Dia Yang Kusayang (#2) - Cerbung
Dia Yang Kusayang (#2) - Cerbung
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah
Gadis itu menyambut uluran tangan si pemuda. Tangan mereka pun bertemu dan saling genggam. Ketika tangan mereka bergenggaman, mereka merasakan ada aliran aneh yang mengalir di tubuh, membuat mereka terdiam. Ada satu rasa yang mereka tak mengerti rasa apa namanya, namun rasa itu membuat nyaman. Tanpa sadar mereka sudah bergenggaman cukup lama sampai akhirnya si gadis tersadar dan langsung melepaskan genggamannya.
"Oh ya. Mbak ini siapanya Iis?"
"Saya tetangganya teteh Iis, Kang."
"Orang Jawa Barat juga, berarti saya panggilnya teteh dong bukan Mbak."
"Jangan panggil teteh panggil nama saya saja, Rimayanti atau Ima. Kalau Akang dari mana?
"Saya orang sini, Ma."
"Jakarta?"
"Iya. Saya asli Jakarta."
"Oh orang Jakarta. Kalau begitu saya mestinya panggil Abang dong?"
"Terserah Rima mau panggil saya apa. Eh, nggak keberatan, kan, kalau saya panggil Rima?
Gadis itu mengangguk pelan.
Dan ketika sedang asyiknya mereka mengobrol, tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara seorang perempuan memanggil-manggil.
"Ima... Imaa..."
"Maaf, saya masuk dulu. Itu suara ibu manggil-manggil saya, Bang."
"Sebentar, Ma." Dani merogoh saku celana dan mengambil HP-nya. Minta nomor HP-nya, Ma?"
Sebaris angka disebutkan oleh Rima, Dani langsung menyimpan barisan angka itu ke kontak HP-nya. Selesai menyimpannya, Dani membantu Rima menutup pintu. Pintu telah tertutup dan tergembok. Setengah berlari Rima masuk ke rumah. Dari dalam rumah terdengar lagi satu suara yang memanggil namanya.
Ima.. Imaa..
Baca juga: Apakah Memang Dia?
**********
Langit Jakarta malam ini terlihat sangatlah cerah. Tidak setitik pun terlihat awan mendung yang ada hanyalah ribuan bintang dan sepotong rembulan. Di teras depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, terlihat seorang pemuda yang sedang duduk santai. Dia berselonjor di lantai keramik yang berwarna coklat muda, badannya bersandar di dinding rumah yang bercat warna pastel.
"Mungkinkah dia lagi santai juga seperti diriku?" ucap pemuda itu dalam hati.
Ia mengeluarkan HP dari dalam saku celananya. Setelah diaktifkan, ia mengusap layar HP itu ke atas untuk membukanya. Setelah itu, ia menyentuh ikon yang berbentuk telpon untuk melihat daftar kontak yang ada di HP-nya. Ia menggulir layar HP itu ke atas beberapa kali untuk mencari sebuah nama yang tersimpan di daftar kontaknya.
Ketika nama yang dicarinya terlihat, ia menyentuh nama itu, "Ternyata nomornya ada WhatsApp-nya juga."
Ia menyentuh ikon telpon untuk memanggil, tapi dia menghubungi bukan lewat WhatsApp melainkan lewat telpon biasa, ketika HP-nya didekatkan ke telinganya, terdengar nada yang menandakan nomor yang dihubunginya aktif. Setelah menunggu beberapa detik, terdengar suara wanita memberi salam: "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam.."
"Maaf, ini siapa?"
"Dani, Ramdani, Ma"
"Oh Bang Dani. Ada apa nih Bang Dani nelpon Ima?"
Seketika Dani tampak bingung untuk menjawabnya. Dia yang biasanya sering bergurau dan ceplas-ceplos dengan lawan bicaranya, mendadak merasakan lidahnya kelu. Lidahnya sukar digerakkan untuk menjawab pertanyaan yang sebetulnya tidak begitu sulit untuk dijawabnya. Dia terdiam sampai dari seberang sana terdengar kembali suara yang memanggil namanya, "Bang Dani.. haloo... Bang Dani!"
"Iya.. iya, Ma"
"Oh masih ada, Ima pikir udah ditutup."
"Belum, cuma nyawa saya tadi sedikit hilang."
"Lho, kenapa memangnya, Abang baik-baik saja, kan?"
"Nggak ada apa-apa, cuma tadi bingung mau jawab apa. Hehehe"
"Oh, kirain Ima ada apa sampai-sampai nyawa Abang sedikit hilang. Oh ya, kenapa telponnya nggak lewat WhatsApp saja, Bang. Abang punya WhatsApp kan?
"Sengaja, biar Rima bingung dan menduga-duga ini telepon dari siapa. Kalau lewat WhatsApp kan ada fotonya, Rima bisa langsung tau kalau yang menelepon itu saya, jadi kurang greget."
"Ah, Abang bisa aja nih."
Cukup lama juga Dani dan Rima mengobrol lewat telepon. Obrolan mereka baru berhenti ketika hari hampir tengah malam dan rasa kantuk mulai menyerang. Walaupun obrolan mereka hanya sekadar obrolan yang tidak jelas arahnya, tapi mereka berdua merasa seperti ada kecocokan satu sama lain. Dari obrolan itu, hubungan mereka menjadi semakin dekat, layaknya sepasang kekasih. Namun sayangnya, belum ada di antara mereka yang menyatakan rasa suka atau cinta secara langsung, padahal keduanya sudah merasakan kecocokan, ketertarikan, dan saling mencintai.
Baca juga: Dara, Gadis Dunia Maya
Waktu pun terus berjalan. Hingga suatu pagi, mereka kembali bertemu ketika Dani seperti biasa mengantarkan koran ke tempat Rima, Rima, yang telah menunggu Dani langsung menghampirinya.
"Bang, mau nggak, Abang menemani Rima pulang ke kampung?" tanya Rima pelan dengan wajah yang sedikit murung ketika dia sampai di dekat Dani.
"Kapan, Ma?"
"Bang, Rima tanya bukan dijawab malah Abang balik bertanya. Sejak kapan pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, Bang?" ucap Rima dengan nada tinggi.
Dani tersentak mendengar jawaban Rima. Ia merasakan ada masalah atau beban yang sedang ditanggung oleh wanita yang ia sukai, karena selama mengenalnya, Rima belum sekalipun berkata dengan nada tinggi. Ia menatap wajah Rima lekat-lekat dan melihat ada kemurungan di wajahnya. Merasa ditatap dengan tatapan seperti tatapan orang yang sedang menyelidiki sesuatu, Rima memalingkan wajah dan melayangkan pandangannya jauh ke depan.
"Maafkan abang, Ma. Bukan abang menjawab pertanyaan Rima dengan pertanyaan, abang cuma ingin menegaskan kapan Rima mau pulang ke kampung."
Mendengar jawaban Dani, Rima kembali berkata kali ini dengan nada yang seperti biasa pelan dan lembut, "Seharusnya Rima yang meminta maaf, bukan Abang, karena Rima sudah marah-marah kepada Abang. Maafkan Rima, Bang. Rima..." Rima tak meneruskan kata-katanya. Dia seperti menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca, dan dia berusaha agar tak menetes air mata.
Dani memeluk tubuh Rima untuk memberikannya ketenangan, "Ceritakanlah kepada abang, memangnya Rima lagi ada masalah apa?"
"Nggak ada apa-apa, Bang. Rima cuma meminta Abang menemani Rima pulang ke kampung. Abang mau, kan?"
Dani tau kalau Rima sedang menyembunyikan sesuatu, yaitu alasan yang membuat dia sampai memintanya untuk menemaninya pulang ke kampung. Tetapi, Dani tidak mendesak Rima untuk mengatakan alasannya sebenarnya. Dia hanya bertanya kapan Rima mau pulang ke kampung.
"Nanti sore, Bang."
"Nanti sore! Kok mendadak betul, Ma?"
"Iya, Bang. Semalam orang tua Rima di kampung menelepon dan menyuruh Rima untuk segera pulang, Bang."
"Memangnya ada apa kok mendadak disuruh pulang? Apa ada hal yang sangat penting sampai Rima diminta segera pulang?"
Rima tidak langsung menjawab, dia terdiam sesaat. Ada keraguan untuk mengatakan hal yang sebenarnya, mengapa dia sampai diminta oleh orang tuanya untuk segera pulang.
"Kok diam?"
"Kalau Rima bilang terus terang, apa Abang mau temani Rima pulang ke kampung?"
"Kalau alasan Rima pulang kampung nanti sore memang sangat penting, abang akan usahakan untuk menemani Rima walau abang sudah ada janji penting sama teman nanti malam, tapi kalau bisa ditunda sampai hari Sabtu atau Minggu, abang pastikan abang bisa menemani Rima pulang."
"Serius, Bang?"
"Serius! Apa yang serius, Ma? Apa ada masalah yang serius di kampung?" tanya Dani menegaskan.
"Maaf, Bang. Maksud Rima, apa Abang benaran serius mau menemani Rima pulang, kalau pulangnya di hari Sabtu atau Minggu?"
"Abang serius, Ma. Kalau Rima mau menundanya di hari Sabtu atau Minggu, abang janji akan menemani Rima pulang."
"Alhamdulillah, terima kasih, Bang," ucap Rima senang.
"Terima kasih! Terima kasih untuk apa, Ma. Perasaan abang tidak memberikan Rima sesuatu, kok Rima bilang terima kasih?"
"Terima kasih karena Abang berjanji mau menemani Rima pulang."
"Jangan berterima kasih dulu, bisa aja abang nanti ingkar."
"Selama dekat sama Abang, sedikit banyak Rima tau sifat Abang. Abang berjanji akan menemani Rima pulang, Rima yakin Abang pasti akan menepati janji Abang kecuali, ada hal yang tak terduga yang menghambatnya. Makanya Rima bilang terima kasih."
Dani terdiam dan dipandanginya wajah Rima, gadis manis yang telah mengisi hatinya. Wajah gadis itu sudah terlihat ceria dan tak murung lagi. Rima mengelus lembut tangan Dani yang sedari tadi memeluk bahunya. Seketika Dani tersadar dan melepaskan pelukannya, lalu ia berkata, "Maaf, Abang pamit dulu mau mengantarkan koran-koran yang masih tersisa ini ke pelanggan yang lain, takut nanti telat, Ma."
"Ya sudah jalan sana, nanti kalau telat Abang bisa diomelin oleh para pelanggan."
"Tak apa-apa sih diomelin para pelanggan, yang penting gadis manis yang ada di samping abang ini sudah bisa tersenyum lagi."
"Mulai dah ngegombalnya. Sudah sana jalan, Rima juga mau masuk meneruskan pekerjaan Rima yang belum selesai, Bang."
"Oke deh Abang pamit. Assalamualaikum.."
"Wa'alaikumussalam.."
Bersambung ke (#3)
Part sebelumnya (#1)
Baca juga: Sepenggal Kisah Dunia Maya