Lebih Seru Dari Sinetron - Cerpen
Lebih Seru Dari Sinetron - Cerpen

Di sebuah grup arisan ibu-ibu kompleks, percakapan di grup WhatsApp sedang panas-panasnya. Bukan soal uang arisan atau acara piknik ke pemandian air panas, melainkan tentang status pernikahan.
Reni, janda bohay dengan dua anak dan bisnis online yang sukses, menjadi bahan omongan sejak ia tampil makin glowing dan tak pernah absen pamer liburannya di InstaStory.
Di tengah obrolan grup yang ramai, tiba-tiba muncul sebuah pesan dari Widi, seorang istri yang terkenal suka nyinyir.
"Enak ya jadi janda. Mau ngapain aja bebas, nggak ada yang larang."
Pesan itu langsung disambut emoticon tertawa dari beberapa anggota grup. Tapi, bagi Reni yang sedang rebahan sambil memakai masker spirulina, matanya langsung membelalak. Tangannya refleks membalas.
"Kalau enak jadi janda, kenapa lu nggak jadi janda aja? Minta pisahlah ama suami lu. Kalau nggak suami lu buat gue."
Pesan itu sukses membuat grup sepi selama sepuluh menit. Biasanya, ibu-ibu hobi mengirim stiker tertawa dan video lucu, tapi kali ini sunyi senyap seperti kuburan di malam Jumat.
Bu RW, yang jarang nimbrung di grup, tiba-tiba muncul.
"Ehem... Mohon jaga kesopanan ya, ibu-ibu sekalian. Kita ini komunitas arisan, bukan ring tinju."
Widi, yang merasa tersindir, akhirnya membalas setelah diam cukup lama.
"Lha, gue cuma bercanda, Mbak. Jangan baper gitu dong."
Tapi, Reni yang sudah terlanjur naik darah tidak tinggal diam.
"Baper? Emangnya jadi janda itu dosa? Dari kemarin lu nyindir mulu. Nggak usah iri. Kalau mau bebas, tinggal bilang aja sama suami lu biar nanti suami lu gue yang urus."
Sejak saat itu, grup WhatsApp arisan menjadi sepi dari komentar nyinyir. Tapi, hubungan Reni dan Widi seperti air dan minyak, tidak bisa bersatu. Tiap kali Reni bertemu Widi di kompleks atau di luar kompleks, tatapan mereka seperti adegan sinetron jam tujuh malam: tajam dan penuh dendam.
Puncaknya terjadi di acara pengajian bulanan di rumah Bu RW. Biasanya acara ini penuh khidmat, tapi kali ini lebih mirip reality show dengan bumbu drama domestik.
Reni datang memakai gamis modis warna emerald green, lengkap dengan hijab pashmina yang melingkar sempurna. Sementara Widi memilih gamis sederhana warna pastel. Tapi meskipun tampil kalem, matanya sesekali melirik Reni dengan tatapan waspada.
Baru saja Bu Ustadzah selesai membahas soal "Kesabaran dalam Rumah Tangga", Widi tiba-tiba mengangkat tangannya.
"Bu Ustadzah, saya mau tanya. Kalau ada perempuan yang suka nyerobot suami orang itu gimana ya hukumnya?" tanyanya dengan senyum sinis yang jelas ditujukan ke satu arah, Reni.
Ruangan mendadak sunyi. Beberapa ibu-ibu mulai saling pandang, menahan rasa ingin tahu. Reni yang duduk di pojokan cuma tersenyum tipis, tapi matanya jelas berbinar.
"Ya, tergantung, Bu," jawab Bu Ustadzah dengan nada hati-hati. "Kalau niatnya buruk, jelas itu dosa. Namun, bagaimana jika suaminya yang mendekati duluan?"
Baca juga: Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai
Reni langsung menimpali. "Nah, itu dia, Bu. Kadang yang ngaku paling aman malah nggak tau suaminya udah mulai bosan di rumah."
Suara tawa kecil pecah di antara para ibu. Sementara wajah Widi memerah.
Selesai acara, Reni berjalan santai menuju parkiran, tapi langkahnya dihentikan oleh Widi yang tiba-tiba muncul.
"Lu tuh ya, jangan sok cantik! Gue tau lu dari dulu ngincer suami gue!" bentaknya dengan suara setengah berbisik.
Reni menoleh dengan santai. "Ngincer? Ngapain gue ngincer suami lu? Guenya cakep, duit ada, bebas lagi. Suami lu aja yang keder kalau liat gue."
Widi mendengus. "Kalau lu emang nggak ada niat, jangan godain suami orang."
Reni terkekeh pelan. "Siapa yang godain? Kalau emang gue niat, suami lu udah pindah ke rumah gua dari tahun lalu."
Belum sempat Widi membalas, suara klakson mobil menyela mereka. Yudhi suami Widi datang menjemput. Anehnya, senyumnya terlalu ramah ke arah Reni.
"Eh, Mbak Reni, makin cantik aja. Sendirian nih? sapanya, membuat Widi semakin kesal.
Reni tersenyum manis. "Iya Mas. Mau dititipin kopi lagi? Kayaknya yang kemarin enak banget ya?" jawabnya sambil melirik nakal.
Yudhi yang jelas tidak paham situasi malah tertawa lebar. "Boleh banget, Mbak."
Widi menarik lengan suaminya dengan kasar. "Udah, pulang! Banyak kerjaan di rumah."
Saat mobil mereka melaju pergi, Reni hanya terkikik puas. Bukan karena benar-benar ingin mengambil suami orang, tapi membalas sindiran dengan elegan itu lebih memuaskan daripada belanja di midnight sale.
**********
Beberapa hari setelah insiden pengajian, grup arisan kembali ramai. Bukan karena jadwal piknik atau diskon besar-besaran di toko serba ada, tetapi gara-gara Bu RW mengumumkan acara lomba memasak antar-RT.
"Yang menang bakal dapat piala bergilir dan voucher belanja tiga juta, lho." tulis Bu RW, lengkap dengan stiker panci dan api menyala.
Mendengar kata "voucher belanja", semua anggota grup langsung semangat. Apalagi, lomba ini akan disiarkan langsung di Instagram resmi kompleks. Artinya? Ini kesempatan emas buat pamer skill atau sekadar tebar pesona.
Tapi, yang bikin suasana semakin panas adalah pengumuman kedua dari Bu RW.
"Setiap RT wajib kirim dua perwakilan. RT 003 diwakili Reni dan Widi ya! Cocok nih, sama-sama jago masak."
Langsung, grup heboh. Beberapa ibu malah kirim stiker popcorn seolah siap menonton drama gratis.
Widi, tentu saja, langsung protes di grup.
"Bu, masa saya sama dia sih? Kalau nanti panci melayang, gimana?"
Reni membalas cepat.
"Tenang aja, Bu. Saya bawa panci teflon anti lengket, jadi nggak gampang melayang."
Tawa membanjiri grup. Bahkan Bu RW pun ikutan kirim stiker ngakak. Tapi keputusan sudah final, suka atau tidak, mereka berdua harus bekerja sama.
Baca juga: Cahaya Di Ujung Terowongan
Hari lomba tiba. Lapangan kompleks disulap jadi arena memasak lengkap dengan meja, bahan, dan peralatan canggih. Warga berkerumun, ada yang bawa payung, ada yang sibuk siaran langsung di media sosial.
Di meja RT 003, suasana lebih panas daripada wajan di atas kompor.
"Lu potong bawang, gue urus ayam," perintah Widi dengan suara ketus.
"Oke, tapi jangan nangis ya kalau lihat hasil potongan gue lebih rapi," balas Reni santai.
Setiap gerakan mereka diiringi saling sindir, tapi anehnya, masakan tetap jalan. Dalam waktu setengah jam, aroma ayam bakar madu mulai menggoda hidung semua orang.
Saat juri mulai keliling mencicipi, Reni sengaja menambahkan sambal spesial untuk membuat juri terkesan. Tapi entah kenapa, sambalnya terlihat lebih merah dari biasanya.
"Lu tambahin cabe berapa?" tanya Widi curiga.
"Sepuluh. Kenapa emangnya? Ini biar juri keringetan, tandanya pedasnya mantap," jawab Reni santai.
Sayangnya, di momen penjurian, efek sambal itu terlalu "mantap". Begitu salah satu juri, Pak RT 005 mencicipi sepotong ayam, wajahnya langsung merah padam.
"Aduh, pedasnya kayak neraka, Bu!" teriaknya sambil kipas-kipas.
Sementara juri lain sibuk menenangkan Pak RT, Reni melirik Widi tajam.
"Lu nambahin cabe lagi ya?" desisnya pelan.
"Ya kali, gue bantuin musuh gue sendiri.," elak Widi membela diri.
Meski insiden "mulut terbakar" itu mengurangi poin mereka, lomba tetap berjalan lancar. Dan setelah pengumuman pemenang, RT 003 memang tidak juara, namun mereka menang di hati warga karena hiburan drama gratis sepanjang lomba.
Sepulang dari lomba, Reni sudah bersiap merebahkan diri di sofa ketika ponselnya berbunyi. Chat dari nomor tak dikenal masuk.
"Mbak Reni, ini Yudhi. Apa ada waktu buat ngopi-ngopi?"
Reni membelalak. Gawat. Drama kompleks ternyata belum selesai.
Reni menatap layar ponselnya sambil mengernyit. Mas Yudhi? Suaminya Widi? Ini serius?
Setelah menimbang selama tiga detik karena kalau lebih lama, bisa disangka baper dia membalas.
"Ada apa ya, Mas?"
Tidak sampai semenit, balasan datang.
"Mau titip kopi lagi, boleh?"
Reni membatin sambil ketawa kecil. Nih orang, masih aja kepikiran kopi buatan gue. Tapi demi menjaga kedamaian kompleks, dia memutuskan buat mengabaikan pesan itu.
Namun, dasar drama kompleks ini tidak ada habisnya, keesokan harinya, saat Reni sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya, mobil hitam Yudhi berhenti di depan pagar.
Kaca jendelanya turun pelan-pelan. Dari dalam mobil, Yudhi melongok dengan senyum sok manis.
"Pagi, Mbak Reni! Udah ngopi belum?" sapanya.
Reni menarik napas panjang. Orang ini benar-benar niat.
Baca juga: Jejak Hati Di Minimarket
"Belum, Mas. Mau nyumbangin kopi mahal gitu?" balasnya santai.
"Kalau dibuatin sama Mbak Reni, saya mah selalu siap," goda Yudhi.
Belum sempat Reni membalas, suara pintu pagar dibanting terdengar keras. Widi muncul dengan daster motif strawberry dan muka garang seperti siap berperang.
"Pagi-pagi udah patroli, Mas? Atau mau inspeksi istri orang?" sentaknya.
Yudhi tergagap. "Eh, aku cuma lewat, kok."
Reni yang sudah biasa menghadapi drama seperti ini hanya nyengir. "Santai aja, Mbak. Kalau suami Mbak doyan kopi buatan saya, itu bukan salah saya. Salahnya… ya, Mbak sendiri."
"Maksud lu apa?" mata Widi melotot.
"Ya, mungkin di rumah kurang manis, jadi nyari yang lain," jawab Reni tajam, sambil sengaja menyiram tanaman penuh semangat.
Yudhi buru-buru menyalakan mesin mobilnya lagi. "Sudah, sudah. Aku balik kerja dulu."
Setelah mobil melaju, Widi masih berdiri di depan pagar. Tangannya gemetar, entah karena emosi atau malu.
"Lu itu ya, Reni. Udah janda, jangan ganggu rumah tangga orang!" bentaknya.
Reni memiringkan kepala dengan senyum tipis. "Kalau rumah tangga lu kuat, harusnya nggak gampang keganggu dong, Mbak."
Dengan suara mendengus, Widi balik badan masuk rumah.
**********
Malam harinya, grup arisan kembali heboh di grup WhatsApp. Kali ini bukan soal lomba atau diskon. Widi bikin drama baru dengan status pasif-agresif.
"Ada ya, perempuan nggak bisa liat suami orang bahagia. Dasar pengganggu."
Reni, yang sedang maskeran sambil mengemil keripik, cuma mendesah lelah. Kenapa, sih, hidupnya lebih sibuk mengurusi orang lain daripada suaminya?
Tapi, belum sempat dia membalas, tiba-tiba ada chat pribadi masuk. Dari Bu RW.
"Mbak Reni, bisa ke rumah saya besok pagi? Ada yang mau saya omongin."
Keesokan paginya, Reni melangkah menuju rumah Bu RW dengan hati was-was. Soalnya, kalau Bu RW sudah memanggil secara pribadi, pasti ada sesuatu yang serius. Bisa jadi soal drama sambal neraka di lomba masak kemarin, atau… soal Widi.
Begitu sampai, Bu RW sudah menunggu di teras, duduk anggun sambil menyeruput teh hangat.
"Silakan duduk, Mbak Reni," ucapnya ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti ibu-ibu arisan yang baru tahu cicilan tetangganya lunas duluan.
Reni duduk perlahan. "Ada apa ya, Bu? Saya salah menyiram tanaman tetangga, kah?"
Bu RW tersenyum tipis. "Nggak, kok. Saya cuma penasaran… benar nggak Mbak Reni dekat sama Mas Yudhi?"
Nah, kan!
Reni langsung menegakkan punggung. "Bu, kalau dekat maksudnya titip kopi, ya benar. Tapi kalau lebih dari itu, saya bukan tipe yang suka merecoki rumah tangga orang."
Baca juga: Beranjak Dari Luka
Bu RW mengangguk perlahan. "Saya tahu Mbak Reni bukan orang seperti itu. Tapi tahu sendiri kan, kompleks kita ini, gosip lebih cepat menyebarnya daripada kabar diskon di minimarket."
Reni tertawa kecil. "Iya sih, Bu. Udah biasa saya. Anggap aja hiburan gratis."
Tiba-tiba Bu RW bersandar santai, suaranya merendah. "Jujur aja, saya juga capek dengar Mbak Widi nyinyir terus. Pagi-pagi dia udah kirim voice note panjang soal 'istri orang vs janda bebas'. Sepertinya dia lupa, yang bikin suaminya lirik-lirik bukan cuma kopi, tapi karena… ya, Mbak Widi sendiri agak…"
"Agak gimana, Bu?" tanya Reni penasaran.
"Ya, agak terlalu fokus mengawasi orang lain daripada mengurus suaminya sendiri," Bu RW terkekeh sambil melirik kiri-kanan, takut ada yang menguping.
Reni menghela napas panjang. "Bu, saya tuh sebenarnya capek dilibatkan di drama ini. Sudah enak jadi janda, bebas, kenapa harus repot merebut suami orang?"
Bu RW mengangguk memahami. "Saya paham, Mbak. Gimana kalau saya kasih saran? Daripada ribut terus sama Mbak Widi, bagaimana kalau Mbak Reni…"
"Kalau saya apa, Bu?"
"Cari suami baru. Biar gosipnya pindah ke orang lain."
Reni tertawa terbahak-bahak sampai nyaris terjatuh dari kursi. "Bu, saya ini baru menikmati hidup bebas. Masa sudah disuruh masuk kandang lagi?"
"Ya, kan siapa tahu ada yang cocok."
Reni mengangkat bahu. "Kalau ada yang selevel Reza Rahadian, boleh deh saya pertimbangkan."
Sejak pertemuan itu, Reni memutuskan untuk cuek total. Kalau Widi mau nyinyir, silakan. Kalau Yudhi masih suka kopi, ya biar saja. Toh, hidupnya sudah cukup bahagia tanpa harus repot mengurusi urusan orang lain.
Tapi, sebulan kemudian, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Di acara syukuran ulang tahun Bu RW, ada seorang pria baru muncul di kompleks. Namanya Fajri, adik ipar Bu RW, baru balik dari luar kota. Tinggi, rapi, wangi, dan… jomblo.
Saat mata mereka bertemu, Fajri langsung tersenyum. "Mbak Reni, ya? Saya sering mendengar nama Mbak dari Kakak."
Reni menaikkan alis. "Mendengar yang baik-baik atau yang gosip murahan?"
"Yang baik-baik, dong," jawabnya cepat. "Tapi saya penasaran, kopi buatan Mbak Reni emang seenak itu ya?"
Reni tertawa. "Kalau mau membuktikan, mampir saja."
Bu RW, yang mengamati dari kejauhan, hanya mengedip nakal. "Nah, kalau jodoh, siapa yang bisa menolak?"
Dan begitulah, drama di kompleks memang tidak pernah benar-benar selesai. Tapi kali ini, Reni punya agenda baru, membuat kopi untuk orang yang (semoga) tidak perlu dia bagi sama siapa-siapa lagi.
Tamat
Baca juga: Ancaman Yang Bikin Tersenyum
memang sih ya kalo janda kenapa identiknya kayak gak baik di kalangan orang-orang, padahal aslinya biasa aja :D
BalasHapusEntahlah, saya juga tidak mengerti.. wkwkwk
HapusHahahahahahaha baguuuus endingnya 👍👍👍👍🤭.
BalasHapusAmit2 iiih kalo aku tinggal di lingkungan ibu2 suka nyinyir begini. Sereeem. Mulut kok kayak piso banget. Padahal di awal emang dasarnya si Widi yg nyinyir abis, malah merembet kemana2 yak 🤣🤣
Mungkin si Widi habis salah makan, makanya nyinyir abis.. wkwkwk
Hapus