Beranjak Dari Luka - Cerpen

Beranjak Dari Luka - Cerpen




beranjak dari luka - cerpen


Andi duduk termenung sendiri di sudut sebuah kafe. Tubuhnya bersandar malas pada sandaran kursi yang terbuat dari kayu. Di depannya, ada sebuah meja kecil dari kayu tanpa taplak. Di atas meja terdapat sebuah cangkir berisi setengah kopi hitam yang tampak sudah mendingin, bungkus rokok yang isinya hampir habis, korek api, dan sebuah asbak penuh dengan puntung serta abu rokok. Lampu-lampu redup menggantung rendah di langit-langit, cahayanya menciptakan bayang-bayang lembut di wajahnya yang tampak lesu, seolah menanggung beban tak terucapkan.

Dengan gerak perlahan, Andi mengambil sebatang rokok dan menatapnya sejenak, seolah mencari sesuatu di dalamnya. Setelah beberapa detik, barulah dia menyalakannya dengan korek api yang tergeletak tak jauh darinya. Asap putih yang dia hembuskan berbaur dengan udara sekelilingnya, membentuk spiral melayang sebelum menghilang.

Di luar, hujan mulai turun rintik-rintik, menambah kesan melankolis. Andi meraih cangkirnya, mengangkatnya pelan, dan menyesap sedikit sisa kopi yang ada di cangkir. Rasanya pahit, tapi anehnya, dia menyukai rasa itu, seolah pahit kopi hitam tersebut senada dengan sesuatu yang tersimpan di dalam hatinya. Matanya melirik ke jendela, memandangi rintik hujan yang jatuh perlahan-lahan di atas kaca, menciptakan garis-garis luntur yang mengaburkan pemandangan di luar. Tapi dia tidak benar-benar melihat hujan itu, pikirannya entah melayang ke mana, terjebak dalam ruang yang tak bisa diurai hanya dengan kata-kata.

Andi terus mengisap rokoknya dalam diam, pandangannya masih kosong menatap jendela. Matanya mengikuti rintik hujan yang turun tanpa henti, pikirannya melayang jauh melintasi waktu dan menembus kenangan. "Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" gumamnya lirih, suaranya bergetar."Aku lelah."

Sebuah bayangan samar muncul di benaknya, bayangan seorang wanita yang pernah mengisi hatinya. Andi menarik napas dalam-dalam, seakan ingin menghirup udara kafe yang dingin itu sepenuhnya. Pikirannya kembali berkelana, menembus lorong kenangan yang sudah lama terkubur. Wajah wanita itu muncul lagi di hadapannya, bagaikan bayangan yang terus menari-nari dalam kegelapan pikirannya.

=============== Ratih, Secantik Dewi Ratih ===============

Di sudut kafe, seorang wanita duduk sendirian. Sinar matahari senja yang menerobos dari jendela menyinari wajahnya dari samping, membuatnya tampak begitu lembut dan hangat. Wanita itu tampak asyik dengan buku kecil yang sedang dibacanya, sesekali dia mengangkat pandangan seolah merenungi sesuatu sebelum kembali pada halaman-halaman yang terjepit di tangannya. Wajahnya terlihat tenang, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil yang samar, namun penuh arti.

Wanita itu tak sadar sedang diperhatikan. Dia tetap asyik dengan buku kecil yang dipegangnya, sesekali meneguk minuman dari sebuah cangkir, entah itu teh, susu, atau kopi. Namun akhirnya, dia tersadar juga bahwa sedang diperhatikan. Dia pun tersenyum lembut kepada Andi yang memerhatikannya, lalu kembali menunduk membaca buku yang dipegangnya.

Andi tertegun sejenak. Wanita itu... Dia terlihat begitu berbeda dari wanita-wanita yang pernah dia kenal. Ada ketenangan yang terpancar dari dirinya, seolah dunia ini tak mampu mengusik kedamaian hatinya.

Sesaat Andi hanya memandanginya, namun akhirnya dia bangkit dari kursinya dan berjalan dengan langkah pelan menuju meja wanita itu. Suara langkahnya nyaris tak terdengar di atas lantai, namun cukup bagi wanita itu untuk menyadari kehadirannya. Wanita itu lalu menutup bukunya dan meletakkan buku itu di atas meja. Dia menatap Andi dengan senyum yang tak berubah.

Andi berhenti di hadapan wanita itu, jantungnya berdebar kencang. Dia merasa gugup, namun tetap berusaha untuk tersenyum. "Permisi, bolehkah aku bergabung?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak.

Wanita itu tersenyum ramah, "Tentu saja."

Andi menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya, meletakkan cangkir kopi yang dibawanya. Mereka terdiam sejenak.

"Namaku, Andi," ucap pria itu memperkenalkan diri.

"Aku Zia," jawab wanita itu sambil tersenyum.

"Sebenarnya, aku tidak biasa seperti ini. Mendekati orang asing dan tiba-tiba ingin bicara."

Zia tertawa kecil, "Terkadang, berbicara dengan orang asing justru lebih mudah, bukan?"

Dan dari situlah pembicaraan mereka mengalir alami. Mereka saling bertukar cerita, membuka lapisan demi lapisan pengalaman yang selama ini hanya tersimpan di dalam hati mereka.

"Kau tahu, Zia, kadang aku merasa hidupku berjalan begitu datar. Semua terasa monoton, seperti aku berjalan di tempat tanpa tahu ke mana arah tujuanku."

"Mungkin, kau hanya perlu berhenti sejenak. Melihat sekelilingmu dan menikmati apa yang ada, bukan selalu memikirkan ke mana arah tujuanmu."

Andi menghela napas, pandangannya mengarah ke luar jendela.

=============== Antara Cinta Dan Sahabat ===============

Di tengah lamunannya, seseorang meletakkan secangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya. Dika, teman lamanya yang bekerja di kafe, kini duduk di kursi di seberang meja."Kopimu sudah dingin, Ndi," katanya sambil mengamati Andi yang menatap kosong ke luar jendela.

Andi tersenyum tipis, tanpa menoleh, "Terima kasih, Dik... Kamu tahu tidak, terkadang aku heran sama diriku sendiri. Kenapa aku masih seperti ini?"

Dika menatapnya prihatin, "Masih soal Zia?"

Andi mengangguk pelan. "Zia adalah satu-satunya orang yang membuat aku percaya kalau cinta itu nyata, Dik. Dia membuat aku merasa diterima sepenuhnya. Bukan cuma sekadar teman atau pacar, dia... buat aku, dia sudah seperti keluarga."

Dika mengangguk, membiarkan Andi melanjutkannya.

"Tapi, kamu tahu yang paling sakit? Dia pergi tanpa alasan yang jelas. Aku masih ingat... malam itu, dia cuma bilang, ‘Kita sudah tak bisa bareng lagi, Ndi. Aku tak bisa kasih kamu yang kamu mau.’ Cuma begitu saja. Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan." Suara Andi terdengar berat, suaranya bergetar sedikit.

Dika menatap Andi dengan penuh simpati. "Aku ingat waktu kamu cerita soal dia. Kamu semangat betul, Ndi. Aku tahu, ini nggak gampang buat mu."

Andi tertawa kecil, getir. "Aku pikir, mungkin aku yang salah. Mungkin aku yang terlalu berusaha keras, terlalu berharap dia bisa melihat aku lebih dari sekadar temen atau pasangan. Aku kira... kalau aku kasih semua, dia bakal bertahan. Tapi, ternyata... Tidak semua perasaan bisa dipaksakan, ya?"

Dika menghela napas panjang, menepuk bahu Andi. "Kadang... orang yang paling kita cintai justru yang paling sulit kita miliki, Ndi. Kamu sudah berusaha. Mungkin sekarang, kamu perlu kasih kesempatan buat dirimu untuk sembuh."

Andi menatap cangkirnya, tanpa suara. Hujan di luar seakan menari mengikuti irama kesedihannya."Aku tidak tahu kapan aku bisa benar-benar lepas dari bayangan Zia."

Dika menatapnya dengan serius. "Kamu tahu kan, Ndi, tak semua orang bisa memberi hati mereka sepenuhnya, bahkan buat orang yang paling mereka sayang. Mungkin Zia... dia punya alasan sendiri. Mungkin bukan kamu yang kurang, mungkin dia yang tak siap."

Andi menelan ludah, matanya sedikit berair. "Aku selalu berharap, suatu hari dia bakal kembali. Tapi, aku tahu, itu hanya ilusi."

Dika tersenyum kecil, mencoba menenangkan temannya. "Ndi, kamu harus bangkit. Aku yakin, di luar sana masih banyak orang yang bakal menghargai kamu. Jangan biarkan bayangan Zia terus mengejar hidupmu."

Andi menatap Dika dengan tatapan penuh kepahitan. "Aku tak tahu, Dik. Rasanya belum siap, tapi ... mungkin kamu benar. Mungkin, sudah waktunya aku harus mencoba membuka hatiku lagi."

Setelah beberapa saat, Andi bangkit dari kursinya, menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Kemudian dia berjalan keluar menembus hujan dan membiarkan air hujan membasahi tubuhnya, berharap itu bisa menghapus sebagian luka yang disimpannya. Mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat nanti, ia yakin hatinya akan sembuh.

Andi terus berjalan di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Tubuhnya telah basah kuyup, dingin terasa menusuk kulit. Namun, Andi merasakan dinginnya masih tak seberapa dibandingkan dinginnya luka di hatinya yang akhirnya membawa ingatannya kembali ke malam ketika semuanya berubah. Malam saat Zia berdiri di depannya dengan sorot mata yang redup, di bawah langit mendung yang seakan ikut menahan tangis.

Andi bisa merasakan sesuatu yang tak biasa dari tatapan Zia yang tampak bimbang. Andi menggenggam tangan Zia dengan lembut, berusaha memberi ketenangan pada perasaannya. "Zi, ada apa? Kamu keliatan murung belakangan ini," tanyanya hati-hati.

=============== Dia Yang Sudah Lama Tertidur ===============

Zia menunduk, menatap tangannya yang tergenggam erat oleh Andi. Sejenak dia terdiam, sebelum akhirnya menarik napas panjang. “Andi… aku…” suaranya terdengar berat, seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan namun tertahan.

Andi menunggu dengan sabar, meskipun perasaannya mulai tidak enak. “Kamu bisa bilang apa saja ke aku, Zi. Kita sudah melewati banyak hal bersama, kan?” ia berusaha tersenyum, namun hatinya mulai berdegup kencang.

Zia akhirnya menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Andi… aku rasa… aku tak bisa terus bersama kamu lagi.”

Kata-kata Zia terasa seperti petir yang menyambar di siang bolong. Andi terdiam, wajahnya berubah kaku. "Apa maksudmu, Zi?" tanyanya pelan, mencoba memahami arti kata-kata itu.

“Aku pikir… kita sudah berbeda jalan. Kamu punya impian besar, kamu punya masa depan yang kamu kejar, sementara aku…” Zia mengalihkan pandangannya, menatap jauh ke arah langit yang semakin menghitam , “Aku belum siap buat itu semua, Ndi. Aku takut tak bisa mengikuti kamu.”

Andi menggenggam tangan Zia lebih erat, seakan takut kehilangan. “Zia, aku tidak pernah meminta kamu berubah. Aku tak peduli seberapa besar atau kecil impian kita. Yang aku butuh cuma kamu, Zia. Cuma kamu.”

Zia menggelengkan kepalanya perlahan. “Kamu bisa bicara begitu sekarang, Ndi. Tapi suatu hari nanti… kamu pasti bakal kecewa sama aku. Aku tak mau kamu jadi korban dari ketidakmampuanku untuk menjalani hubungan yang lebih serius.”

Andi merasakan hatinya hancur mendengar kata-kata itu, tetapi dia tak mau menyerah begitu saja. “Zia, tolong… jangan bicara seperti itu. Aku serius sama kamu, aku tak peduli soal rencana atau masa depan, aku cuma mau kamu tetap di sampingku.”

Zia tersenyum pahit, air matanya jatuh perlahan. “Justru itu yang membuat aku takut, Ndi. Aku tak mau jadi beban buat kamu. Aku tak mau kamu berhenti bermimpi hanya karena harus menunggu aku siap.”

Andi tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya sudah hancur, tetapi ia tahu Zia benar-benar serius. Suara Zia penuh kepedihan, seolah dia juga terluka dengan keputusannya sendiri.

Akhirnya, Zia melepaskan genggaman tangan Andi. “Aku harap kamu bisa menemukan orang yang bisa mengerti kamu, yang bisa dukung kamu dengan semua yang kamu punya, Ndi. Maaf… aku tak bisa jadi orang itu. Tapi, aku akan selalu mendukungmu dari jauh” Zia tersenyum lemah, lalu perlahan-lahan berjalan meninggalkan Andi yang hanya bisa terdiam melepas kepergiannya.

Andi menatap rintik hujan yang terus membasahi wajahnya. Dinginnya air hujan seakan membasuh jiwanya yang luka. Ia teringat kata-kata Zia, "Aku harap kamu bisa menemukan orang yang bisa mengerti kamu." Andi tersenyum pahit. Mungkin Zia benar. Mungkin sudah waktunya ia membuka lembaran baru. Ia mengangkat wajahnya ke langit, membiarkan rintik hujan terus menyirami wajahnya. "Terima kasih, Zia," gumamnya lirih. "Kau telah mengajarkanku banyak hal."




Tamat

=============== Pertengkaran Di Sore Hari ===============

Komentar

  1. memang susah melupakan orang yang kita sukai, apalagi orang itu yang dapat merubah hidup kita jadi lebih baik, butuh waktu lama.. sabar ya ndi 😁

    BalasHapus
  2. Aku pikir... Kita sudah berbeda jalan. Kamu punya impian besar yakni mencari 7 bola dragon ball untuk menghadapi raja iblis Picolo. Aku takut tidak bisa mengikuti kamu Andi.😭😭😭

    Benar kata Dika, Andi harus buka hati untuk cari wanita lain yang bisa menemaninya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kira-kira carinya di mana ya, biar bisa ketemu yang bisa menemani? Ada saran?

      Hapus
  3. Alur cerita nya maju mundur ya, tapi karena bagus jadi ngga masalah.

    Coba nulis di wattpad mas, siapa tahu nanti ada yang ramai dan jadi viral dan dibuatkan film seperti Kisah untuk Geri atau Teluk Alaska.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah kira-kira.

      Waduh kalau nulis di Wattpad saya nyerah separuh, tulisan saya masih kalau balau.

      Hapus
  4. wah kalau terbiasa nulis cerpen emang cepet banget bisa nuangkannya ya. Baru kemaren liat komen komenan temen temen di kolom komentar, kirain becandaan doang...eh besokannya dah langsung jadi cerpennya. Memang temen temen alumnus blogger mwb nih pinter pinter nulis cerpen ya...hahahhaha...Kalau aku nulis cerpen itu pasti lama mikir di nyusun diksinya, bolak balik buka kamus, pokoknya lama banget, tapi senang karena bisa berkarya. senajan masih newbie...makanya sekarang dah ga nulis cerpen lagi di blog. Senang nulisnya pas masih sekolah aja dulu...Karena nulisnya enak... nulis apa yang ada dalam kepala, tapi ya itu pokoknya lama di nyusun diksinya, kedengeran enak ga pas dibacanya. Tapi kalau masher en temen temen lain mah cepetan aja mikirnya ya...baru ngomong ide di kolom komen sambil becandaan, dah jadi besokannya, padahal bikin cerpen itu susah bagi pemula sepertiku wkwkwk..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngga juga, itu bikinnya lama, menghabiskan beberapa piring nasi beserta lauk dan juga minumannya.

      Kalau kata teman saya, kalau mau nulis, nulis aja jangan pikirin gaya bahasanya atau diksinya nanti kalau udah jadi baru dibaca ulang dan diedit lagi.

      Hapus
  5. Sedih di tinggal kekasih selingkuh ❎
    Sedih di tinggal kekasih menjauh ✅

    BalasHapus
    Balasan
    1. di blogku komenya juga kayak gini :D

      Hapus
    2. Di blogku juga komennya kayak gini. 🤣

      Hapus
    3. Sepertinya di tiap blog dia komentar seperti itu.

      Hapus
  6. Wah...saya kira Zia memang berbeda, sama seperti perkiraan Andi.ternyata Zia pergi juga ujung-ujungnya..setiap perjumpaan pasti ada perpisahan kan....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seperti lirik lagu ya mbak.

      Sebelum kau mengucapkan
      kata - kata perpisahan
      Lebih baik ku hindari
      dari pada bertambah perih

      Tak kuasa hati ini
      menghadapi kenyataan
      lebih baik ku berlari
      walau tiada arah tujuan

      Ayo tebak penyanyi nya siapa.😁

      Hapus
    2. Berjumpa untuk berpisah, begitulah kehidupan.

      Gampang, Mas, tinggal masukkan liriknya ke pencarian akan ketemu siapa penyanyinya..hihihi

      Hapus
  7. Zia kini sudah sukses setelah pisah dengan Andi, dia buka bengkel dan pencucian motor namanya Zia Motor lokasi di Kota Subang :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang di jalan Arief Rahman Hakim, depan Perum Jasa Tirta II itu kah?

      Hapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Sepenggal Kisah Dunia Maya (#3) - Cerbung

Rindu Yang Tak Terjawab - Cerpen

Ancaman Yang Bikin Tersenyum - Cerpen

Sepenggal Kisah Dunia Maya (#2) - Cerbung