Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung
Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung

Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah
Sejak pertemuan di taman pada malam itu, hubungan Hermansyah dan Ningsih perlahan-lahan terlihat dekat kembali. Notifikasi pesan WhatsApp dengan nada khusus itu pun kini sering terdengar dari ponsel Hermansyah, walau belum sesering seperti ketika Hermansyah dan Ningsih masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.
Setiap mendengar notifikasi pesan dengan nada khusus yang masuk ke HP-nya, sebisa mungkin Hermansyah langsung meresponnya karena ia tak ingin lagi kehilangan Ningsih. Hermansyah berusaha untuk memberikan perhatiannya kembali kepada Ningsih agar Ningsih bisa secepatnya melupakan Reza, dan ia bisa merajut kembali tali kasihnya bersama Ningsih yang telah terputus.
Seperti sore itu, ketika Hermansyah sedang berkunjung ke rumah teman satu kantornya dan asyik mengobrol dan merencanakan untuk pergi ke rumah seorang teman yang sudah lama tak mereka kunjungi, tiba-tiba Hermansyah merasakan HP yang dikantonginya bergetar dan mengeluarkan nada notifikasi pesan dengan nada khusus. Ia pun langsung mengambilnya dan melihat pesan yang baru saja masuk.
"Bang, malam ini Abang ada acara?" 
"Memangnya kenapa, Sih?"
"Bisa temani aku, Bang?"
"Temani kemana, sih?"
"Bisa apa gak, Bang?"
"Bisa, bisa... Kebetulan Abang tak ada acara malam ini."
"Nanti habis Maghrib, aku tunggu di rumah ya, Bang."
"Iya, Sih," Hermansyah mengakhiri Chat-nya dan kembali menyimpan HP-nya di saku celananya.
"Chat sama siapa, Man?" tanya Ahmad.
"Sama seseorang, Mad, dan maaf, malam ini kita tak jadi ke rumah Ricky, saya ada acara mendadak, Mad."
"Ada acara mendadak? Acara sama orang yang barusan di-chat kah?"
"Oh bukan. Tapi ada acara lain, dan maaf, saya permisi dulu. Tidak enak kalau nanti dia kelamaan menunggu."
"Dia? Aku jadi curiga. Dia itu pasti yang barusan di-chat kan, ngaku aja, lah, Man?"
"Santai aja Mad, tak usah curiga gitu. Dan sekali lagi maaf, kita tak jadi ke rumah Ricky. Mungkin Minggu depan saya ada waktu, dan kita bisa berkunjung ke rumah Ricky."
"Baiklah, Man. Semoga acaranya berjalan lancar. Tapi aku masih penasaran, dia itu siapa, cewek ya, Man? kembali Ahmad bertanya.
Hermansyah tidak menjawab, hanya tersenyum, dan iapun pamit pulang. Padahal saat itu ia dan Ahmad sedang mengobrol dan merencanakan malam nanti hendak pergi ke rumah seorang teman, tapi demi merajut kembali hubungan dengan Ningsih, ia pun membatalkan rencana itu.
**********
Azan Maghrib terdengar dari sebuah mushola yang tak begitu jauh dari tempat Hermansyah berada. Hermansyah mengarahkan motornya menuju mushola itu. Sesampainya di depan mushola Hermansyah langsung memarkir motornya dan bergegas ke tempat wudhu. Selesai wudhu ia masuk ke dalam mushola untuk melaksanakan sholat Maghrib.
Baca juga: Rasa Yang Telah Terbunuh
Selesai melaksanakan sholat Maghrib, Hermansyah kembali memacu motornya menuju rumah Ningsih yang tak begitu jauh lagi jaraknya, sekitarnya satu setengah atau dua kilo meter lagi. Beberapa menit kemudian, ia sampai di rumah Ningsih. Rumah Ningsih berada di pinggir jalan kecil yang lebarnya hanya untuk dua mobil saja. Rumahnya tanpa pagar dan ada sedikit halaman yang cukup untuk memarkir beberapa motor. Di depan rumah ada dua buah bangku dengan meja kecil di tengahnya.
Hermansyah memarkir motornya kemudian turun dan berjalan menuju pintu depan rumah Ningsih. Sambil mengetuk pintu, ia memberi salam, "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam," terdengar suara jawaban dari dalam dan pintu pun terbuka. Keluar seorang wanita mengenakan t shirt warna biru muda dan celana panjang berwarna hitam.
"Apa kabar, Sih?"
"Alhamdulillah baik, Bang," mari masuk, Bang."
"Terima kasih. Lebih enak di depan sini, adem dan bisa lihat orang-orang yang lewat."
"Ya udah. Sebentar, aku kedalam dulu, Bang."
Ningsih pun berjalan masuk ke dalam dan Hermansyah duduk di bangku yang letaknya jauh dari pintu. Dikeluarkannya sebungkus rokok beserta koreknya, kemudian mengeluarkannya sebatang dan membakarnya. Tak lama kemudian, Ningsih kembali keluar dengan membawa segelas kopi dan biskuit kalengan. Diletakkannya segelas kopi dan biskuit kalengan itu di atas meja kecil, kemudian ia duduk di bangku yang satunya.
Ningsih menatap Hermansyah yang sedang merokok, lalu berkata, "Abang masih merokok, memangnya gak sayang sama kesehatannya, Bang?"
"Sayang sih. Tapi Abang belum bisa berhenti, baru bisa mengurangi sedikit-sedikit, Sih."
"Lebih baik Abang berhenti merokok untuk kesehatan Abang. Gak enak, Bang, kalau sakit. Abang tau, kan, sakit karena rokok?"
"Iya, Abang tau, Sih. Abang akan coba untuk berhenti merokok," lalu Hermansyah membuang rokok yang ada di tangannya.
"Semoga Abang bisa berhenti merokok dan aku senang sekali kalau Abang bisa berhenti merokok. Oh ya, diminum dulu kopinya nanti keburu dingin, Bang."
Hermansyah meneguk sedikit kopinya lalu berkata, "Ada apa sih Abang di suruh datang ke sini?"
"Gak ada apa-apa, Bang. Memangnya Abang, gak suka ya, datang ke rumahku?"
"Bukannya gak suka, Sih. Abang cuma bertanya aja kok."
"Kirain aku, Abang gak suka datang ke rumahku. Sebenarnya aku lagi suntuk, Bang."
"Suntuk kenapa, Sih? Memangnya lagi ada masalah ya?"
"Gak ada masalah sih, cuma suntuk aja, Bang"
"Daripada suntuk, gimana kalau kita jalan, Sih?"
"Jalan ke mana, Bang?"
"Ke mana aja, cari angin sambil kita cari makan, mau kan?"
"Mau, Bang. Sebentar aku pamit dulu sama orang rumah."
Baca juga: Dia Yang Kusayang
"Lho, orang tua Ningsih ada di dalam? Abang pikir, orang tua Ningsih lagi keluar."
"Ibu ada di dalam, kalau bapak tadi sih pas Maghrib pergi ke mushola dan gak tau sekarang lagi di mana. Tunggu sebentar, aku pamit sama ibu dulu, bang."
Ningsih masuk ke dalam rumah. Hermansyah berjalan ke arah motornya. Tak lama, Ningsih keluar lagi.
"Ayo, Bang. Kita jalan."
"Ayo, Sih."
Hermansyah men-stater motornya dan kemudian mereka pun berangkat.
*********
Siang itu cuaca cukup panas, dan angin pun seakan malas berembus. Hermansyah tampak berjalan santai menuju ke suatu tempat untuk makan siang. Ketika sedang asik berjalan, ia mendengar ada suara dari belakang yang  memanggilnya.
"Bang..., Bang Herman."
Hermansyah pun berhenti dan menengok ke belakang. Dilihatnya seorang gadis muda berseragam kerja melambaikan tangannya dan berjalan menghampirinya.
"Mau ke mana, Bang?" tanya gadis itu ketika sudah di sampingnya.
"Mau makan, Dev"
"Benar kah? Asyik, Devi juga sedang lapar, kita makan bareng, Bang."
"Boleh, Devi mau mengajak Abang makan di mana?"
"Gimana kalau kita makan soto ayam yang ada di pojok jalan itu, Bang"
"Terserah Devi, kan Devi yang mau traktir Abang. Diajak makan di mana aja Abang ikuti aja namanya juga ditraktir."
"Ihh Abang, Abang yang traktir Devi, masa Devi yang traktir Abang, apa kata dunia, Bang?"
"Dunia akan baik-baik saja, Dev. Kan, Devi yang ngajak makan Abang, jadi Devi yang traktir Abang, hehehe."
"Ihh Abang, nih."
Hermansyah merasakan satu cubitan kecil pada lengannya.
Sambil berjalan mereka mengobrol, tak berapa lama sampailah mereka di pedagang soto ayam. Suasana sudah ramai karena memang jam makan siang dan untungnya masih ada beberapa bangku yang kosong. Mereka pun duduk di bangku yang kosong dan memesan dua soto ayam dan dua teh manis dingin. Sambil menunggu pesanannya mereka mengobrol.
"Bang, Abang sudah tau apa belum, si dia kan sudah putus?"
"Si dia? Si dia siapa, Dev?"
"Ahh, Abang pasti pura-pura nih, sebenarnya Abang sudah tau, kan?"
Hermansyah hanya tersenyum kecil.
"Tuh kan, benarkan, Abang pasti sudah tau buktinya Abang senyum-senyum"
"Anggaplah Abang sudah tau si dia itu siapa. Terus kalau si dia memang sudah putus, ada hubungan apa sama Abang?"
"Ini kesempatan Bang buat dekatin dia lagi, barangkali aja memang dia jodoh Abang."
"Semoga aja tapi dia siapa, Dev?"
"Ihh Abang masih aja pura-pura," ucap Devi sambil mencubit gemas lengan Hermansyah.
Baca juga: Dara, Gadis Dunia Maya
"Aduuh, sakit, Dev. Tuh lihat sampai merah lengan Abang."
"Biarin, nanti Devi cubit lagi, kalau Abang masih aja pura-pura."
"Memang Abang ngga tau, dia itu siapa?"
"Ihh, Abang beneran minta dicubit lagi nih!" jawab Devi sambil menggerakkan tangan kanannya, hendak mencubit kembali lengannya Hermansyah.
Hermansyah menjauhi lengannya agar tak tercubit oleh Devi. Tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan WhatsApp dari HP yang berada di dalam saku kiri depan celana Hermansyah. Tangan kiri Hermansyah langsung masuk ke saku celananya untuk mengeluarkan HP itu, lalu dia menyapukan jari tangan kanannya untuk melihat isi pesan yang baru saja diterimanya. Setelah membacanya, Hermansyah langsung membalas pesan itu. Seketika Hermansyah sibuk dengan HP-nya sementara Devi hanya memandanginya.
Ketika dilihatnya Hermansyah sudah menyimpan kembali HP-nya, Devi langsung berkata, "Sekarang Abang gak bisa mengelak lagi, barusan Abang chat sama dia kan?"
"Dia? Dia siapa sih?" Jawab Hermansyah, pura-pura bingung.
"Udahlah, Bang. Jangan pura-pura terus, Abang udah gak bisa mengelak lagi, Devi masih ingat nada notifikasi itu, itukan nada notifikasi khusus milik dia."
"Sok tau kamu Dev. Tapi ngomong-ngomong, kok Devi masih ingat aja kalau nada notifikasi itu nada notifikasi khusus milik dia."
"Nah kah, akhirnya Abang mengaku juga...hahaha," jawab Devi sambil tertawa senang karena berhasil memancing Hermansyah untuk mengakuinya.
"Ops, kelepasan," jawab Hermansyah sambil nyengir.
"Makanya, Bang. Jangan belajar bohong, akhirnya ketauan juga kan, hahaha."
"Iya deh, iya. Abang mengaku kalah dan Devi yang menang."
"Karena Devi yang menang, berarti Devi boleh nambah dong, Bang. Asyiikkkk."
"Waduh!!!"
Akhirnya pesanan yang dipesan pun datang. Sambil makan Hermansyah bercerita tentang hubungannya yang kembali dekat dengan Ningsih dan berharap kedekatannya yang sekarang ini tak akan berhenti lagi di tengah jalan seperti hubungan sebelumnya.
Bersambung ke: Apakah Memang Dia? (#3)
Part sebelumnya: Apakah Memang Dia? (#1)
 
