktu lamaaa buat sadar Ama perasaan hatinya. Ibarat semut yg kecil kliatan, gajah di pelupuk mata ga terlihat 🤣🤣
BalasHapusMungkin hrs di KSH shock terapi begini biar tahu juga perasaan dia Ama si cowo, 😅. Kalo sampai suka nantinya, pasti si cewe yg bakal mencari cari 😁
Mungkin di situlah letak uniknya cewek..hihihi
HapusKalo cuman jadi tempat curhatan aja mah ya capek lah.... Apalagi si cowok punya perasaan, sakit atuh tiap denger keluh kesah si cewek, berbalut kata sahabat yg setia... Prett 🤭
BalasHapusHahaha.. santai mbak, santai..hahaha
Hapusdaripada perasaan tersakiti terlalu lama, lebih baik pergi merelakannya :')
BalasHapusPilihan yang logis..hihihi
Hapus