Senyum Laras di Persimpangan - Cerpen

Senyum Laras di Persimpangan - Cerpen




senyum laras di persimpangan - cerpen


Senja merayap turun perlahan, memandikan kota Jakarta dengan cahaya jingga yang lembut. Raffa keluar dari gedung kantornya. Ia berjalan cepat melintasi trotoar, sesekali mencuri pandang ke langit yang mulai keemasan. Sore itu, ia kembali terlambat menemui dua orang yang sangat penting baginya, Nissa dan Laras. Entah mengapa, ada perasaan aneh yang sejak pagi tak mau hilang dari dadanya, seolah malam itu akan mengubah segalanya.

Lampu kuning kafe kecil di pojok jalan sudah menyala ketika Raffa mendorong pintu kaca. Aroma kopi dan manisnya kue menyeruak, menyambutnya dengan kehangatan yang membuatnya merasa sedikit bersalah karena baru tiba.

Saat masuk, Raffa melihat dua wajah yang sangat dikenalnya tengah menunggunya di meja dekat jendela.

Nissa duduk sambil memainkan sedotan es coklatnya, sesekali menggambar garis-garis kecil di embun jendela. Di sebelahnya, Laras menopang dagu, memandang keluar seolah mencari sesuatu yang tidak ada.

"Kamu telat tiga puluh menit," ucap Nissa begitu Raffa mendekat. Nada suaranya terdengar santai, namun intonasinya seolah menghitung bukan hanya waktu, tetapi juga semua kerinduannya.

Raffa menarik kursi dan duduk sambil menghembuskan napas panjang. "Aku minta maaf. Laporan klien itu benar-benar kacau, dan harus diselesaikan hari ini juga."

Laras tersenyum tipis, berusaha terlihat tenang meskipun jelas ada yang mengganggunya. "Kamu selalu punya alasan pekerjaan, Raf. Tapi, kami tetap datang. Jadi jangan terlalu keras pada diri sendiri."

Raffa tertawa kecil, namun ia menangkap sesuatu yang ganjil pada sorot mata mereka, seolah ada percakapan yang tak disampaikan. Ia nyaris bertanya, tapi sebuah firasat kuat membuatnya memilih diam.

Mereka memulai obrolan ringan yang berputar pada hal-hal biasa: film yang baru rilis, rencana liburan yang tak kunjung jadi, dan betapa lelahnya menjalani rutinitas harian. Namun di tengah obrolan, Laras tiba-tiba meletakkan cangkir kopinya. Begitu hati-hati, namun suara sentuhannya cukup untuk menghentikan percakapan.

"Raffa, aku ingin bertanya sesuatu yang sebenarnya sudah lama ingin kutanyakan," katanya pelan "Dan aku ingin kamu jawab dengan jujur."

Raffa sedikit menegakkan badan, menatapnya, mencoba membaca apa yang tertulis di balik wajah Laras. "Tentu, ada apa?"

Laras menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Raffa. "Apakah kamu pernah memikirkan kita… bukan hanya sebagai teman?"

Nissa menoleh, wajahnya tersentak. "Laras, kamu...."

"Tidak apa," potong Laras sambil mengangkat tangannya, menghentikan Nissa. "Aku sudah memendamnya terlalu lama. Dan aku lelah bersembunyi."

Suasana kafe yang tadinya riuh oleh suara orang-orang kini terasa sunyi. Raffa terdiam cukup lama.

“Laras… kamu sahabatku,” ujar Raffa akhirnya, suaranya sangat lembut. "Aku sangat menghargaimu." Ia terdiam "Tapi..."

"Sahabat," Laras menyelesaikan kalimat itu dengan senyum yang dipaksakan. "Aku tahu."

"Bukan begitu," Raffa mencondongkan tubuhnya, menatap Laras dan Nissa bergantian. "Aku hanya… tidak ingin gegabah memberi jawaban yang akan memengaruhi persahabatan kita."

Keheningan kembali tercipta, dan kali ini lebih berat.

"Aku tidak tahu… kalau kamu menyimpan perasaan sejauh itu," kata Nissa, suaranya terdengar pelan.

Laras menghela napas panjang. "Nissa, aku sudah tahu kamu mencintai Raffa sejak lama. Caramu memperlakukannya… caramu tersenyum setiap dia datang… aku memperhatikan itu semua."


Nissa terdiam, lalu mengangguk perlahan. "Iya. Aku memang mencintainya. Dan aku juga takut mengatakannya."

Raffa menutup wajahnya dengan tangan. "Kenapa kalian tidak bilang dari dulu? Kita bertiga sudah sahabatan bertahun-tahun. Kenapa harus memendam semuanya sendiri?"

"Karena kami tidak mau saling melukai," jawab Laras, kali ini dengan suara nyaris berbisik. "Nissa adalah sahabatku. Kamu juga. Aku takut salah satu dari kita akan tersingkir."

Nissa menatap Laras dengan tatapan penuh kasih. "Kita tidak tersingkir hanya karena kita jatuh cinta pada orang yang sama."

Raffa menggeser kursinya lebih dekat. "Kalian ingin aku jujur, dan aku akan jujur. Tapi tolong… dengarkan sampai selesai."

Nissa menggenggam jarinya sendiri dengan gugup. Laras menyiapkan hatinya tanpa mengatakan apa-apa.

"Dalam hidupku," kata Raffa perlahan, "Kalian berdua adalah tempat aku kembali. Tapi perasaan… tidak pernah bisa kuatur seperti jadwal kerja. Hati kecilku… sudah condong ke salah satu dari kalian."

"Siapa?" suara Laras nyaris seperti daun jatuh, halus dan rapuh.

Raffa menatap Nissa. "Kamu, Nissa."

Nissa terbelalak, butuh beberapa detik untuk menyadarinya. "Ra... Raffa…"

"Aku tidak tahu kapan tepatnya. Mungkin sejak kamu selalu jadi orang pertama yang kutelpon kalau aku sedang bermasalah. Atau sejak caramu marah, tapi tetap memikirkan apakah aku sudah makan atau belum." Nissa tersenyum tipis. "Bersamamu aku merasa… tenang. Dimengerti."

Tak ada ucapan dari Nissa, hanya air mata bahagia yang jatuh berderai.

Laras terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Raffa. Lalu, ia memejamkan matanya, tersenyum tipis, dan tertawa kecil, bukan pahit, melainkan seperti seseorang yang akhirnya selesai berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa ia raih.

"Aku sudah tahu," katanya. "Dari awal aku sudah tahu. Malam ini hanya konfirmasi yang aku butuhkan untuk bisa melangkah lebih jauh."

Raffa menatapnya dengan rasa bersalah yang menyelubungi dadanya. "Laras, aku..."

"Tidak usah meminta maaf," potong Laras, kali ini lebih tegas. "Perasaan itu tidak salah. Tidak memilihku bukan berarti aku tidak berharga. Dan aku senang kamu jujur."

Nissa meraih tangan Laras. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Kita bertiga sudah melewati terlalu banyak hal bersama."

Laras tersenyum begitu lembut hingga membuat dada Raffa dan Nissa sama-sama menghangat. "Kalian tidak akan kehilangan aku. Aku masih di sini. Aku hanya… perlu waktu untuk menyembuhkan diri. Tapi bukan untuk pergi."

Raffa mengusap wajahnya, merasa lega sekaligus sedih. "Aku takut malam ini kita akan berakhir jadi asing."

"Justru sebaliknya," kata Laras. "Kejujuran membuat kita tetap bisa saling menatap tanpa berpura-pura."

Ketika mereka keluar dari kafe, malam sudah semakin larut. Mereka berjalan berdampingan, langkah-langkah mereka pelan namun mantap.

"Lihat," ucap Laras sambil menengadah ke langit gelap. "Warna senja sudah hilang… tapi rasanya masih tersisa."

Raffa menatap dua perempuan terpenting dalam hidupnya. "Seperti hubungan kita. Mungkin bentuknya berubah, tapi kehangatannya tetap ada."

Nissa menyandarkan kepala di bahu Raffa, sementara Laras berdiri di sebelah kanan mereka dengan senyum tulus.

"Raffa," kata Laras setengah menggoda, "kalau suatu hari kamu membuat Nissa menangis… aku yang akan lebih dulu menegurmu."

Baca juga: O.D.O.P

Raffa tertawa kecil. "Aku janji tidak membuatnya menangis. Setidaknya bukan karena aku yang menyakitinya."

"Hati-hati dengan janji," kata Nissa pelan, menatapnya dengan mata yang masih sembap. "Karena aku akan mengingatnya."

Mereka bertiga melanjutkan langkah, memasuki malam yang lembut. Tidak ada drama berlebihan, tidak ada perpisahan menyakitkan. Hanya tiga hati yang memilih untuk tetap berdampingan, meski arah cinta mereka tak lagi sama.

Dan justru itulah yang membuat hubungan mereka menjadi lebih dewasa, lebih jujur, dan lebih indah dari sebelumnya.

Di persimpangan jalan, Nissa menggenggam tangan Laras sebentar sebelum mereka berpisah. "Sampai jumpa besok," bisiknya. Laras membalas dengan senyum. Nissa pulang bersama Raffa. Sementara Laras memilih naik ojek online, langkahnya tampak sedikit lebih berat, seperti seseorang yang baru saja berdamai dengan sesuatu yang tak dapat ia miliki

Keesokan harinya, Raffa bangun dengan perasaan campur aduk. Rasa lega karena semua sudah jujur, rasa bahagia karena Nissa menyambut perasaannya, dan juga rasa cemas memikirkan Laras. Suaranya yang lembut semalam, senyumnya yang tegar masih terpatri jelas.

Siang harinya, Nissa mengirim pesan pendek.

"Raffa… nanti sore ketemu di taman yang biasa, ya. Ada hal yang mau kubicarakan."

Raffa membalas dengan cepat.

"Tentu. Jam 5?

"Iya."

Namun, yang tidak mereka tahu, Laras sedang duduk sendirian di sudut kantin kampus, menatap ponselnya yang tak kunjung berdering.

Ia tidak marah. Ia tidak membenci siapa pun. Ia hanya… kosong.

Taman sore itu dipenuhi suara anak-anak berlari, angin memainkan daun-daun, sorotan matahari yang hampir tenggelam. Nissa menunggu di bangku kayu, menggeser-geser ujung sepatunya di tanah.

Ketika Raffa tiba, Nissa tersenyum, tetapi bukan senyum yang sepenuhnya bahagia.

"Ada apa?" tanya Raffa sambil duduk.

Nissa menghela napas. "Aku… senang waktu kamu bilang kamu menyukaiku. Tapi ada hal yang menggangguku."

Raffa menatapnya khawatir. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

"Bukan." Nissa menggigit bibirnya. "Ini tentang Laras."

Raffa mengangguk pelan. "Ya… aku juga memikirkannya."

"Raffa, aku tahu Laras bilang dia tetap ingin bersama kita, tapi aku bisa lihat dari matanya. Dia lebih terluka dari yang dia tunjukkan."

Raffa menatap tanah. "Aku tahu. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Aku tidak ingin berpura-pura mencintainya hanya untuk menghibur. Itu lebih kejam."

Nissa menarik napas panjang. "Aku tidak meminta kamu pura-pura. Tapi aku ingin kita… memperhatikannya. Dia selalu kuat untuk kita. Sekarang gilirannya butuh ditemani."

Raffa mengangguk, hatinya terasa sedikit hangat melihat betapa tulus Nissa memikirkan sahabatnya. "Kita jaga dia bersama."

Namun Nissa menggeleng. "Bukan kita. Kamu."

Raffa terkejut. "Aku?"

"Dia butuh bicara sama kamu, Raf. Bukan sama aku." Nissa memegang tangan Raffa. "Aku dan Laras selalu bisa saling menguatkan. Tapi yang dia butuhkan sekarang… adalah jawaban langsung dari orang yang ia cintai."

Raffa menelan ludah. "Dan kamu tidak keberatan?"


Nissa tersenyum kecil. "Cinta itu bukan kepemilikan. Aku percaya padamu."

Kata-kata itu menggetarkan dada Raffa.

Dua hari kemudian, Raffa mengajak Laras bertemu di sebuah taman kecil dekat kampus Laras, tempat mereka sering makan siang bertiga. Laras datang dengan wajah yang lebih cerah dari yang ia rasakan.

"Maaf bikin kamu repot," kata Laras sambil duduk, menatap danau kecil di depan mereka.

"Aku yang seharusnya minta maaf," jawab Raffa. "Aku takut kamu menjauh."

Laras tertawa kecil, tapi suaranya bergetar. "Raffa, aku tidak akan pergi. Aku hanya… butuh waktu untuk memahami kalau kamu memilih Nissa.”

"Aku tidak pernah ingin menyakiti kamu," ujar Raffa sambil memandangnya. "Aku benar-benar menghargai apa yang kamu rasakan."

"Aku tahu." Laras membalas tatapannya, matanya jernih namun lelah. "Dan rasa sakit ini… bukan salahmu."

Ada keheningan yang nyaman, bukan yang canggung. Laras kemudian menambahkan, "Yang membuatku tersakiti bukan kamu memilih Nissa. Tapi karena aku terlalu takut mengatakan perasaanku dari dulu." Ia tertawa pelan. "Aku yang menciptakan luka ini sendiri.

Raffa menghela napas berat, seolah beban yang lama menekan akhirnya keluar juga. "Kita terlalu banyak menunda hal-hal penting, ya?"

"Terlalu," jawab Laras.

"Laras…" Raffa mencondongkan tubuh sedikit. "Kalau kamu butuh ruang atau waktu… aku mengerti. Tapi jangan hilang dari hidup kami. Aku dan Nissa ingin kamu tetap ada di hidup kami. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai bagian penting dari keluarga yang sudah kita bangun bersama."

Laras menahan air mata. "Kamu tahu… kamu itu bikin sulit. Gimana aku bisa benci kamu kalau kamu malah bicara begini?"

Raffa tertawa pelan. "Kalau aku menyebalkan, marahi saja!"

Laras menyikut lengannya pelan. "Sudah berkali-kali!"

Keduanya tertawa. Tawa yang lama tidak terdengar sejak malam itu. Dan tawa itulah yang membuka ruang baru, ruang di mana cinta yang tak terbalas tetap bisa menjadi sesuatu yang tidak pahit.

Seminggu berlalu. Hubungan mereka bertiga mulai menemukan ritmenya lagi. Tapi tentu saja, tidak semua kembali seperti dulu. Ada dinamika baru yang tak bisa dihindari.

Suatu malam, mereka bertiga makan malam bersama di rumah Nissa. Awalnya terasa canggung. Lalu lama-lama, seperti kebiasaan lama, mereka saling menggoda, bergurau, dan menertawakan hal-hal kecil.

Hingga tiba-tiba, Laras berkata pelan, "Kalian tidak perlu menahan diri di depanku."

Raffa dan Nissa langsung terdiam.

"Laras..."

"Serius," kata Laras sambil tersenyum. "Aku sedang dalam proses menerima, bukan menghindari. Kalau kalian terlalu berhati-hati… aku justru merasa lebih terpisah."

Nissa menatapnya dalam-dalam. "Kamu yakin?"

"Yakin," jawab Laras. "Tapi… jangan terlalu mesra juga ya. Aku masih manusia."

Tawa pecah lagi. Tawa yang akhirnya terasa bebas dan jujur.

Namun malam itu, ketika Laras pulang dan Nissa merapikan meja, Nissa berkata pelan kepada Raffa, "Aku takut, Raf."

Raffa menghampirinya. "Takut apa?"

"Aku takut… karena aku merasa aku mendapat sesuatu yang Laras inginkan dengan sangat. Dan aku… takut menjadi alasan dia terus terluka."

Raffa memeluk pundaknya. "Kita rawat hubungan ini baik-baik. Kita jaga Laras. Kita jaga satu sama lain."


Nissa bersandar pada dadanya. "Aku ingin hubungan ini tetap utuh…"

Raffa mengecup keningnya. "Aku pun begitu," jawab Raffa dengan lembut.

Dan di luar, angin malam berhembus pelan, seolah menyetujui tekad yang baru saja mereka ucapkan dalam hati masing-masing bahwa cinta, sesulit apa pun bentuknya, tidak harus memecah, tidak harus menyisakan puing. Kadang, cinta yang jujur justru mengikat lebih kuat dari sebelum semuanya dimulai.




Tamat

Komentar

  1. Mungkin kalo Laras menyatakan cinta duluan sama khanif, eh Raffa, bisa jadi ceritanya akan beda ya. Khanif, eh Raffa sukanya sama Laras. Tapi tetap cinta nya sama Nissa.😁

    BalasHapus
  2. Laras tetap semangat ya. Dunia ini masih luas, bukan hanya ada Raffa seorang. Masih ada Herman dan satria yang siap untuk mengecewakanmu lagi.😁

    BalasHapus
  3. Kenapa Raffa tidak menerima keduanya saja sih, kan enak punya dua pacar.

    Malam Minggu pertama dengan Nisa
    Malam Minggu kedua dengan Lara
    Malam Minggu ketiga dengan satria eh sori keceplosan.

    BalasHapus
  4. Padahal kalau Laras dan Nissa bilang ke Raffa sepakat mereka berdua mau menjadi istrinya pasti tidak ada yang tersakiti
    win win solution bukan

    BalasHapus
  5. Dari cerita ini yang bloon si Agusnya Plinplanlah pokoknya....Eehh kok Agus, Raffa maksud gue.🤣🤣🤣

    Pokoknya yaa tetap sipria kurang tegas. Ngadepin dua perempuan saja bingung pacarin aja dua2nya. Kalau gue jadi Raffa gue pacarin keduanya.😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maunya begitu tapi apalah daya belum makan.. wkwkwk

      Hapus
  6. Dari temen jadi demen ya gini ini nih, tapi mau pura-pura laras baik "aja ya tetep enggak bisa, kalo jadi laras mending agak menjauh dari pada sakit hati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dibuat agak menjauh ceritanya jadi kurang sedap..hahaha

      Hapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Jeda Setelah Luka - Cerbung

Bayang-Bayang di Bawah Bulan - Cerpen

Kehangatan yang Terlarang - Cerpen

Luka yang Tak Layak Dicintai - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung