Batas Yang Tak Terlihat - Cerpen
Batas Yang Tak Terlihat - Cerpen

Aku tidak tahu persis kapan semuanya mulai berubah. Yang aku tahu, dulu, jika ada satu nama yang akan langsung kutelepon saat aku sedang berada di puncak bahagia atau di dasar kehancuran, itu adalah Yuli.
Kami bertemu saat kuliah, dua mahasiswi yang kebetulan duduk bersebelahan saat orientasi kampus. Aku tipe orang yang pendiam, kalem, dan lebih suka mengamati dari balik buku. Sebaliknya, Yuli adalah orang yang lincah, ceplas-ceplos, dan suka membicarakan apa saja. Tapi justru di situlah titik temu kami. Entah bagaimana, kami jadi saling melengkapi.
Selama kuliah, kami seperti satu paket yang tak terpisahkan. Kami melewati malam-malam panjang mengerjakan tugas kuliah hingga subuh, berbagi sebungkus mi instan saat tidak punya uang, hingga menangis bersama saat patah hati. Yuli adalah orang yang akan memaki laki-laki yang menyakitiku seolah-olah dia sendiri yang disakiti. Sebaliknya, aku adalah rem bagi Yuli ketika hidupnya yang sering kali terlalu kencang dan tanpa rencana.
Bahkan setelah lulus dan memasuki dunia kerja yang menyita waktu, ikatan itu tetap erat. Kami tetap menjadi jangkar bagi satu sama lain. Aku bekerja sebagai desainer grafis di sebuah agensi kreatif yang menuntut ketelitian visual, sementara Yuli menjadi public relations di perusahaan ritel besar. Meski dunia kami berbeda, kami selalu punya ruang aman untuk sekadar makan siang bersama, jalan-jalan, atau berbagi keluh kesah lewat telepon hingga larut malam.
Bagiku yang pendiam, Yuli adalah jembatanku menuju dunia luar. Dan baginya, aku adalah rumah tempat dia bisa melepas topeng keceriaannya. Kami merasa tidak terkalahkan, sampai akhirnya, orang baru muncul: Teguh. Laki-laki dengan tawa yang hangat dan ketertarikan mendalam pada seni yang serupa denganku. Kami bertemu di sebuah pameran seni, bertukar nomor, lalu menjalin hubungan yang tumbuh dengan tenang namun serius. Yuli adalah orang pertama yang kuberi kabar. Dia tampak antusias, bahkan dialah yang paling semangat membantu memilihkan gaun saat aku hendak menghadiri pernikahan teman Teguh. Semuanya tampak sempurna.
Tapi perlahan, ada kabut tipis yang mulai menyelimuti persahabatan kami.
Setelah beberapa bulan, aku mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa dari Yuli. Nada bicaranya berubah, tidak lagi hangat. Bukan sinis, tapi hambar, seolah ada tembok yang dibangunnya diam-diam. Aku mencoba mengabaikannya, menyalahkannya pada beban kerjanya yang mungkin sedang menumpuk. Aku tidak sadar bahwa tembok itu bukan miliknya saja, tapi juga milikku.
Sampai suatu hari, aku mendengar sesuatu yang membuatku diam lama setelahnya.
Saat itu kami berjanji bertemu di kafe favorit kami, tempat yang biasa kami datangi sejak zaman kuliah dulu. Hari itu aku datang lebih awal dan memilih meja di sudut yang terlindungi oleh tanaman hias.
Sepuluh menit kemudian, aku melihat Yuli masuk dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak gusar. Dia tidak menyadari aku sudah datang lebih dahulu dan duduk di sudut. Dia langsung duduk di meja tengah, beberapa meter dariku, dan meletakkan ponselnya di telinga.
Baca juga: Kita, Dalam Sebuah Cerita
"Aku sudah sampai di kafe. Iya, nunggu Refa," suaranya terdengar jernih di ruangan yang sepi itu.
Aku baru saja hendak berdiri untuk mengagetkannya ketika kalimat berikutnya membuat kakiku terpaku di lantai.
"Iya, malas banget sebenarnya. Si Refa itu makin nggak asyik aja sejak pacaran sama Teguh. Semua obrolannya kalau nggak soal Teguh, ya soal kerjaan mereka. Egois banget. Dia kayak lupa siapa yang ada buat dia pas dia dulu susah," suara Yuli terdengar penuh dengan kejengkelan yang tidak pernah ia tunjukkan di depanku.
Duniaku serasa berhenti berputar sejenak. Napas pun terasa sesak.
"Dulu kita selalu kompak, sekarang dia kayak merasa paling sukses, paling bahagia sendiri. Padahal kalau nggak ada aku, dia cuma anak pendiam yang nggak berani ngomong sama orang," lanjutnya.
Kalimat itu menamparku lebih keras dari yang bisa kujelaskan. Ada rasa perih yang menjalar cepat di dadaku. Ternyata, di belakangku, aku adalah tokoh antagonis dalam ceritanya.
Ucapan itu bukan sekadar kritik; itu adalah penghinaan terhadap karakterku dan pengkhianatan terhadap semua rahasia yang pernah kami bagi.
Aku tidak menunggu dia selesai menelepon. Dengan telinga yang panas dan tubuh gemetar, aku berdiri dan pergi lewat pintu samping. Tak ada pesan penjelas. Tak ada telepon kemarahan. Untuk pertama kalinya, aku memilih diam sebagai jawaban. Aku tidak butuh penjelasan, tidak juga alasan. Aku hanya merasa, pada detik itu juga, ada sesuatu dalam diriku yang hancur: rasa hormat.
Beberapa kali, Yuli mencoba menghubungiku. Ia mengajak bertemu, meminta maaf dengan nada bingung karena aku tiba-tiba menjauh. Namun, aku tetap diam. Bagi orang lain, mungkin ini terdengar kekanak-kanakan. Tapi aku bukan marah; aku hanya merasa lelah. Aku tidak ingin memaksakan sebuah hubungan yang sudah kehilangan bentuk.
Sampai beberapa minggu kemudian, Teguh yang tenang menyadarinya.
"Kamu nggak pernah cerita tentang Yuli lagi," katanya saat kami duduk di taman, menikmati sisa matahari sore.
Aku hanya mengangkat bahu singkat. "Nggak ada yang perlu diceritakan."
"Padahal dulu kamu bilang dia orang paling kamu percaya, kan?"
Aku menunduk, memainkan jemariku. "Dulu, iya. Sekarang beda. Orang berubah, Guh. Mungkin masanya memang sudah habis."
"Tapi dia sahabatmu. Ada masalah?" Teguh menatapku dengan mata yang tenang, mencoba mencari jawaban di balik wajahku yang datar.
"Aku cuma sedang tidak ingin bicara dengannya. Ada sesuatu yang hilang, dan aku tidak tahu cara memperbaikinya. Atau mungkin, aku tidak ingin memperbaikinya," jawabku jujur.
Teguh tidak mendesak. Dia menghormati ruangku. Namun, aku tidak tahu bahwa di belakangku, Teguh merasa bertanggung jawab. Dia merasa kehadirannya adalah penyebab keretakan ini.
Baca juga: Sebelum Ia Menyadari
**********
Sebulan berlalu tanpa komunikasi. Yuli mulai berhenti mengirim pesan harian, mungkin dia mulai menyadari bahwa aku sedang membangun benteng.
Suatu sore, Teguh menjemputku dengan wajah yang sulit dibaca.
"Kita mau ke mana?" tanyaku saat dia membawaku ke arah area yang tidak biasa.
"Ada seseorang yang butuh bicara denganmu, dan ada seseorang yang butuh menutup luka ini agar bisa sembuh," jawabnya tenang.
Saat mobil berhenti di depan sebuah kafe kecil yang tenang, aku melihat sosok Yuli duduk di dekat jendela. Aku terkejut, ada rasa marah dan kecewa yang memuncak saat melihatnya. Aku menatap Teguh, namun dia hanya membalas dengan pandangan penuh pengertian.
“Kamu menjebakku?” tanyaku tajam.
“Aku tidak menjebakmu, Refa. Aku hanya menyediakan ruang. Kalau kamu tetap ingin pergi, aku akan putar balik sekarang juga. Tapi aku tahu kamu tidak akan bisa tenang kalau ini tidak diselesaikan.”
Aku menatap Yuli dari kejauhan. Dia tampak berbeda. Tidak ada binar di matanya. Tidak ada senyum lebar yang biasa menghiasi wajahnya, serta tidak terdengar suara nyaring yang biasanya memenuhi ruangan. Hanya ada sepasang mata yang lelah dan sedih. Dia hanya mengaduk-aduk minumannya tanpa minat.
"Kamu boleh marah padaku setelah ini, tapi menurutku kalian harus bicara. Persahabatan kalian terlalu berharga untuk mati tanpa kata-kata," bisik Teguh.
Akhirnya, aku menarik napas dalam-dalam. Aku butuh mengakhiri kebisingan di kepalaku ini. Aku turun dari mobil dan berjalan masuk ke kafe dengan perasaan campur aduk hingga tiba di meja Yuli. Dia tampak terkejut melihatku sudah berdiri di sana. Tanpa basa-basi, aku menarik kursi dan duduk, mencoba mencari kekuatan untuk memulai pembicaraan ini.
Aku duduk di depan Yuli tanpa ekspresi. Dia tidak berani menatap mataku secara langsung. Jemarinya terus memilin ujung tisu di meja.
"Refa... aku nggak tahu harus mulai dari mana," suaranya serak. "Aku tahu kamu dengar semua yang aku omongkan di telepon hari itu. Aku lihat sekilas bayanganmu meninggalkan kafe. Aku sadar saat itu juga kalau aku baru saja menghancurkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku."
Aku hanya diam, membiarkan kata-katanya mengambang di udara.
"Aku salah, Ref," lanjutnya. "Aku terlalu terbiasa menjadi pusat duniamu, sampai aku merasa kehilangan saat kamu mulai punya dunia baru dengan Teguh. Aku egois."
Aku tetap diam, memberinya ruang untuk bicara, atau mungkin aku sendiri terlalu lelah untuk mengeluarkan kata-kata.
"Aku nggak pernah benci kamu. Aku hanya... mungkin iri. Hidupmu kelihatan teratur dan bahagia, sementara aku merasa masih jalan di tempat. Aku merasa tersisih, dan aku sangat bodoh karena melampiaskannya dengan membicarakanmu di belakang."
Tanganku mengepal di bawah meja. "Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Yul? Bukan kata-katamu. Tapi fakta bahwa kamu adalah orang yang paling aku percaya. Aku nggak pernah menyangka kamu menggunakan kelemahanku, masa laluku sebagai orang pendiam sebagai bahan ejekan. Aku percaya kamu, karena kamu tahu betapa sulitnya aku berjuang untuk menjadi diriku yang sekarang."
Baca juga: Pada Akhirnya, Akankah Luka Berakhir?
Yuli menunduk dalam, air mata mulai menggenang di sudut matanya dan dia mulai terisak. "Aku tahu. Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf."
"Aku sudah memaafkan kamu, Yul," kataku pelan, membuat dia mendongak dengan secercah harapan.
Aku tidak ikut menangis. Aku sudah melewati fase sesak itu di kamar sendirian. Namun, melihatnya menggigit bibir menahan isak, aku sadar bahwa luka ini menggores kami berdua.
"Dulu, aku bisa cerita apa pun padamu. Tapi sekarang, aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana. Bukan karena aku benci, tapi karena rasa nyaman itu sudah hilang."
"Jadi, apa kita bisa kembali?" tanyanya lirih.
Aku menarik napas panjang, menatap jalanan di luar jendela. "Begini saja, Yul. Kita tidak perlu berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja. Kita butuh waktu. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk kembali seperti dulu karena rasa hormatku padamu sudah berubah. Tapi, aku juga tidak ingin memupuk rasa benci. Jadi... kita biasa saja, ya? Kita berdamai dengan jarak ini."
Yuli mengangguk perlahan, meski ada guratan kecewa, dia tampak menerima.
Hari itu aku belajar satu hal penting: tidak semua hubungan harus berakhir dengan permusuhan. Ada yang cukup diselesaikan dengan diam, cukup dengan jarak yang sopan. Tidak perlu membenci, hanya perlu menerima bahwa kita tidak lagi bisa sedekat dulu.
**********
Beberapa bulan kemudian, aku dan Teguh menikah, ada pesta kecil di halaman rumah orang tuaku. Aku mengundang Yuli. Dia datang. Namun, tidak duduk di depan, tapi di barisan belakang. Dia mengenakan gaun biru muda yang pernah kami pilih bersama setahun lalu. Saat kami bersalaman, tidak ada pelukan erat yang dramatis. Hanya jabatan tangan yang sopan dan ucapan selamat yang tulus.
"Kamu cantik banget, Ref. Bahagia ya," katanya dengan senyum tipis.
"Terima kasih, Yul. Kamu juga kelihatan sehat," jawabku.
Hanya itu. Singkat, padat, namun bersih dari kepura-puraan.
Dari panggung pelaminan, aku melihat Yuli berjalan menuju sudut area katering. Di sana, dia bertemu dengan Wira, salah satu sahabat Teguh yang juga seorang arsitek. Wira adalah orang yang sangat cerewet, tipe orang yang bisa bicara tentang bangunan selama satu jam tanpa berhenti.
Aku melihat mereka mulai berbincang. Yuli mulai tertawa-tawa yang sedikit lebih tenang, tidak sekeras dulu, tapi terdengar lebih nyata. Ada kelegaan di dadaku melihat itu. Aku tidak lagi merasa bertanggung jawab atas kebahagiaannya, dan dia tidak lagi merasa harus bersaing denganku.
Aku menyadari bahwa persahabatan, seperti halnya kehidupan, memiliki musim. Ada musim untuk tumbuh bersama, dan ada musim untuk gugur agar dahan yang baru bisa tumbuh. Kami tidak berakhir dengan dendam. Kami hanya berakhir dengan kesadaran bahwa kami telah tumbuh ke arah yang berbeda.
Aku menggenggam tangan Teguh, menatap masa depan di depanku, dan memberikan doa dalam hati untuk Yuli di sana. Kami baik-baik saja. Tidak lagi sebagai satu paket yang tak terpisahkan, tapi sebagai dua manusia yang pernah saling mencintai dan kini saling melepaskan dengan rasa hormat.
Tamat
Baca juga: Hanya Fiksi, Tapi...
Komentar
Posting Komentar