Kehangatan yang Terlarang - Cerpen

Kehangatan yang Terlarang - Cerpen




kehangatan yang terlarang - cerpen


Pukul 15:00, di tengah terik matahari yang menyengat kaca depan, sebuah Honda Brio merah yang membawa empat mahasiswa asal Jakarta melaju kencang meninggalkan hiruk pikuk kota. Tujuan mereka adalah sebuah kawasan perbukitan di Jawa Barat yang menjanjikan ketenangan.

Reyhan memegang kemudi dengan percaya diri. Terkadang, tangan kirinya sesekali menggenggam tangan Yuli, kekasihnya yang duduk di sampingnya.

Yuli yang seharusnya merasa santai menikmati perjalanan justru tampak agak tegang. Ia menyandarkan kepala di kaca jendela, membiarkan pikirannya berkeliaran. Ia tidak sedang tidur, tapi juga tidak sepenuhnya sadar. Ada aura kecemasan yang tak terjelaskan. Matanya tertuju pada ponselnya, membaca ulang thread horor di X yang menceritakan pengalaman buruk wisatawan di vila terpencil.

Mobil mulai meninggalkan jalan tol, memasuki jalan provinsi yang berkelok dan menanjak. Pemandangan hijau dan hawa sejuk mulai menyambut.

"Lihat, Rey. Jalanan di sini udah mulai sepi banget," bisik Yuli, suaranya sedikit tegang. "Aku baca thread di X kalau tempat yang sepi itu biasanya yang paling banyak cerita anehnya."

Reyhan tertawa kecil. "Astaga, Sayang. Kamu ini kenapa? Kita ini mau liburan, bukan syuting film horor. Itu cuma sugesti. Kita ke sini berempat, ada Fahri sama Dina juga. Aman."

Di kursi belakang, Dina sibuk dengan vlogging-nya dan InstaStory-nya. "Guys, update terakhir. Kita udah mau sampai! Perjalanan kali ini sungguh menantang, tapi sepadan! Sumpah!"

Fahri, pacar Dina, memandang Reyhan melalui kaca spion. "Rey, di sini sinyal udah mulai hilang-hilangan. Tapi tenang, aku udah download semua film buat nanti malam. Termasuk film horor yang kamu suka, Yul. Biar sekalian uji nyali."

"Makasih, Ri, tapi aku udah cukup diuji nyali sama thread di X," balas Yuli, mencoba tersenyum, tetapi hatinya terasa berat.

Saat mobil membelok tajam, memasuki jalanan yang diapit perkebunan teh, Dina tiba-tiba berseru.

"Stop! Ayo kita selfie dulu. Aku butuh bahan update," seru Dina.

Reyhan menginjak rem. Mereka berhenti di tepi jalan yang menyuguhkan pemandangan bukit dan danau buatan yang indah. Udara dingin pegunungan langsung menyambut, membuang sisa-sisa gerah kota.

"Ayo, semuanya turun! Kita wajib selfie di sini!" seru Dina, sambil mengeluarkan tongkat selfie-nya.

Mereka berempat berpose. Dina dan Fahri berpose konyol dengan peace sign. Reyhan memeluk Yuli dari belakang, mencium puncak kepalanya, memamerkan kemesraan yang sempurna. Yuli, sedikit terpaksa, ikut tersenyum lebar.

Klik!

Dina puas. "Sempurna! Ini foto liburan bersama terbaik yang pernah ada."

Yuli menatap hasil foto itu di galeri ponselnya. Empat wajah bahagia. Tawa yang tulus. Latar pemandangan yang indah. Sebuah momen yang sempurna. Namun, saat ia terpaku menatap foto itu, ia merasakan sensasi deja vu yang aneh menjalari tubuhnya. Seolah, momen sempurna ini hanyalah awal dari sesuatu yang tidak sempurna.

Mata Yuli terpaku pada bayangan dirinya di foto itu. Perlahan, suara di sekitarnya mulai meredup. Ia tidak mendengar lagi celotehan Dina tentang filter. Ia hanya melihat foto itu. Dan, dalam lamunan intens yang dipicu kecemasan, kenyataan mulai bergeser.

Mobil melaju menembus jalan pegunungan yang berkelok. Jalanan semakin sempit. Pepohonan pinus berdiri rapat, menciptakan lorong hijau yang membuat suara mesin terdengar teredam. Udara di luar tampak lebih bersih, tapi juga membawa rasa terasing yang sulit dijelaskan.

"Ini jalannya bener, Rey?" Dina bertanya sambil mencondongkan tubuh ke depan.

"GPS bilang masih lurus," jawab Reyhan. "Walau sinyal mulai ngaco."


Yuli melirik layar ponselnya. Ikon sinyal turun dari empat bar menjadi dua. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi dadanya terasa sedikit mengencang. Ia tidak tahu sejak kapan kehilangan sinyal menjadi sesuatu yang mengganggunya sedalam ini. Mungkin sejak ia menyadari betapa seringnya ia mengandalkan kehadiran orang lain, pesan singkat, tanda centang biru, balasan singkat untuk merasa aman.

Reyhan menatap Yuli, tatapannya singkat, tapi cukup untuk membuat Yuli mengalihkan pandangan dari ponsel. Ia tersenyum kecil, seolah berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Namun Yuli tahu, senyum tidak selalu berarti kepastian.

Vila yang dituju sudah terlihat di ujung jalan. Sebuah vila berdesain minimalis, modern, bersih, dan terlalu sunyi. Vila itu seperti bangunan yang terpisah dari dunia. Tidak ada vila lain di sekitarnya, hanya lembah luas yang mulai diselimuti bayangan sore. Tepat di sebelah vila, berdiri bekas bangunan pabrik bata yang kumuh, sebagian atapnya ambruk, tampak seperti monster beton yang ditinggalkan.

Begitu mereka turun dari mobil, udara dingin langsung menyentuh kulit. Dina menghirup udara dalam-dalam dan berseru betapa segarnya tempat itu. Fahri mengangkat tas-tas mereka tanpa banyak komentar. Yuli berdiri sejenak, memandangi sekeliling, merasa seperti tamu yang datang terlalu jauh ke wilayah yang tidak mengenalnya.

"Sumpah, ini creepy banget," bisik Dina, merapatkan jaketnya. "Di ulasan nggak ada tetangga yang serem kayak gini."

"Mungkin ini bagian dari properti, Din. Jangan dipikirin," kata Fahri, berusaha terlihat kuat, tetapi ia tidak berani menatap gudang itu lama-lama.

Saat mereka masuk, hal pertama yang disadari oleh mereka adalah hilangnya sinyal. Mereka menghela napas panjang. Semua ponsel di tangan menampilkan ikon ‘Hanya Panggilan Darurat’.

"Aku nggak bisa terima ini. Gimana kalau kita butuh bantuan?" keluh Dina. "Aku mau update Instagram terakhir, setidaknya biar ada yang tahu kita di sini!"

"Udah, Din. Kita nikmati aja. Anggap ini digital detox," ujar Reyhan, mencoba santai.

Di dalam vila, langkah kaki mereka bergema di lantai. Ruangan terasa luas, rapi, dan sedikit dingin. Dina langsung membuka tirai besar di ruang tamu, membiarkan cahaya sore masuk.

"Kita bagi kamar, ya," katanya ringan. "Cewek sama cewek, cowok sama cowok."

Yuli mengangguk cepat, merasa lega tanpa tahu kenapa. Ada batas yang ia butuhkan, meski ia tidak pernah mengatakannya dengan jelas.

Kamar yang ia tempati bersama Dina berada di sisi timur vila. Dua ranjang terpisah, jendela besar menghadap lembah. Dina langsung menjatuhkan diri ke kasur, meregangkan tubuh.

"Gila, capek juga," katanya. "Tapi tempatnya keren."

Yuli duduk di ranjang satunya, meletakkan ponsel di sampingnya. Ia mengangguk, tapi pikirannya melayang.

Malam turun cepat. Angin menggerakkan pepohonan di luar, menciptakan suara gesekan yang terus menerus.

Mereka berkumpul di ruang tamu untuk makan malam sederhana. Fahri bercerita tentang jalan yang mereka lewati, Dina menimpali dengan candaan. Yuli lebih banyak diam, sesekali tersenyum. Reyhan duduk di seberang Yuli.

Malam semakin larut. Mereka berpisah ke kamar masing-masing. Yuli berbaring, memandangi langit-langit. Dina sudah tertidur, napasnya teratur.

Yuli menutup mata untuk istirahat, namun pikirannya tidak ikut beristirahat. Pikirannya mulai berjalan sendiri.

Yuli keluar dari kamar, berjalan ke ruang tamu. Di sana ia mendengar suara getaran halus dari bawah sofa. Yuli memasukkan tangannya ke bawah sofa, tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras. Ia menariknya keluar, sebuah ponsel Nokia jadul terbungkus kain kusam. Ponsel itu terasa dingin, tidak seperti benda elektronik biasa.


Yuli memegang ponsel Nokia itu. Ia merasakan ada daya aneh di dalamnya. Ia menyentuh tombolnya. Seketika, layar hijau buram itu menyala tanpa dioperasikan.

Tampilan di layar membuat napas Yuli tercekat: Missed Call (72). Nomor yang sama, tanpa nama, dan panggilan yang sangat sering.

"Reyhan! Tolong!"

Mendengar teriakan Yuli, Reyhan yang sedang berada di kamar buru-buru keluar dan menghampiri Yuli. Reyhan melihat ponsel itu. Wajahnya langsung tegang. "Astaga, ini ponsel tahun berapa dan punya siapa? Kenapa bisa nyala?"

"Aku nggak tahu. Tapi lihat, missed call-nya banyak banget," bisik Yuli.

Reyhan mencoba mematikan paksa, bahkan mencoba mencabut baterai, tetapi gagal. Layar itu tetap menyala, menampilkan angka 72 yang mengerikan.

Tak lama kemudian Fahri dan Dina datang dan bertanya, "Reyhan, Yuli, ada apa?"

"Aku Nemu ini di bawah sofa," jawab Yuli sambil menunjuk ponsel yang sedang dipegang oleh Reyhan.

"Kita taruh aja di sini. Kita nggak usah pegang lagi," ujar Reyhan, dengan cepat meletakkan ponsel itu kembali di bawah sofa. "Paling cuma properti lama pemilik vila yang lupa dibuang."

Meskipun Reyhan berusaha tenang, Yuli melihat ketakutan di matanya.

"Mungkin ini pertanda buruk," gumam Yuli pelan, tetapi Dina mendengarnya.

"Yul. Jangan bikin spoiler horor! Kita harus berpikir positif!" seru Dina.

"Sudah, sudah, kita nonton TV aja," ucap Fahri sambil mengambil remote TV dan menekan tombol power.

TV menyala, tetapi yang muncul bukanlah logo Smart TV, melainkan layar static (semut) dengan suara cresek-cresek mengganggu telinga.

"Aduh, sinyal TV juga hilang!" keluh Fahri. Ia mencoba mencari channel, tetapi hasilnya sama.

Fahri akhirnya menekan tombol power pada remote untuk mematikan, tetapi TV seolah hidup dengan kehendak sendiri, suaranya semakin keras. Reyhan maju, berniat mencabut colokan listrik.

Tepat saat tangan Reyhan meraih colokan, di tengah static yang mengamuk itu, siluet hitam seorang wanita bertubuh sangat tinggi, dengan rambut panjang tergerai terlihat jelas selama sepersekian detik. Wajahnya gelap dan tidak berbentuk.

PLAK! TV mati setelah colokan tercabut.

Keheningan total menyelimuti ruangan. Mereka semua terkejut.

"Kalian lihat, kan?" tanya Dina, matanya membesar ketakutan. "Itu bukan bayangan, kan? Siapa tadi?"

"Itu… itu mungkin glitch sinyal yang aneh," kata Reyhan, mencoba mencari penjelasan logis, meskipun tangannya gemetar.

Namun, saat itulah bau aneh menyeruak. Awalnya, bau bunga Melati yang sangat segar dan tajam, seperti baru dipetik. Bau itu langsung menusuk hidung mereka. Mereka saling pandang.

Tiba-tiba, bau Melati itu menghilang, digantikan oleh aroma Parfum Klasik Perempuan yang sangat kuat, menyengat, seolah ia baru saja lewat di dekat mereka.

Bau aneh itu membuat mereka semakin ketakutan. Mereka duduk berdekatan di sofa.

Tiba-tiba, semua ponsel mereka yang tidak ada layanan bergetar dan berbunyi notifikasi secara bersamaan.

Bzzzttt! Bzzzttt!

Mereka meraih ponsel, berharap sinyal sudah kembali. Namun, layarnya hanya menyala, kosong tanpa pesan atau pemberitahuan.

"Gila! Ini prank siapa sih?" Fahri membanting ponselnya ke sofa.

Reyhan merasakan emosinya memuncak. "Ini nggak lucu. Kita harus keluar dari sini. Kita cari penginapan terdekat."


Reyhan buru-buru meraih tasnya untuk mencari kunci mobil. Dia menggeledah setiap saku. Wajahnya berubah pucat.

"Kunci… Kunci mobil kita hilang!" teriak Reyhan, suaranya histeris. "Aku yakin aku taruh di tas ini. Aku lihat tadi!"

Fahri ikut mencari. Mereka menggeledah semua tas, laci, dan meja. Nihil. Kunci mobil benar-benar hilang.

Keputusasaan melanda. Dina mulai menangis tersedu-sedu. "Kita nggak bisa keluar! Kita kejebak di sini!" Suaranya terdengar parau. Fahri memegang pundak Dina berusaha menenangkan.

"Ini pasti kerjaan kamu, Rey!" Dina berteriak, air mata membasahi wajahnya. "Kamu yang ngajak ke sini! Kamu yang bilang tempat ini aman!"

"Stop, Dina! Jangan nuduh aku! Aku juga takut!" balas Reyhan, matanya memerah. "Kenapa kamu jadi kayak orang nggak waras begini, sih?!"

Dina yang marah besar, berlari ke pintu depan. "Aku keluar! Aku akan jalan kaki sampai dapat sinyal! Aku nggak peduli ada apa di luar!"

"Dina, jangan bodoh! Bahaya!" teriak Fahri.

Pintu depan terbanting. Keheningan yang menakutkan kembali.

Setelah lima menit yang mencekam, mereka mencoba menelepon ponsel Dina. Ponselnya berdering. Fahri menekan tombol loudspeaker.

"Halo, Din?! Kamu di mana?! Jawab!"

Alih-alih suara Dina, yang terdengar adalah suara napas yang berat, kasar, dan sangat dekat, seolah seseorang sedang berdiri tepat di sebelah speaker telepon. Napas itu terdengar seperti geraman yang tertahan. Lalu, sambungan terputus dengan bunyi klik yang dingin.

"Dia… dia diculik…" bisik Yuli, tubuhnya gemetar hebat.

Reyhan memeluk Yuli erat. "Kita harus cari dia. Kunci sudah hilang, kita nggak bisa nunggu."

Fahri yang putus asa, mengangguk. Mereka memutuskan mencari di satu-satunya tempat mencurigakan: gudang pabrik tua di sebelah vila.

Mereka berjalan pelan, diterangi senter ponsel. Gudang itu gelap, berbau apek, dan penuh puing. Di depan pintu gudang, mereka menemukan sepatu sneakers putih milik Dina yang tergeletak miring, seolah terlepas saat lari.

Reyhan mendorong pintu, dan pintu gudang terbuka dengan bunyi derit yang panjang. Mereka masuk ke dalam ruang yang gelap dan lembap.

BRAKK!

Tiba-tiba, pintu gudang itu terbanting dan terkunci dengan suara gemuruh yang keras. Mereka terperangkap.

"Kunci! Ada yang ngunci dari luar!" teriak Reyhan, mencoba mendobrak pintu, namun tak berhasil. Dan mereka terkurung di ruang yang gelap dan lembap.

Di dalam kegelapan itu, Reyhan menyalakan senter ponselnya. Cahaya senter menyorot ke dinding. Di sana, mereka melihat simbol-simbol aneh yang dilukis dengan arang, menyerupai mantra kuno.

Lalu, mereka mendengar suara. Suara langkah kaki yang menyeret, pelan, berat, dan tanpa ritme, datang dari lantai atas gudang dan menghilang secara cepat.

"Dina… kalau itu kamu, jawab!" teriak Fahri, suaranya gemetar.

Tiba-tiba, suara langkah itu kembali, kali ini diikuti oleh suara gamelan Jawa yang samar-samar, mengalun pelan, seperti musik ritual yang mengiringi sesuatu yang mengerikan.

Fahri mengarahkan senternya ke sudut. Di sana, sosok hitam yang sangat tinggi dan kurus bergerak cepat, melompat ke sudut lain. Sosok itu tidak bisa diidentifikasi, hanya bayangan yang mengerikan.

Di tengah kekacauan itu, Yuli merasakan hawa dingin ekstrem. Di belakang telinganya, ia mendengar bisikan yang sangat dingin, terdengar seperti suara seorang wanita yang dipenuhi kebencian:


"Kalian sudah melupakan apa yang seharusnya kalian ingat, dan sekarang kalian akan menjadi bagian dari sini..."

Yuli menjerit sejadi-jadinya, melawan semua kegelapan dan kengerian di dalam khayalannya. Ia merasakan genggaman tangan Reyhan yang kuat di lengannya.

"Sayang! Sayang!"

Suara Reyhan yang sangat nyata dan khawatir menembus bisikan dingin dan jeritan Yuli. Bisikan itu menghilang. Kegelapan gudang memudar. Jeritannya terputus.

Yuli tersentak. Kepalanya terasa pusing dan dingin. Ia membuka matanya, merasakan udara segar yang masuk ke dalam mobil. Ia mendapati dirinya masih duduk di kursi penumpang depan mobil Brio merah. Mobil itu baru saja berhenti.

Di tangannya, ia memegang ponselnya, yang menampilkan foto selfie cerah mereka berempat. Wajah-wajah itu masih tersenyum.

"Ya Tuhan, Sayang. Kamu kenapa?" Reyhan mematikan mesin mobil dan menoleh. "Kamu ngelamun sampai teriak begitu. Kita udah sampai."

Yuli melihat ke sekeliling. Dina dan Fahri sudah turun dari mobil. Mereka tidak hilang.

"Guys, sinyalnya cuma dua bar, tapi it’s okay!" seru Dina ceria, tidak ada bekas tangisan atau pertengkaran hebat.

Yuli menyadari kebenaran. Seluruh kengerian itu, ponsel terkunci, TV berhantu, kunci hilang, hingga hilangnya Dina di gudang adalah khayalan intens yang terjadi saat ia menatap foto bahagia mereka. Ia membiarkan kecemasan dan imajinasinya merangkai skenario terburuk dari liburan romantisnya.

Reyhan menggenggam tangan Yuli. "Ayo, keluar, Sayang. Kamu keliatan capek banget. Udara di sini enak, kan?"

Yuli mengangguk, tersenyum lega. Ia menyimpan ponselnya, membuang jauh-jauh bayangan gudang dan bisikan dingin. Ia keluar dari mobil. Di depannya, Vila terlihat damai dan cerah, jauh dari aura menakutkan dalam khayalannya.

Kengerian telah usai, karena ia memang tidak pernah dimulai.




Tamat

Komentar

  1. Yuli berhalusinasi terkena efek samping obat anti mabuk darat ini keknya
    Udah tegang bacanya eh cuma lamunan Yuli

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan obat anti mabuk, tapi obat cacing..wkwkwk.. memang si Yuli aneh-aneh aja.. wkwkwk

      Hapus
  2. Gue pikir Cerita nganu ada hangat2nya.🤣🤣🤣

    Eehh tahunya cuma Lamunan senja yang berlebih, Hingga membuat Yuli jadi kaya orang mengigau atau Parno.

    Itu mungkin HP Nokia dalam Khayalan Yuli Punya Mantan Blogger Mwb kali? Atau punya si Arfind Gupta waktu lagi jalan2 ke Vila terus ia lupa bawa ke India lagi.😂🤣🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan tertipu sama judulnya, Mas.. wkwkwk.. sepertinya si Yuli paranoia.. wkwkwk

      Bisa jadi itu punya si Jaey.. wkwkwk. Kabar si Arfind Gupta sekarang gimana, Mas?

      Hapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Jeda Setelah Luka - Cerbung

Bayang-Bayang di Bawah Bulan - Cerpen

Luka yang Tak Layak Dicintai - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung