Jeda Setelah Luka - Cerbung

Jeda Setelah Luka - Cerbung




jeda setelah luka - cerbung


Hari itu langit sore berwarna kelabu keperakan, Rina duduk di teras rumahnya,memeluk dirinya sendiri, membiarkan angin sore yang lembap mengelus lembut kulitnya. Dia menatap awan kelabu yang bergerak lambat. Pikiran dan hatinya berputar-putar, seolah-olah langit yang mendung itu adalah cermin dari apa yang dirasakannya.

"Dunia ini lucu," gumamnya pelan, bibirnya melengkung tipis tanpa benar-benar tersenyum.

Rina memandang sekeliling rumah kecil yang kini dia huni seorang diri. Mantan suaminya, yang dulu begitu dia cintai, sudah pergi dan meninggalkan luka. Luka itu tak hanya tertinggal di hati, tapi juga di jiwanya. Dan ada anak yang harus dia rawat sendiri, buah hati dari hubungan yang tak sempurna.

Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa lebih berat. Dunia percintaan yang kini harus dijalaninya. Setiap pilihan terasa penuh dengan kekurangan.

"Kenapa harus sesulit ini?" batinnya. Ia merasa terjebak dalam labirin kehidupannya yang penuh kerumitan.

Tak lama kemudian, rintik hujan mulai jatuh satu per satu. Udara semakin dingin, Rina semakin mempererat pelukan kedua tangannya. Wajahnya terlihat bingung, tetapi bukan hujan yang membuatnya bingung. Kebingungannya berasal dari percakapan yang ia lakukan dengan sahabatnya, Nita, yang datang mengunjunginya.

"Jadi, gimana? Udah ketemu yang cocok?" tanya Nita sambil duduk di kursi seberang, menyesap secangkir teh hangat yang dibuatkan Rina. Nita selalu tahu bagaimana cara memulai percakapan dengan santai, tapi setiap kata yang keluar seakan membawa beban berat.

Rina tersenyum tipis, meski hatinya masih gundah. "Cocok? Nita, kamu tahu sendiri kan, hidup kayak gini... Semua pilihan tuh kayak labirin. Nggak ada yang lurus-lurus aja," jawab Rina sambil menghela napas panjang.

"Ya, tapi kamu nggak bisa terus-menerus kayak gini, Rin. Kamu butuh seseorang yang bisa bikin kamu bahagia. Terutama Sardi. Dia kan jelas-jelas udah nunggu. Kenapa kamu malah tarik ulur terus? Coba aja deh buka hati?" ujar Nita dengan suara lembut, mencoba memberi dorongan meskipun dia tahu bahwa Rina tidak mudah terpengaruh.

"Justru Sardi itu yang paling bikin aku pusing. Dia bawa anaknya, dan aku takut, Nit. Aku takut sejarah berulang." Rina mengusap wajahnya, merasa lelah dengan semua percakapan yang terus berulang. Ia menopang dagunya dengan tangan, tatapannya menerawang jauh. "Mantan bawa luka, duda bawa anaknya. Suami orang? Ya jelas salah. Bujang? Jangan tanya, drama semua. Pusing banget, Nit... Pilihan mana yang enak, coba?" Rina melanjutkan.

Nita menatapnya dengan penuh empati. "Kamu takut Sardi itu seperti Deni? Beda, Rin. Mereka beda. Sardi jauh lebih dewasa. Setidaknya, dia pilihan yang paling waras di tengah semua drama bujang yang kamu hindari. Kamu udah coba ngobrol lagi sama Deni, kan? Mungkin dia udah berubah, siapa tahu..."

Rina menggeleng pelan. Nama itu masih membuat dadanya sesak. Deni, mantan suaminya. Lelaki yang dulu menjadi bagian dari masa depan yang dia impikan. Namun, kenyataan memaksanya untuk menerima bahwa mereka berdua sudah tidak bisa lagi berjalan bersama. Luka itu masih ada, meskipun sudah lama. Dan meskipun dia seringkali berharap Deni bisa kembali, terutama untuk anak mereka, Rini, dia tahu dalam hati bahwa itu bukan keputusan yang benar.

"Semuanya udah selesai, Nit. Dan buat Sardi, aku cuma perlu waktu," jawab Rina, dengan suara yang mulai goyah. "Aku cuma nggak ngerti kenapa harus sesulit ini."

Tepat pada saat itu, Rini, anak Rina yang berusia tujuh tahun, datang dengan wajah ceria. "Ibu! Ibu! Aku tadi ketemu Pak Budi di depan! Dia bilang nanti aku bisa ikut main sama anak-anaknya!" teriak Rini, penuh semangat.


Rina tersenyum lemah melihat anaknya. Rini adalah alasan dia terus bertahan. "Kamu senang ya, Nak?" tanya Rina sambil merangkul anaknya.

"Senang banget! Tapi Ibu, Pak Budi bilang nanti aku boleh bawa teman, loh!" Rini menambahkan, seolah ingin memastikan bahwa ajakan itu bukan hanya untuknya, tapi juga untuk orang lain.

Rina tersenyum kecut. "Ya sudah, Rini ke dalam dulu. Jangan lupa mandi dan ganti baju, ya!" katanya sambil menyentuh kepala Rini, lalu menatap Nita dengan tatapan penuh makna. "Kalau aku terlalu fokus sama Rini, aku jadi nggak mikir yang lain. Tapi kalau aku mulai mikir yang lain, aku khawatir aku nggak bisa fokus sama Rini."

Nita mengangguk paham. "Itu... itu masalah yang cukup berat, Rina. Aku ngerti kok. Tapi kamu juga berhak bahagia. Jangan sampai kamu jadi kehilangan dirimu sendiri hanya karena takut ngambil keputusan."

Rina terdiam. Benar juga. Dia merasa seperti terjebak dalam peran sebagai ibu yang sempurna untuk Rini, tetapi di saat yang sama, dia ingin menemukan kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Semua pilihannya terasa berat. 

Hujan perlahan berubah menjadi rintik-rintik halus, dan teras rumah kembali sunyi setelah Nita pulang. Rina tetap duduk memeluk dirinya sendiri, membiarkan keheningan menemaninya. Namun keheningan justru membuat suara hatinya terasa semakin bising. Selama ini, ia berusaha sekuat tenaga menjaga hidupnya tetap berjalan, bekerja, mengurus Rini, dan bertahan dari hari ke hari. Namun, percakapan barusan membuka kembali kenyataan bahwa ia tidak bisa selamanya bersembunyi di balik rutinitas. Ada ruang kosong di hatinya yang tidak bisa ia pungkiri, meski ia terus mencoba. Dan ruang kosong itu kembali terasa sejak seseorang hadir beberapa waktu lalu mencoba mengetuk pelan dunia yang sudah ia tutup rapat-rapat. Seseorang yang membuatnya kembali bertanya pada dirinya sendiri: sampai kapan ia akan menghindar?

Sardi seorang duda yang pernah dikenalnya setahun lalu muncul kembali dalam hidupnya. Sardi memiliki seorang anak perempuan yang berusia sama dengan Rini. Mereka sempat bertemu beberapa kali, dan hubungan mereka berdua sempat terasa nyaman. Namun, setelah Sardi mengungkapkan keinginannya untuk lebih dekat dengan Rina, sesuatu dalam diri Rina menahannya. Ada ketakutan akan komplikasi yang datang bersama status Sardi sebagai seorang duda. Dia takut sejarah berulang.

Suatu sore, Sardi menghubungi Rina, mengundangnya untuk makan malam bersama. Rina ragu, tetapi akhirnya ia menyetujui.

Malam itu, di restoran yang sederhana namun nyaman, mereka duduk berhadapan. Sardi mulai membuka percakapan dengan lembut.

"Rina, aku tahu ini mungkin terdengar terburu-buru, tapi aku cuma mau bilang, kalau aku senang bisa mengenal kamu lebih dekat. Aku juga nggak mau hanya jadi teman, tapi aku paham kalau ini nggak mudah. Kamu punya Rini, aku punya Dara," Sardi berbicara dengan serius, namun ada kehangatan di matanya.

Rina menggigit bibir, merasa cemas. "Sardi, aku nggak tau. Aku nggak mau buru-buru ambil keputusan. Apa kita bisa beneran membangun sesuatu bersama, dengan semua tanggung jawab yang kita bawa?" tanyanya, matanya tidak bisa lepas dari wajah Sardi.

Sardi menatapnya penuh perhatian. "Aku paham kekhawatiranmu. Tapi aku yakin, kalau kita punya niat yang sama untuk membangun sesuatu yang baik, kita bisa atasi semuanya. Mungkin kita bisa coba berjalan perlahan, tanpa ada tekanan, kita lihat bagaimana nanti."

Rina menghela napas panjang. Pilihan itu memang tak mudah, tapi setidaknya ada harapan. Harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, hidupnya bisa lebih sederhana dari yang ia bayangkan. Dia ingin memberi kesempatan, tetapi juga ingin melindungi hatinya yang sudah cukup terluka.

"Baiklah, Sardi," jawab Rina akhirnya, suara pelan namun pasti. "Kita coba aja, perlahan."


Malam itu, Rina pulang dengan perasaan campur aduk. Mungkin ini adalah langkah pertama menuju kebahagiaan yang selama ini ia cari. Mungkin juga bukan. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa sedikit lebih tenang.

Beberapa minggu setelah makan malam bersama Sardi, kehidupan Rina mulai terasa sedikit berubah. Ia memang belum mengambil keputusan besar, tapi hatinya lebih tenang. Sayangnya, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Dua orang baru atau lebih tepatnya, dua bujang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya dan membuat semuanya kembali rumit.

Gilang, pemuda berusia 24 tahun, ceria, cerdas, dan terkesan terlalu percaya diri. Rina bertemu dengannya di depan meja kasir minimarket dekat rumah, saat Rina sedang membeli sabun mandi untuk Rini yang biasa digunakan.

“Bu, ini bagusnya yang mana?” tanya Gilang kepada kasir sambil menunjuk dua merek sabun berbeda. Kasir hanya mengangkat bahu.

Rina tak sengaja melirik. Gilang memperhatikan, tersenyum ramah, lalu mendekat. “Mbak, boleh minta bantuan? Saya bingung pilih sabun buat keponakan. Yang ini wanginya enak, tapi yang ini katanya bagus buat kulit sensitif," katanya sambil mengangkat dua botol.

Rina tersenyum kecil, ingin segera pulang namun tak tega mengabaikan. “Kalau kulit anaknya sensitif, pilih yang ini,” katanya menunjuk sabun warna biru. “Lebih aman.”

Gilang menatapnya lama, seolah menemukan sesuatu yang lebih menarik daripada sabun. “Wah, makasih banyak. Eh… Mbaknya tinggal di sekitar sini?”

Rina sedikit tersentak. “Iya, di belakang sana.” jawabnya.

“Oh, kebetulan saya juga baru pindah ke daerah sini. Namaku Gilang” katanya sambil mengulurkan tangan.

Rina menyambut sekadarnya. “Rina.”

Gilang tersenyum lebar. “Semoga bisa ketemu lagi, Mbak Rina.”

Rina mengangguk sopan, merasa sedikit lega karena percakapan itu berakhir cepat, Rina segera membayar dan bergegas pulang.

Pada hari Senin ketika Rina sedang menghadiri rapat di sekolah anaknya dia bertemu dengan seorang pria bernama Haris, berusia 31 tahun, pria yang terlihat tenang tapi menyimpan banyak luka dan drama hidup yang belum selesai.

Haris adalah wali dari keponakannya, karena kakaknya sedang sakit. Ia terlihat terlalu fokus pada gawai, hingga tidak sadar berdiri di jalur anak-anak lewat dan hampir ditabrak Rini.

“Hati-hati, Pak,” tegur Rina sambil menarik Rini ke belakang.

“Oh! Maaf, maaf banget,” jawab Haris panik. “Saya… sedikit nggak fokus.”

Rina mengangguk. “Nggak apa-apa. Anak-anak memang suka tiba-tiba lari.”

Haris menatapnya sesaat. “Saya Haris. Walinya Caca.”

“Rina. Mamanya Rini.”

Mereka duduk berdekatan saat menunggu rapat dimulai. Tanpa sengaja, percakapan berkembang panjang, mulai dari sekolah, anak-anak, sampai obrolan santai tentang kehidupan.

Haris tampak sopan, perhatian tapi juga sedikit misterius. Saat pulang, ia berkata, “Kalau Mbak Rina butuh bantuan soal kegiatan sekolah atau apa pun… saya tinggal di blok yang sama, loh.”

Rina mengangguk pelan. “Baik, terima kasih.”

Sebulan kemudian, Nita datang ke rumah Rina sambil membawa pisang goreng kesukaannya.

“Aku dengar dari tetangga, ada bujang baru pindah ke sekitar sini. Namanya kalau nggak salah Gilang, ya?” tanya Nita sambil menaikkan alis.

Rina menatap sinis. “Nita… jangan mulai.”


Nita tertawa kecil, lalu menggoda lagi, “Terus siapa pria tinggi yang jalan sama kamu waktu pulang dari sekolah? Yang rambutnya agak messy? Cakep juga itu.”

“Haris,” jawab Rina, lalu menyeruput teh.

Nita langsung menyipitkan mata. “Jadi sekarang pilihanmu bukan cuma mantan, duda, dan suami orang… tapi tambah dua bujang? Wuiiih, rame banget hidupmu, Rin!”

Rina menutup wajah. “Aku pusing, sumpah… Gilang itu baik, tapi… terlalu muda, terlalu santai. Kayak nggak ada beban hidup. Aku takut dia cuma main-main.”

“Haris?” tanya Nita

“Haris baik juga, tapi… aku ngerasa dia belum selesai dengan masa lalunya. Dia bilang cuma ngurus keponakan, tapi aku lihat cara dia ngomong… kayak ada sesuatu yang dia tutupin.”

Nita mengangguk, mengerti situasinya. “Terus… Sardi?”

Rina terdiam. Lama.

Akhirnya ia berkata pelan, “Sardi paling masuk akal. Tapi entahlah… aku nggak mau salah pilih lagi.”

Nita meraih tangan Rina. “Rin… kamu cuma perlu waktu. Yang penting, kamu tetap jadi dirimu sendiri. Jangan ambil keputusan hanya karena takut sendirian.”

Rina menatap langit senja di luar. Pilihan-pilihan itu masih terasa berat, tapi kini ia tak lagi merasa benar-benar sendirian. Ada banyak kemungkinan, banyak cerita, dan mungkin… juga banyak harapan.

Malam itu, dia menerima pesan masuk.
Dari Gilang: Mbak Rina, besok sore kalau sempat jalan ke taman? Rini boleh ikut. Aku mau kenal lebih dekat, kalau Mbak nggak keberatan.

Dari Haris: Mbak Rina, Caca ngajak Rini main lagi. Kalau Mbak sempat, saya jemput mereka sekalian.

Dari Sardi: Rina, bagaimana kalau kita makan bersama anak-anak akhir pekan ini? Biar mereka juga makin akrab.

Rina menatap tiga pesan itu.
Tersenyum lelah.

“Ya Tuhan… hidup macam apa ini?” gumamnya.

Tapi kali ini, gumaman itu tidak lagi pahit. Ada secercah tawa kecil. Dan mungkin… permulaan baru.

Tiga hari setelah tiga pesan yang masuk malam itu, Rina memutuskan untuk menuruti ajakan yang paling ringan dulu: dari Gilang. Ia tidak ingin tekanan, tidak ingin beban, tidak ingin hal yang terasa seperti keputusan hidup. Gilang menawarkan sesuatu yang sederhana: jalan sore di taman.

Sore itu langit cerah. Rini berlari-lari kecil, sementara Rina duduk di bangku taman mencoba menikmati angin, meski masih sedikit gugup.

Tak lama, Gilang datang dengan motor matiknya, memakai jaket denim dan membawa dua es krim. Ia melambaikan tangan dari jauh. “Mbak Rina! Rini!”

Rini langsung menyambut, “Om Gilang bawa es krim?”

Gilang tertawa lebar. “Bawain buat calon anak saya, dong.”

Rina memutar bola matanya. “Calon? Siapa yang setuju?”

Gilang duduk di sampingnya dengan santai. “Bercanda, tenang aja. Saya belum kampanye kok.”

Rina terpaksa ikut tertawa. Entah kenapa, energi Gilang selalu ringan. Tidak memaksa, tidak menekan. Sesuatu yang Rina butuhkan setelah lama merasa sesak.




Bersambung

Komentar

  1. Jadi Gimana pilihan Si Rina jatuh ke Siapa? Ke Agus, apa Khanif. Atau mungkin Wawan kali yee.🤣🤣🤣

    Berarti si Rina itu Type cewek pelampiasan dan planya-plenyek. Benar kata si Nita Hidupnya Ramai dikerubuti para pria. Sedangkan dari pribadinya si Rina itu kurang tahu dan bisa menilai yang mana yang terbaik buat sendiri.

    Jadi begitu deh....Eeh tahu dah.🤣🤣🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dia yang kasih komentar dia yang bingung.. wkwkwk

      Hapus
    2. Jedotin kepalanya ke tiang listrik, nanti ngga bingung lagi.😁

      Hapus
  2. Pilihan emang selalu sulit, karena sekali memilih tak bisa mundur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget, mau mundur ada tembok.. hihihi

      Hapus
  3. Saranku daripada Rina bingung pilih Sardi, Haris atau Gilang. Mendingan konsultasi pada ustadz Satria siapa tahu nanti ia bisa dikasih petunjuk.

    Yang penting jangan mau kalo dijadikan istri kedua pak ustadz.😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ketiga atau keempat boleh ngga, Mas?

      Hapus
    2. Yang mana mas? Ketiga yang pakai kerudung biru atau keempat yang tinggi dan kulitnya putih? 🤔

      Tapi sepertinya ustadz satria mau yang mana aja sih.😁

      Hapus
  4. Sulit juga ya harus milih, gimana kalau semuanya aja dipilih hahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi nanti giliran ya, Senin Selasa di Sardi, Gilang hari Rabu kamis, Haris Jumat Sabtu, Herman gilirannya hari Minggu doang.😂

      Hapus
    2. Hari minggu yaa jatuhnya Egus pastinya.🤣🤣

      Hapus
  5. Nah itu, memang janda kini menjadi primadona. Banyak saingan.
    Pastinya pilih bujang dong, karena masih polos

    BalasHapus
  6. Rina terlalu open sih.. jadi apa-apa dirasain.. bakal nyesel sendiri akhirnya..

    BalasHapus

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Bayang-Bayang di Bawah Bulan - Cerpen

Kehangatan yang Terlarang - Cerpen

Luka yang Tak Layak Dicintai - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung