Hanya Fiksi, Tapi... - Cerpen
Hanya Fiksi, Tapi... - Cerpen
Pagi itu, Irwan bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Ia mengenakan kemeja batik yang sudah disetrika rapi oleh Yuli, istrinya. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil dompet dari atas meja dan membukanya. Ia melihat foto Yuli yang sedang tersenyum manis.
Yuli memperhatikannya dari dapur sambil tersenyum kecil. "Masih bawa foto itu, ya?" ucapnya, sambil menyajikan segelas teh hangat untuk Irwan.
Irwan tersenyum balik. "Tentu saja. Kamu tahu, ini senjata rahasiaku di kantor," jawabnya sambil menyimpan dompet ke dalam saku celananya.
Hari itu, seperti biasa, kantor tempat Irwan bekerja penuh dengan rutinitas. Di mejanya, Irwan menghadapi tumpukan laporan yang belum selesai. Saat sedang mengerjakan sebuah laporan, Adi, Deni, dan Yudhi, rekan-rekan kerjanya, datang. Mereka ingin mengajaknya makan siang bersama.
"Wan, ayo makan siang dulu. Jangan serius-serius amat kerja terus, nanti tua sebelum waktunya," ujar Adi sambil tertawa kecil.
Irwan pun tertawa. "Tunggu sebentar, aku selesaikan laporan ini dulu, baru kita pergi."
Saat Irwan membereskan meja, dompetnya yang sempat ia letakkan di atas meja tersenggol dan terjatuh. Dompet itu terbuka dan foto Yuli yang terselip di dompet itu terlihat oleh Adi.
"Wan, itu foto istrimu, ya?" tanya Adi.
Irwan hanya menyengir, sambil memungut dompetnya.
"Memang, kamu ini suami idaman. Jarang banget lho, zaman sekarang ada suami yang masih bawa foto istri di dompet."
"Wah, Irwan romantis juga, ya, kayak di drama Korea!" celetuk Deni sambil tertawa.
Yudhi ikut menimpali dengan nada menggoda, "Eh, tapi jangan-jangan foto itu bukan buat romantis-romantisan. Bisa jadi biar ingat kalau gajinya langsung disetor ke istri!"
"Jadi penasaran, kenapa kamu selalu bawa foto istri? Nggak takut ketahuan istrimu kalau kamu sering melamun lihat foto itu?" Adi menggoda.
"Saya juga penasaran. Kenapa sih kamu selalu bawa foto istri?" kata Linda yang baru saja bergabung ke obrolan.
Sambil tersenyum Irwan lalu menjawab, "Foto ini membantu saya menghadapi segala masalah di kantor. Kalau saya punya permasalahan, saya tinggal lihat foto ini, dan semuanya langsung terasa ringan."
Mendengar itu, Linda berseru kagum, "Wah, luar biasa! Kamu pasti sangat mencintai istrimu. Pantas saja masalah-masalah di kantor jadi terasa ringan kalau ingat dia."
"Istri kamu pasti penyemangat terbesar ya? Kamu benar-benar beruntung, Wan," Deni menambahkan.
Adi dan Yudhi pun ikut mengangguk setuju, mengagumi jawaban Irwan yang terdengar penuh cinta. Tapi kemudian, Yudhi yang terkenal paling iseng di kantor kembali bertanya lebih lanjut.
"Wan, kok bisa sih foto istrimu bikin masalah kantor terasa ringan? Apa ada mantra di balik foto itu, atau gimana?" tanyanya dengan nada menggoda.
Irwan tersenyum lebar, kali ini sedikit lebih nakal. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata, "Ya, kalau aku melihat foto istriku, semua permasalahan apa pun di kantor langsung terasa ringan. Soalnya, nggak ada apa-apanya dibandingkan masalah-masalah yang aku hadapi sama dia di rumah!"
Baca juga: Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai
Sekejap ruangan itu hening, lalu tawa pun pecah.
"Astaga, Irwan. Jadi selama ini istrimu itu lebih menyeramkan daripada pimpinan kita?" kata Adi sambil terpingkal-pingkal.
"Wan, kamu ini hebat juga ya! Bisa survive di rumah sambil tetap kelihatan bahagia di sini," ujar Linda sambil mengelap air matanya karena kebanyakan tertawa.
Irwan ikut tertawa sambil mengangkat bahu. "Ya mau gimana lagi, hidup itu penuh perjuangan, kan?.Kalau di kantor aku harus berurusan dengan bos, di rumah aku berurusan dengan bos besar."
Saat tawa mereda, Adi menepuk pundak Irwan sambil berkata, "Wan, kamu ini bisa jadi motivator suami-suami muda, lho. Filosofinya dalam banget!"
Deni mengangguk setuju. "Iya, kita harus belajar dari Irwan. Kalau ada masalah kantor, cukup lihat foto istri, terus ingat kalau masalah di rumah lebih besar."
Yudhi tiba-tiba berbisik dengan ekspresi serius, "Tapi, Wan, kamu yakin Yuli nggak pasang alat sadap di dompet? Siapa tahu ini jebakan!"
Seketika Irwan membelalakkan mata, lalu buru-buru memeriksa dompetnya. Adi, Deni, dan Yudhi langsung tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksinya.
Linda, yang masih tertawa kecil, menambahkan, "Coba deh, kalau nanti di rumah kamu tiba-tiba disambut dengan senyuman manis dan pertanyaan 'Hari ini di kantor bahas apa aja, Mas?', berarti kita tahu jawabannya!"
Irwan hanya bisa menggeleng pasrah. "Kalian ini benar-benar nggak ada kerjaan, ya?" katanya sambil memasukkan dompetnya ke dalam saku dan berdiri. "Ayo, kita makan siang sebelum kalian makin tambah ngawur."
Mereka pun keluar kantor sambil masih tertawa dan bercanda.
**********
Setelah makan siang bersama, mereka kembali ke kantor dengan perut kenyang dan tawa yang masih tersisa. Namun, rasa penasaran Adi, Deni, dan Yudhi tentang dompet Irwan belum sepenuhnya hilang.
Sebelum kembali ke meja masing-masing, Adi tiba-tiba bersiul pelan. "Eh, Wan, tapi serius deh. Aku jadi penasaran, kamu tuh nikah sama Yuli karena cinta, atau karena nggak ada pilihan lain?"
Irwan melirik Adi dengan ekspresi datar. "Kalau aku jawab karena cinta, kamu pasti nggak percaya. Kalau aku jawab karena nggak ada pilihan lain, aku bakal tidur di garasi malam ini."
Deni dan Yudhi langsung tertawa. "Wah, jadi harus pintar jaga kata-kata, ya? Hidup itu memang penuh strategi!" kata Deni sambil mengangguk-angguk seperti guru filsafat.
"Tapi, Wan," Linda ikut nimbrung, kali ini dengan ekspresi serius. "Aku beneran salut, loh. Zaman sekarang jarang ada suami yang setia kayak kamu."
Sebelum Irwan sempat membalas, Adi malah nyeletuk, "Iya, setia karena takut, kan?"
Irwan menghela napas. "Kalian ini ya, kapan sih bisa serius?"
Baca juga: Cahaya Di Ujung Terowongan
Yudhi tiba-tiba menyenggol Deni dan berbisik, "Eh, coba bayangin, jangan-jangan di dompet Irwan itu bukan cuma ada foto istrinya. Bisa jadi ada daftar aturan rumah tangga juga!"
"Atau surat perjanjian pranikah!" tambah Deni, nyaris tak bisa menahan tawa.
Irwan yang mendengar itu hanya bisa menggeleng pasrah. "Terserah kalian deh. Tapi ingat, kalau nanti kalian nikah dan nasibnya kayak aku, aku bakal ketawa paling keras!"
Adi berpura-pura menatap langit-langit. "Hmmm… berarti kita harus siap-siap nyimpan foto istri di dompet juga, ya?"
"Kalau bisa, jangan cuma satu foto," tambah Yudhi, "minimal lima! Biar tiap kali buka dompet, langsung ingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri."
Linda hanya bisa menggeleng sambil tersenyum, sementara Irwan menatap rekan-rekannya satu per satu. "Kalian ini harus belajar menghargai pernikahan. Pernikahan itu sakral."
"Tapi penuh perjuangan, kan?" sela Adi.
"Dan penuh taktik!" timpal Deni.
Irwan tertawa kecil. "Iya, iya. Pokoknya, kuncinya adalah bersyukur. Kalau kita bersyukur, istri kita yang tadinya galak pun bisa jadi kelihatan lebih… bisa ditoleransi."
"Toleransi atau pasrah?" tanya Yudhi curiga.
Irwan berpikir sejenak, lalu menjawab, "Toleransi yang berujung pasrah."
Mereka kembali tertawa bersama. Namun, sebelum obrolan berakhir, Adi tiba-tiba mengajukan satu pertanyaan lagi.
"Tapi, Wan… kalau memang foto istrimu itu sakti banget buat mengatasi masalah, kenapa nggak dijadiin wallpaper HP sekalian?"
Irwan terdiam. Seketika ruangan itu hening. Semua mata menatapnya menunggu jawaban.
Akhirnya, Irwan menghela napas dan mengakui dengan suara pelan, "Kalau di HP, lebih sering lihat saldo rekening ketimbang foto istri…"
Dan sekali lagi, tawa pecah di ruangan itu.
**********
Seharian bekerja dan menghadapi keisengan rekan-rekannya, Irwan pun akhirnya pulang. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan standar suami berpengalaman, cukup cepat sampai rumah sebelum istri curiga, namun cukup lambat agar tidak menimbulkan pertanyaan, "Kok buru-buru banget? Ada apa?"
Begitu sampai di depan rumah, Irwan menarik napas panjang. "Oke, ini fase kedua dari kehidupan hari ini," gumamnya.
Ia memarkir motor dengan rapi, memastikan standar tengah sudah terpasang dengan sempurna. Sebagai suami berpengalaman, ia tahu bahwa suara motor yang dijatuhkan sembarangan bisa memicu pertanyaan semacam: "Kamu kenapa sih, Mas? Lagi banyak pikiran?" Atau yang lebih mengerikan: "Kamu marah sama aku, ya?"
Setelah memarkir motor dengan rapi, kemudian ia membuka pintu rumah dan langsung disambut dengan aroma masakan yang menggoda. Yuli, istrinya, sedang sibuk di dapur, sementara suara televisi terdengar dari ruang tengah.
Baca juga: Jejak Hati Di Minimarket
"Kamu udah pulang, Mas?" tanya Yuli tanpa menoleh.
"Udah, dong," jawab Irwan sambil melepas sepatu dan meletakkannya di rak dengan rapi.
Ia berjalan ke ruang tengah dan meletakkan tasnya di meja. Namun, sebelum ia bisa bersantai, Yuli sudah muncul dari dapur dengan tatapan menyelidik.
"Hari ini gimana di kantor?" tanyanya dengan nada lembut tapi penuh makna.
Irwan merasa ini jebakan. Insting suami berpengalaman langsung aktif.
"Baik, kok. Kerjaan lancar, nggak ada yang aneh," jawabnya hati-hati.
"Yakin?"
Irwan mengangguk cepat. "Yakin!"
Namun, Yuli masih menatapnya curiga. "Tadi di kantor ngobrolin apa aja?"
Irwan menelan ludah. Dalam sekejap, ia teringat percakapan tentang dompet, foto Yuli, dan candaan teman-temannya. Tapi tentu saja, sebagai suami yang sudah terlatih, ia harus memilih jawaban yang aman.
"Ngobrolin… eh… kerjaan, ya. Biasalah, laporan, target, pimpinan marah-marah, gitu."
Yuli menyipitkan mata. "Nggak ada yang lain?"
Irwan tersenyum. "Nggak ada."
Yuli diam sejenak, lalu tiba-tiba tersenyum manis. "Oh, gitu ya…"
Irwan merasa sedikit lega, tapi sekaligus cemas. Karena dalam pengalaman hidupnya, senyuman manis seorang istri bisa berarti dua hal: Dia benar-benar percaya atau Dia sudah tahu segalanya dan tinggal menunggu suaminya mengaku.
Untuk mengalihkan perhatian, Irwan buru-buru duduk di meja makan. "Eh, makan malam udah siap, ya? Masakan apa hari ini?"
Yuli tersenyum lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih misterius. "Masakan kesukaan kamu, Mas. Aku sengaja masak spesial karena tadi siang ada yang bilang kalau masalah di kantor nggak ada apa-apanya dibanding di rumah."
Irwan langsung tersedak udara.
"Astaga! Ini jebakan!"
Ia berpikir keras. Dari mana Yuli tahu? Apakah ada informan di kantor? Atau… benar kata Yudhi, mungkin ada alat sadap di dompetnya?
Ia mencoba tetap tenang. "Hehe… siapa yang bilang gitu?"
Yuli hanya tersenyum tanpa menjawab. Ia lalu duduk di hadapan Irwan, menopang dagu dengan tangan, menatap suaminya penuh arti.
Irwan berkeringat dingin. "Hehe… Maksudnya begini, Sayang, bukan berarti aku bilang masalah di rumah itu lebih berat, ya. Maksudku, kan, di rumah kita ada dinamika. Biar hidup lebih berwarna. Nggak monoton!"
Yuli masih diam, hanya mengangkat alis.
Irwan semakin panik. "Lagian, aku tuh sering cerita ke teman-teman kalau kamu istri terbaik! Setiap hari aku bersyukur punya kamu!"
Yuli tiba-tiba tersenyum. "Oh, jadi aku istri terbaik?"
"Iya, dong! Tanpa kamu, aku nggak akan bisa setenang ini menjalani hidup!"
Yuli tertawa kecil. "Baiklah, Mas. Aku percaya."
Baca juga: Beranjak Dari Luka
Irwan akhirnya bisa bernapas lega. Tapi sebelum ia mulai makan, Yuli menambahkan, "Oh iya, besok aku mau ke salon. Mumpung kamu tadi bilang aku istri terbaik, boleh dong, aku pakai kartu ATM-mu?"
Irwan tersedak lagi.
Dari ruang tengah, terdengar suara televisi: "Hidup adalah pilihan. Pilih yang terbaik untuk masa depan!"
Irwan menatap langit-langit. "Ya Tuhan, cobaan suami memang tak ada habisnya…"
Namun, ia tersenyum pasrah.
"Ya udah, Sayang. Salon mana dulu nih? Yang deket atau yang VIP?"
Yuli tersenyum lebar dan berjalan menuju kamar. Senyum itu adalah jawaban atas pertanyaan Irwan.
**********
Malam itu, saat Yuli sudah tidur, Irwan memutuskan untuk mencari jawaban dari mana Yuli mengetahui obrolan di kantor tadi. Ia memeriksa dompetnya dengan cermat, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjadi jawabannya. Tidak ada alat sadap, tidak ada kamera tersembunyi, dan yang pasti tidak ada chip atau perangkat yang bisa mengirimkan informasi ke Yuli.
"Kalau bukan dompet, lalu apa?" gumamnya bingung.
Penasaran dengan kemungkinan lain, Irwan memeriksa ponselnya. Begitu membuka grup WhatsApp, matanya langsung membelalak.
Di grup, ada chat dari Deni: "Wan, tadi istrimu posting foto di Instagram, katanya dia kangen banget sama kamu. Semua teman kantor pada lihat, wkwkwk."
Di bawahnya, ada komentar dari Adi: "Hahaha, kayaknya istrimu tahu banget nih kalau kita lagi ngomongin kamu. Hati-hati, Wan!"
Irwan langsung mengecek Instagram istrinya dan ia melihat satu foto baru yang diposting istrinya. Ketika ia membaca komentar-komentar yang ada di postingan itu, Irwan terdiam, matanya melotot, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Ternyata, jawabannya, Yuli tahu bukan dari teknologi atau informasi canggih tapi dari dunia maya yang lebih simpel: media sosial.
Yuli, yang memang tidak bekerja, terkadang aktif di Instagram dan sering membagikan foto-foto tentang kebersamaan mereka. Dia punya banyak teman, termasuk beberapa teman kantornya.
Irwan menepuk jidat. "Gila, ternyata dia gak perlu alat sadap atau mata-mata. Cukup Instagram doang, dia udah tahu segalanya!"
Ia menghela napas panjang, merasa sedikit lega. Ternyata, semua kekhawatirannya itu hanya berasal dari kecanggihan media sosial yang terkadang membuat hidup lebih rumit.
Dengan senyuman yang sedikit miris, Irwan meletakkan ponselnya dan menatap Yuli yang tidur nyenyak di sampingnya. "Kamu memang istri yang luar biasa, Yul," gumamnya pelan.
Tamat
Baca juga: Ancaman Yang Bikin Tersenyum
istri terbaik yang tau segalanya soal suaminya bisa gawat π€£
BalasHapusNgga juga..wkwkwk
HapusKadang kadang kalo udah sampe rumah liat wajah istri yg menatap curiga itu berasa lagi mau di adili di persidangan gak sih π...
BalasHapusYa seperti itulah kira-kira..wkwkwk
HapusYeayy jadi dong Yuli ke salon VIP.. wkwkwk
BalasHapusini nih sepertinya agak relate nggak sih Mas sama kehidupan nyata seorang suami-istri. Soalnya di tempat kerja ada rekan yang kadang suka misuh-misuh kalau istrinya lagi ngambekk.. heheh π€£ Aku sihh kurang paham yaa.. Paling responku cuma yaa mungkin minta diperhatikan lebih karena perempuan kan memang jeli dan detail yaaa... Pernah baca kalau instuisi perempuan kan lebih condong ke perasaan, sedangkan laki-laki lebih ke Logika. Ya nggak semuaaa.. Tapi 2 hal itu udah jadi kaya standar aja... hehe
Perempuan itu pengamat dan sejarawan terhandal mas Bayu.. Dia masih inget awal ketemu pasangan, di mana..kejadian kayak apa...padahal itu udh kejadian berabad-abad yg laluπ
HapusKurang tau juga, belum sempat survei sayanya..hihihi, tapi kalau yang mbak Heni katakan itu 99% akurat.. wkwkwk
HapusTp di sini aku kasian Ama suami nya π . Ngeri sih kalo dpt istri begini, harus tahu bangetttt privacy suami di manapun. Malah yg begini susah langgeng
BalasHapusUrusan suamiku di kantor, aku ga tertarik cari tahu. Yg penting saat dia di rumah oke, uang bulanan juga lancar selalu π€£.
Lagian dengan aku ga ikut campur urusan pribadi dia di kantor, dia juga ga ikut campur urusanku dgn temen2 π
Harus gitulah. Toh walau nikah, tetep aja privacy suami istri penting
Seharusnya memang harus ada privasi, jangan terbuka semuanya.
HapusKocak juga ya
BalasHapusya begitulah, urusan rumah tangga itu lebih berat jika dibandingkan dengan urusan di luar rumah, khususnya soal pekerjaan
Waduh suamiku jg ada foto aku nih di dompetnya wkwk tp ga tahu jg bahasannya apa sama teman2 kantornya :D seru ceritanya nih lanjut Mas :D
BalasHapusKok sama kayak saya ya, semua masalah di kantor gak seberat yang di rumah :D
BalasHapus