Bukan Cinta Yang Sama (#3) - Cerbung
Bukan Cinta Yang Sama (#3) - Cerbung

Chandra hanya bisa mengangguk, lalu mengikuti Dea masuk ke dalam vila. Di dalam, Lian sudah duduk dengan tumpukan kartu di depannya, sementara Raka duduk bersila di sampingnya.
"Nah, akhirnya dua orang yang paling dicurigai malam ini bergabung juga," goda Lian.
Andini yang sedang mengambil camilan langsung ikut nimbrung, "Dari tadi kalian membicarakan apa sih? Kok lama banget di luar?"
Dea tersenyum geli. "Ah, biasa saja, cuma berbicara random."
Raka memicingkan mata ke arah Chandra. "Benar nih?"
Chandra menghela napas, lalu duduk di sofa tanpa menjawab.
Raka terkekeh. "Ya sudahlah, kita main saja. Yang kalah, harus jujur menjawab satu pertanyaan dari yang menang."
"Wah, bahaya nih!" komentar Lian sambil tertawa.
Mereka mulai bermain. Permainan berlangsung seru, penuh tawa dan teriakan protes setiap kali ada yang kalah. Sampai akhirnya, giliran Chandra yang kalah.
Raka langsung bersiap dengan senyum penuh arti. "Nah, ini yang kita tunggu-tunggu."
Chandra sudah bisa menebak akan ke mana arah pertanyaannya.
"Pertanyaannya simpel," lanjut Raka. "Dari satu sampai sepuluh, seberapa besar kemungkinan kamu suka sama seseorang yang ada di ruangan ini?"
Dea menegang, jantungnya berdetak lebih cepat. Andini tersenyum manis dan Lian langsung bersiul pelan.
Chandra, yang biasanya bisa mengelak dari pertanyaan seperti ini, kali ini merasa sulit untuk menghindar. Ia menatap Raka yang menunggu dengan ekspresi penuh harap.
Akhirnya, dengan napas panjang, Chandra menjawab, "Delapan."
Seketika ruangan menjadi lebih berisik dari sebelumnya.
Dea tersenyum samar, lalu memandang tajam ke arah Chandra.
Andini menjerit kecil. "Waaaah! Delapan, asyik! Itu sudah tinggi banget!"
Lian terkekeh. "Siapa nih yang dapat angka segitu?”
Raka menatap Chandra tajam. “Pasti ada orangnya, kan?"
Dea dan Andini saling pandang.
Chandra hanya tersenyum lalu berkata, "Jawabanku sudah cukup, kan?”
Raka mendengus kecewa. “Yah, dasar kamu. Tapi tidak apa-apa, yang penting kita sudah dapat sesuatu malam ini.”
Malam semakin larut, tapi suasana di dalam vila masih terasa hangat. Setelah permainan kartu selesai, satu per satu mulai beranjak ke kamar masing-masing. Raka, Andini, dan Lian sudah menghilang ke dalam kamar mereka, meninggalkan Chandra dan Dea yang masih duduk di ruang tengah.
Dea melirik ke arah Chandra. "Tadi… angka delapan itu untuk siapa?" tanyanya pelan.
Chandra menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Dea yang penuh rasa penasaran.
Ia tersenyum tipis, lalu berkata, "Kalau aku bilang untuk kamu, bagaimana?"
Baca juga: Sepenggal Kisah Dunia Maya
Dea terdiam. Jantungnya berdebar lebih cepat, tapi ia mencoba tetap tenang. "Kalau benar untukku, mungkin aku bakal… bertanya kenapa tidak sepuluh sekalian?"
Chandra terkekeh pelan. "Karena aku masih tidak yakin, apakah aku pantas buat dapat angka sepuluh."
Dea terdiam sesaat sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Jawaban yang aman."
Angin malam masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa hawa sejuk yang justru memperkuat intensitas suasana di antara mereka.
"Aku tidak menyangka kita bisa sampai di titik ini," kata Dea pelan.
Chandra mengangguk. "Aku juga."
Dea menatapnya dalam. "Jika memang ada perasaan itu... apa yang akan kamu lakukan?"
Chandra terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku pernah kehilangan seseorang karena aku terlalu ragu. Kali ini… aku tak akan membiarkan hal yang sama terjadi lagi."
Dea tersenyum. "Itu artinya apa?"
Chandra menarik napas dalam. "Itu artinya… kalau aku diberi kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru, aku tidak akan menolaknya."
Dea menghela napas pelan. "Aku cuma ingin bilang satu hal…"
Chandra menatapnya, menunggu dengan harap.
Dea tersenyum, lalu berkata dengan suara pelan, "Pergimu sudah kuikhlaskan, kembalimu takkan pernah kuinginkan lagi."
Chandra tersentak. Kata-kata itu seperti tamparan halus yang mengingatkannya pada semua yang sudah terjadi di masa lalu.
Dea melanjutkan, "Aku sudah terlalu lama hidup di masa lalu, dan aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama."
Chandra menelan ludah. "Jadi, maksud kamu…"
Dea menatapnya dalam-dalam. "Maksudku, kalau aku memilih untuk membuka hati lagi, aku tak mau setengah-setengah. Aku tak mau ada bayangan masa lalu yang masih menghantui."
Chandra mengangguk pelan. "Aku mengerti."
Dea tersenyum. "Jadi kalau kamu memang mau memulai sesuatu yang baru, pastikan kamu benar-benar siap."
Chandra menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Oke. Aku siap."
Dea menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kita lihat nanti."
**********
Keesokan paginya, suasana di vila masih terasa santai. Matahari menyelinap masuk melalui jendela, menyorot wajah Chandra yang masih setengah mengantuk.
Ia baru saja bangun, tapi pikirannya masih melayang ke obrolan semalam dengan Dea.
"Kalau kamu memang mau mulai sesuatu yang baru, pastikan kamu benar-benar siap."
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Sementara itu, di dapur, Dea sedang menyiapkan kopi. Ia tampak tenang, tapi pikirannya juga tak kalah sibuk. Perasaan yang selama ini ia kira hanya sebatas rasa nyaman, ternyata lebih dari itu.
Baca juga: Dara, Gadis Dunia Maya
Lian yang baru keluar dari kamar langsung menguap lebar. "Pagi, De."
Dea menoleh dan tersenyum. "Pagi. Mau kopi?"
"Boleh," jawab Lian seraya menarik kursi. "Yang lain masih tidur?"
"Sepertinya. Kecuali Raka, tadi aku lihat dia lagi jogging di luar."
Lian terkekeh. "Si Raka memang tidak bisa diam. Beda banget sama Chandra."
Mendengar nama itu, Dea hanya tersenyum kecil.
Tak lama kemudian, Chandra muncul dari dalam kamar dengan rambut berantakan dan mata masih setengah tertutup.
"Pagi," gumamnya seraya duduk di seberang Dea.
Dea hanya menatapnya sebentar sebelum menyodorkan secangkir kopi hangat. "Nih minum kopi biar melek."
Chandra mengambilnya tanpa berkata apa-apa, tapi ada senyum tipis di wajahnya.
Lian mengamati mereka dengan tatapan penuh arti. "Eh eh, sepertinya ada yang berubah nih?"
Chandra menoleh. "Apa?"
Lian terkekeh. "Tidak kok, cuma merasa saja, sepertinya kalian berdua semakin akrab."
Dea hanya tersenyum, sementara Chandra menghela napas. "Biasa saja."
Tapi sebelum Lian bisa menggoda lebih jauh, Raka masuk dengan kaos basah oleh keringat. "Wah, pagi-pagi sudah bikin gosip saja."
Lian tertawa. "Bukan gosip, hanya mengamati."
Raka duduk di kursi, lalu menatap Chandra. "Dra, apakah kamu jujur saat menjawab pertanyaan tadi malam?"
Chandra mengangkat alis. “Maksudmu?”
Raka menyeringai. "Kamu jawab delapan, kan? Tapi kalau aku lihat dari tatapanmu sekarang, sepertinya harusnya lebih dari delapan, ya?”
Dea menegang, sementara Lian langsung bersiul pelan.
Chandra mendesah pelan. "Ka, pagi-pagi jangan membuat ribet."
Raka hanya terkekeh. "Aku hanya penasaran, Dra."
Dea akhirnya angkat bicara. "Kenapa kalian ribet banget sama angka delapan?"
Raka menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Karena delapan itu hampir sepuluh, De. Dan kalau sudah sampai angka itu, tinggal selangkah lagi untuk berubah jadi sesuatu yang lebih."
Dea terdiam, lalu tersenyum kecil. "Ya sudah, kalau begitu kita lihat nanti… apakah delapan itu bakal bertahan atau naik jadi sepuluh."
Chandra menatapnya lama. Dea berkata dengan nada santai, tapi ia tahu, di balik kata-kata itu ada tantangan tersendiri. Dan ia siap menjawabnya.
Tak lama kemudian Andini keluar dari kamarnya dan ikut bergabung dalam percakapan dan suasana pagi itu begitu meriahnya.
**********
Setelah sarapan, mereka berlima memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. Suasana masih terasa hangat, tapi di antara Chandra dan Dea, ada sesuatu yang tak terucapkan.
Baca juga: Dia Yang Kusayang
Sepanjang perjalanan, Lian terus saja menggoda. "Jadi, sudah ada perkembangan dari angka delapan?"
Chandra menatapnya malas. "Kamu tak ada pekerjaan lain selain mengurusi hidupku?”
Raka terkekeh. "Biarkan saja, Dra. Lian lagi senang melihat kamu kebingungan."
Dea yang duduk di sebelah Chandra tersenyum kecil. Sebenarnya, ia juga penasaran: apakah Chandra memang siap untuk benar-benar membuka hati?
Sesampainya di sebuah kafe di pinggir jalan, mereka memutuskan untuk duduk santai sambil menikmati suasana kota.
Andini, yang sejak tadi lebih banyak diam, tiba-tiba bertanya, "Kalau cinta itu bukan karena dia mencintai kita, bukan karena harta, bukan karena penampilan, dan bukan karena kebaikan, lalu cinta itu apa?"
Semua terdiam.
Dea tersenyum tipis, lalu berkata, "Cinta itu… sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan alasan."
Andini menatapnya penasaran. "Maksudnya?"
Dea menyesap kopinya pelan sebelum menjawab, "Kalau kamu cinta seseorang karena dia mencintaimu, itu bukan cinta, tapi empati. Kalau karena harta atau uang, itu bukan cinta, tapi ketertarikan. Kalau karena penampilan, itu bukan cinta, tapi obsesi. Kalau karena kebaikan, itu bukan cinta, tapi kekaguman."
Lalu, Dea melanjutkan, "Jadi kalau ditanya, cinta itu apa? Cinta itu sesuatu yang tetap ada tanpa alasan."
Lian mengangguk-angguk. "Wih, berat banget jawabanmu, De."
Raka tertawa kecil. "Iya, nih. Aku sampai tidak mengerti."
Dea mengulum senyum, dan tatapannya kembali bertemu dengan Chandra. Kali ini, Chandra tidak menghindar. Hatinya mulai merasa yakin, delapan memang belum sepuluh. Tapi jika ia siap melangkah, mungkin suatu saat nanti, angka itu bisa berubah.
Setelah menghabiskan waktu di kafe, mereka berjalan-jalan di sekitar pusat kota. Suasana sore itu terasa nyaman, angin sepoi-sepoi membuat langkah mereka semakin santai.
Chandra menatap Dea yang berjalan di sampingnya, menikmati pemandangan dengan senyum kecil di wajahnya.
Tanpa sadar, ia bertanya, "De, kalau kamu bisa mengulang waktu… kamu bakal memilih untuk tetap ada di sini atau pergi?"
Dea menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Maksudnya?"
Raka menghela napas. "Ya… kalau kamu punya pilihan untuk tetap tinggal dalam sesuatu yang nyaman atau pergi mencari sesuatu yang baru, kamu bakal pilih yang mana?"
Dea terdiam sebentar sebelum menjawab, "Aku di sini bukan karena aku tak punya pilihan. Aku di sini karena aku memang ingin ada di sini."
Jawaban itu membuat Chandra terdiam.
Raka yang mendengar percakapan itu langsung menepuk bahu Chandra. “Wih, kalau aku jadi kamu, Dra, aku sudah tidak ragu lagi."
Baca juga: Rasa Yang Telah Terbunuh
Lian tertawa. "Iya, masa kamu masih bingung juga? Mau ditunggu sampai kapan?"
Chandra mendesah pelan. "Aku cuma tak mau membuat kesalahan lagi."
Baca juga: Rasa Yang Telah Terbunuh
Dea tersenyum, kali ini lebih lembut. "Kalau kamu terus-terusan takut membuat kesalahan, kamu tidak akan pernah berani untuk melangkah."
Chandra menatapnya lama lalu ia berkata, "Jadi maksud kamu, aku harus berani?"
Dea mengangguk. “Ya, kalau tidak sekarang, kapan?”
Lian dan Raka langsung bersorak kecil. "Dan Akhirnya!"
Andini terkekeh. "Baru sadar ya, Dra?”
Chandra hanya menggeleng, tapi kali ini, ada sesuatu di hatinya yang terasa lebih ringan. Ia tahu, ia sudah menemukan jawabannya.
*********"
Malam itu, setelah seharian jalan-jalan, mereka berlima kembali ke vila. Suasana terasa begitu tenang, Chandra tampak duduk sendirian di balkon, menatap langit yang dipenuhi bintang. Hatinya sedang bergejolak, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, banyak hal yang ingin ia pastikan.
Lalu, langkah pelan terdengar.
"Lagi menikmati angin malam, Dra?" suara Dea terdengar lembut di belakangnya.
Chandra menoleh dan melihat Dea berdiri di belakangnya, membawa dua cangkir teh hangat. Tanpa berkata-kata, Dea menyerahkan salah satunya padanya, lalu duduk di sampingnya.
"Terima kasih," gumam Chandra.
"Lagi-lagi, aku perhatikan kamu terlihat banyak berpikir."
Chandra tersenyum kecil. "Bukan banyak berpikir, cuma... mencoba memahami semuanya."
"Segala sesuatu memang tidak bisa dipahami dalam satu malam, Dra," kata Dea pelan.
Chandra diam, lalu berkata, "Dulu aku berpikir, kalau aku kehilangan seseorang, duniaku bakal berhenti di situ. Aku pikir tak akan ada kesempatan kedua. Makanya aku diam di tempat, tidak berani berjalan lagi."
Dea menatapnya, menunggu kelanjutan kata-katanya.
Chandra melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Tapi aku sadar… kalau aku tetap diam, aku tidak akan pernah sampai ke mana-mana."
Dea terdiam sejenak sebelum tersenyum. "Aku di sini bukan karena aku tidak punya pilihan, Dra. Aku di sini karena aku memang ingin ada di sini. Tapi kalau kali ini kamu memilih untuk tetap tinggal, aku juga tak akan pergi."
Chandra menatapnya dalam. "Kalau begitu, boleh aku tanya sesuatu?"
Dea mengangguk. "Tanya apa?"
Chandra menatap ke arah gelas tehnya, lalu kembali menatap Dea dan berkata pelan, "Bagaimana rasanya percaya sama seseorang lagi?"
Dea terdiam. Ia paham arah pertanyaan itu. Lalu ia menjawab, suaranya lembut. "Percaya sama seseorang lagi itu… seperti berdiri di tepi tebing, tapi kali ini kamu tahu ada seseorang yang akan menangkapmu kalau kamu jatuh."
Chandra menghela napas panjang. "Dan kamu tidak takut jatuh?"
Dea tersenyum. "Takut. Tapi kalau aku tidak pernah berani melompat, aku juga tak akan pernah tahu rasanya terbang."
Baca juga: Apakah Memang Dia? (#2)
Chandra menatap Dea, mencoba menangkap kejujuran di matanya. "Jadi kalau aku mau memulai sesuatu yang baru, kamu bakal tetap ada?"
Dea menatapnya, lalu mengangguk. "Iya.
Hening sejenak. Lalu, Chandra tertawa kecil. "Berarti angka delapan sudah naik ke sembilan. Tinggal selangkah lagi ke sepuluh."
Dea menggeleng, tersenyum lembut. "Aku tidak butuh angka, Dra. Aku cuma butuh kepastian."
Lian yang ternyata diam-diam menguping dari balik pintu langsung berbisik ke Raka, "Ini sebentar lagi bakal resmi nih!"
Raka terkekeh. "Aku kasih waktu dua menit buat Chandra bicara langsung."
Andini menepuk pundak mereka berdua. "Kalau dalam dua menit tidak bicara juga, kita dorong mereka ke kolam biar langsung sadar!"
Tapi sebelum mereka bisa melancarkan rencana isengnya, suara Chandra terdengar. "De…"
Dea menoleh.
Chandra menarik napas dalam. "Aku tidak mau hanya berhenti di angka delapan atau sembilan. Kalau kamu tak butuh angka, Aku juga tak butuh perhitungan."
Dea terdiam, menunggu kelanjutannya.
"Aku tidak mau jalan sendirian lagi. Aku tak mau hanya menunggu takdir yang memutuskan," suara Chandra semakin pelan, tapi tegas. "Jadi, kalau kamu memberi aku kesempatan… aku mau jalan bareng denganmu, mulai dari sekarang."
Lian, Raka, dan Andini langsung menahan napas di balik pintu.
Dea tersenyum hangat, matanya menatap Chandra dengan penuh keyakinan. "Kalau tidak sekarang, kapan?"
Chandra terdiam sejenak, lalu tersenyum. Kali ini, ia tahu jawabannya.
Dan saat itu juga, Lian, Raka, dan Andini langsung bersorak. "Akhirnya!"
Chandra dan Dea menoleh ke arah mereka dengan tatapan kesal, tapi Lian hanya tertawa. "Maaf, Dra, tapi kami sudah menunggu momen ini sejak lama. Sumpah, kalau kamu tidak bicara sekarang, besok kita pasti mendorongmu ke kolam."
Raka menimpali, "Aku bahkan sudah menyiapkah hitungan mundur tadi."
Andini mengangguk mantap. "Dan aku yang bakal menyeburkan kalian berdua kalau tidak jadi juga."
Chandra hanya menghela napas, lalu tertawa kecil. "Dasar, geng kepo."
Dea juga ikut tertawa. Kali ini, bukan tawa basa-basi. Tapi tawa yang tulus, karena akhirnya, tak ada lagi yang perlu disembunyikan.
Malam itu, mereka semua tertawa bersama.
Tamat
Part sebelumnya: Bukan Cinta Yang Sama (#2)
Wah berarti genap 10 ya
BalasHapusitulah cinta tanpa alasan
Ya, seperti itulah kira-kira..hihihi
HapusAku malah kagum dengan persahabatan Raka, Candra, Dea, Lian, dan Andini, soalnya di dunia nyata aku waktu pacaran sepertinya tidak ada yang bertanya atau perduli kecuali keluarga sendiri. Apa karena aku jarang gaul ya? 🤔😭
BalasHapusMasa sih? Sama dong.. wkwkwk
HapusAlhamdulillah, happy ending. Sebenarnya 8 dari 10 juga okay sih.
BalasHapusPembaca jadi ikutan senang...❤️
Benar kata Andini, delapan sudah tinggi banget ya, Mbak..hihihi
Hapus