Di Balik Romantisme Yang Hilang - Cerpen

Di Balik Romantisme Yang Hilang - Cerpen




di balik romantisme yang hilang - cerpen


Matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi di Jakarta, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu yang lembut. Di sudut sebuah kafe kecil bernama Libra, yang didekorasi dengan rak buku, lukisan cat minyak, dan lampu gantung yang memancarkan cahaya keperak-perakan, empat kursi diatur melingkar mengelilingi meja bundar. Aroma kopi dan kue yang baru dipanggang bercampur di udara, menambah kehangatan suasana. Di tempat ini, takdir mempertemukan empat jiwa yang berbeda, namun terhubung oleh kata dan rasa. Suasana hangat kafe itu menjadi saksi bisu pertemuan empat orang yang tak saling kenal sebelumnya.

Erina, seorang wanita muda dengan tatapan lembut dan senyum yang menenangkan, telah duduk lebih awal. Dia mengenakan gaun putih yang halus. Sambil menyeruput kopi hitam, Erina memperhatikan goresan tinta di halaman-halaman buku yang sedang dibacanya. Alisnya sedikit berkerut, bibirnya bergerak pelan seolah mengucapkan kembali kalimat-kalimat yang baru saja dibacanya. Bagi Erina, setiap kata adalah lukisan jiwa, dan ia percaya bahwa setiap kata mampu mencerminkan keindahan sekaligus kepedihan kehidupan.

Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka. Fira, gadis muda dengan rambut hitam panjang yang tergerai bebas dan mata yang menyimpan sejuta cerita, tampak berjalan dengan langkah pasti, namun tersirat kerapuhan di balik langkahnya. Fira mencari tempat duduk yang tenang. Tanpa disangka, matanya tertuju pada meja yang ditempati Erina. Ia tersenyum ramah, matanya menatap kursi kosong di meja Erina sebelum bertanya, "Maaf, apakah kursi ini tidak ada yang duduk?"

Erina mendongak, membalas tersenyum hangat, "Ya," jawabnya singkat.

"Bolehkah aku duduk di sini? Tempat ini begitu mengundang. Ada sesuatu yang menarik di sini "

Erina menatap dengan penuh kehangatan, "Tentu saja, silakan. Aku percaya setiap jiwa yang datang ke sini punya cerita yang ingin dibagikan," jawabnya.

Fira duduk. "Terima kasih, namaku Fira," katanya sambil mengulurkan tangan.

Erina mengangguk kecil, "Erina," jawabnya, menjabat tangan Fira dengan lembut.

Sementara itu, di meja lain yang agak jauh, Huda dan Genta baru saja mengambil tempat duduk. Huda, seorang penulis muda yang dulunya terkenal dengan karya-karya romantis, memiliki tatapan mendalam dan sedikit melankolis. Ia mengenakan pakaian santai. Sedangkan Genta, sahabat karib Huda, adalah seorang pemuda yang lembut dan penuh empati. Dengan senyum tipis dan tatapan penuh perhatian.

Setelah beberapa saat, ketika Erina dan Fira mulai larut dalam percakapan, Huda dan Genta datang menghampiri. Genta membuka percakapan dengan suara lembut, "Selamat malam, apakah kami boleh bergabung? Suasana di sini begitu hangat untuk berbagi cerita."

Erina mengangguk sambil tersenyum, "Tentu, kami selalu senang bertemu dengan jiwa-jiwa yang haus akan cerita. Namaku Erina, ini temanku, Fira."

"Aku Genta. Dan ini sahabatku, Huda."

"Selamat datang di Libra," kata Fira sambil tersenyum ramah.

Huda, yang sedari tadi terdiam, akhirnya berbicara. "Aku selalu percaya bahwa pertemuan seperti ini bukanlah kebetulan," ujar Huda dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, "Pasti ada alasan mengapa kita semua berkumpul di sini malam ini."


"Mungkin takdir," sahut Erina, "Atau mungkin juga keajaiban kata-kata yang membawa kita bersama."

Malam itu, keempatnya pun bercakap-cakap di antara aroma kopi dan kue serta denting piring keramik. Topik yang mengemuka adalah seni bercerita. Huda, yang pernah menjadi ikon cerita romantis, berkata dengan suara lirih, "Dulu, aku menulis kisah cinta yang manis, di mana setiap akhir selalu berakhir bahagia. Namun, seiring waktu, aku merasa bahwa kenyataan tak seindah cerita dongeng. Aku ingin menulis tentang cinta yang nyata, yang punya sisi indah dan pahit."

Fira, yang matanya berbinar mendengar kata-kata Huda, menyahut, "Aku selalu percaya bahwa keindahan cinta terletak pada ketidaksempurnaannya. Setiap luka, setiap patah hati, mengajarkan kita sesuatu yang tak bisa diajarkan oleh kebahagiaan semu."

Genta menimpali, "Aku pun sering berpikir, mengapa kita harus selalu mencari akhir yang manis? Bukankah dalam setiap kisah ada keindahan pada perjalanan itu sendiri? Bahkan jika akhirnya penuh luka, kita tetap menemukan makna yang mendalam."

Erina menatap Fira, Huda dan Genta dan berkata, "Sebuah karya sastra seharusnya mencerminkan realita. Bila tokoh-tokoh dalam cerita selalu sempurna, bagaimana bisa kita menemukan cermin diri kita? Kadang, kekurangan itulah yang membuat cerita terasa hidup dan menyentuh."

Sambil menyeruput kopinya, Huda menambahkan, "Aku sengaja mengubah karakter-karakternya. Dulu, mereka terlalu ideal, terlalu 'lovable'. Tapi kini, aku ingin menunjukkan bahwa kita semua punya kekurangan. Seorang pahlawan dalam cerita bukan hanya tentang keberanian dan kebaikan, tapi juga tentang keraguan dan kegagalan."

Fira menceritakan pengalamannya. "Aku pernah menulis puisi tentang cinta yang hilang. Ada satu bait, 'Dalam setiap senja, ada bayang-bayang rindu yang tak terobati.' Aku menulisnya ketika aku merasa bahwa cinta tak selalu harus indah. Kadang, keindahan itu justru muncul dari keretakan-keretakan yang membuat hati kita rapuh."

Huda mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Itulah yang membuat puisi dan cerita begitu hidup. Setiap kata adalah jejak perjalanan hati. Aku pun pernah merasakan hal serupa, terutama ketika aku mencoba menulis tentang realita, di mana setiap cerita tak selalu berakhir bahagia. Aku tak ingin pembaca merasa terjebak dalam fantasi manis, melainkan menemukan keberanian untuk menghadapi kenyataan."

Genta menambahkan, "Bahkan dalam kegetiran, ada pelajaran berharga. Aku rasa, kita semua butuh mengakui bahwa kehidupan itu penuh kontradiksi, keindahan dan penderitaan berjalan berdampingan. Tanpa kegelapan, cahaya tak akan pernah berarti."

Erina yang selama ini diam mendengarkan, akhirnya berbicara, "Mungkin kita semua adalah cermin bagi satu sama lain. Aku selalu merasa bahwa sastra, sama seperti kehidupan, harus menampilkan sisi-sisi yang autentik. Kita tak perlu selalu mencari pelarian dalam kebahagiaan semu. Justru dari keterbukaan terhadap luka, kita menemukan kekuatan sejati."

Percakapan itu mengalir lancar, seakan malam telah membuka ruang bagi keempat jiwa untuk saling mengungkapkan perasaannya akan kerinduan kejujuran dalam sebuah karya. Mereka berbincang tentang karakter-karakter fiktif yang pernah mereka baca dan bagaimana setiap cerita menyimpan pesan tersendiri.

Percakapan mereka berlanjut dengan kehangatan dan kedalaman, membahas topik demi topik, mulai dari kisah cinta yang gagal, perjuangan dalam mengejar impian, hingga keraguan dalam menulis karya yang penuh makna. Suasana itu seperti sebuah drama, di mana setiap adegan menggambarkan perjalanan hidup yang penuh liku.


Suasana di kafe Libra semakin ramai. Fira melirik ke luar jendela yang menampakkan kota yang gemerlap oleh lampu-lampu jalan. Fira, yang ternyata pembaca setia cerita Huda, berkata pelan, "Huda, aku pernah membaca karya lamamu yang begitu romantis. Namun, sejak kamu mulai mengubah gaya penulisanmu, aku merasa seolah kamu membuka tabir kehidupan yang sebenarnya. Apakah kamu tidak takut akan kehilangan pembaca yang mengharapkan keajaiban cinta?"

Huda tersenyum getir, "Takut? Tentu, Fira. Aku rasa semua penulis pernah merasa takut kehilangan pembacanya. Namun, aku percaya jika aku menulis dengan tulus, pembaca yang tepat akan tetap datang. Mungkin bukan mereka yang mencari pelarian dalam dongeng, tapi mereka yang butuh teman di tengah kenyataan."

Genta pun menimpali, "Aku melihat perubahan itu sebagai bentuk keberanian. Kita semua berani mencintai, walaupun tahu bahwa cinta tidak selalu indah, karena pada hakikatnya, cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan baik pada diri sendiri maupun orang lain."

Erina, yang mendengarkan dengan mata berbinar, berkata, "Itulah yang kucari dalam karya-karya terbaik. Tidak ada cerita yang sempurna, namun setiap cerita menyimpan kebenaran. Dan kebenaran itulah yang membuat kita merasa hidup."

Sejenak, keempatnya terdiam, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam jiwa. Di antara deru angin malam dan cahaya lampu kafe, mereka merasakan keheningan yang menyelimuti hati mereka, menyadari betapa rapuh dan indahnya eksistensi manusia. Namun, kehangatan percakapan mereka malam itu menyisakan pertanyaan besar dalam benak Huda. Mungkinkah ia benar-benar mampu tetap menulis tentang cinta yang sebenarnya, tanpa kepalsuan?

Keraguan menyelimutinya. Ia teringat pada postingan-postingan di blognya yang sudah lama menjadi ciri khasnya, kisah-kisah cinta yang indah dan sempurna, di mana setiap akhir selalu bahagia. Namun, kini Huda menyadari bahwa kisah-kisah itu hanyalah ilusi, tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Cinta tidak selalu indah, ada kalanya getir, penuh luka dan kehilangan.

Malam itu, Huda pulang dengan membawa beban pikiran yang berat. Ia duduk di depan laptopnya, mencoba menulis, namun kata-kata terasa sulit untuk disusun. Ia ingin menulis cinta yang realistis, pasangan yang tidak sempurna namun saling mencintai, harapan yang kadang pupus, dan kehilangan yang menyakitkan.

Huda menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia memutuskan untuk menulis, bukan demi menyenangkan pembaca, melainkan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.

Ia mulai menulis tentang seorang pria yang kehilangan kekasihnya, seorang wanita yang berjuang untuk menemukan cinta sejatinya, harapan yang tumbuh di tengah keputusasaan. Ia menulis dengan jujur, apa adanya, tanpa filter. 
Huda mencurahkan segala emosi dan pengalaman yang pernah ia rasakan, cinta yang pernah ia miliki, kehilangan yang pernah ia alami, harapan yang masih ia yakini.

Waktu berlalu begitu cepat. Huda tidak menyadari bahwa ia telah menulis hingga larut malam. Ia terus menulis, terhanyut dalam dunia kata-katanya sendiri. Ketika ia akhirnya berhenti, ia merasa lega, seolah-olah beban yang selama ini ia pikul telah terangkat dari pundaknya. Ia telah menulis tentang cinta yang sebenarnya, cinta yang tidak sempurna namun tetap indah, cinta yang berbalut kehilangan dan harapan.


Keesokan harinya, Huda membaca kembali tulisannya. Ia terpana dengan apa yang telah ia tulis. Tulisannya terasa begitu hidup, begitu nyata, begitu menyentuh. Ia menyadari bahwa ia telah berhasil keluar dari zona nyamannya, bahwa ia telah berani untuk menulis tentang cinta yang sebenarnya.

Huda memutuskan untuk memposting tulisannya di blognya. Ia tidak tahu apakah tulisannya akan diterima atau tidak, namun ia yakin bahwa ia telah melakukan yang terbaik. Ia telah menulis dengan jujur, dengan hati, dan dengan seluruh jiwa raganya.

Beberapa hari kemudian, Huda melihat komentar di blognya. Ia terharu, ternyata banyak pembaca yang menyukai tulisannya. Mereka tersentuh dengan kisah yang ia buat, mereka merasa terhubung dengan karakter-karakter yang ia ciptakan. Mereka mengatakan bahwa tulisannya telah membantu mereka untuk memahami arti cinta yang sebenarnya.

Huda merasa bahagia dan bersyukur. Ia telah menemukan jati dirinya sebagai seorang penulis. Ia telah menemukan jalannya untuk menulis tentang cinta yang nyata, cinta yang berbalut kehilangan dan harapan. Ia tidak lagi takut untuk menulis tentang kenyataan, karena ia tahu bahwa di balik setiap luka dan kehilangan, selalu ada harapan yang menunggu untuk ditemukan.

**********

Sebulan kemudian, kehidupan Huda berubah secara tak terduga. Ia bertemu dengan seorang wanita bernama Dinda di sebuah acara diskusi tentang literasi. Dinda adalah seorang wanita yang cerdas, mandiri, dan memiliki pandangan yang sama dengan Huda tentang cinta dan kehidupan. Dan yang tak disangka ternyata Dinda pembaca setia cerita-cerita pendek Huda. Mereka berdua terlibat dalam percakapan ringan. Percakapan mereka mengalir begitu alami, seakan mereka sudah lama mengenal satu sama lain.

"Aku suka dengan cerita-cerita pendek yang kamu tulis, Huda," kata Dinda dengan senyuman manis. "Cerita kamu sangat menyentuh hati dan membuat aku berpikir tentang arti cinta yang sebenarnya."

"Terima kasih, Dinda," jawab Huda dengan rendah hati. "Aku hanya ingin menulis tentang cinta yang nyata, bukan hanya mimpi-mimpi indah yang tidak mungkin terjadi."

"Aku setuju denganmu," kata Dinda. "Cinta tidak selalu indah, ada kalanya kita harus menghadapi kenyataan yang pahit. Tapi, di balik semua itu, aku percaya bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalannya."

"Aku juga percaya itu," kata Huda. "Meskipun kadang-kadang sulit untuk mempercayainya."

Pertemuan itu menjadi awal dari hubungan yang lebih dalam antara Huda dan Dinda. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang banyak hal, dari literasi hingga kehidupan pribadi. Huda merasa nyaman dan bahagia bersama Dinda. Ia merasa bahwa Dinda adalah orang yang tepat untuknya.

Suatu malam, Huda mengajak Dinda untuk makan malam di sebuah restoran yang romantis. Setelah makan malam, Huda mengajak Dinda untuk berjalan-jalan di taman kota. Mereka berdua duduk di sebuah bangku taman, menikmati keindahan malam.

"Dinda," kata Huda dengan gugup. "Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kamu."

"Ada apa, Huda?" tanya Dinda dengan penasaran.


"Aku... Aku jatuh cinta kepadamu, Dinda," kata Huda dengan jujur. "Aku tidak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama, tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu adalah orang yang sangat berarti bagiku."

Dinda terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. "Huda," kata Dinda dengan suara yang lembut. "Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Aku juga jatuh cinta kepadamu."

Huda tersenyum bahagia. Ia memegang tangan Dinda dan menciumnya dengan lembut. "Aku berjanji akan selalu ada di samping kamu, Dinda," kata Huda. "Aku akan selalu mencintai kamu, apapun yang terjadi."

"Aku juga berjanji akan selalu ada di samping kamu, Huda," kata Dinda. "Aku akan selalu mencintai kamu, apapun yang terjadi."

Hubungan Huda dan Dinda semakin erat dari hari ke hari. Mereka berdua saling mendukung dan saling menguatkan dalam menghadapi segala tantangan hidup. Huda merasa bahwa ia telah menemukan cinta sejatinya.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suatu hari, Dinda didiagnosis menderita penyakit parah. Huda sangat terpukul dengan kabar tersebut. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Dinda akan pergi meninggalkannya.

Huda selalu berada di sisi Dinda, menemaninya dalam menjalani pengobatan. Ia tidak ingin Dinda merasa sendirian, ia ingin Dinda tahu bahwa ia akan selalu ada untuknya, apapun yang terjadi.

"Dinda, jangan tinggalkan aku," kata Huda dengan suara yang bergetar. "Aku sangat mencintaimu."

"Huda," kata Dinda dengan lemah. "Aku juga sangat mencintaimu. Tapi, aku tidak bisa melawan penyakit ini. Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada di hatimu, meskipun aku sudah tidak ada di dunia ini."

"Tidak, Dinda," kata Huda. "Kamu harus bertahan. Aku akan melakukan apapun untukmu."

Dinda tersenyum lembut. "Huda, aku tahu kamu akan baik-baik saja. Kamu adalah orang yang kuat dan hebat. Aku percaya kamu akan menemukan kebahagiaanmu lagi."

Di tengah perjuangan Dinda melawan penyakitnya, Huda tetap menulis di blognya. Ia menulis tentang cinta yang ia rasakan untuk Dinda, tentang harapan yang masih ia yakini, tentang kehilangan yang mungkin akan ia hadapi. Tulisannya kali ini terasa lebih hidup, lebih nyata, lebih menyentuh. Ia tidak lagi menulis tentang cinta yang ideal, tetapi tentang cinta yang sebenarnya, cinta yang penuh dengan suka dan duka, cinta yang berbalut kehilangan dan harapan.

Beberapa minggu kemudian, Dinda meninggal dunia. Huda sangat sedih, ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya tanpa Dinda.

Waktu berlalu, Huda mencoba untuk menerima kenyataan bahwa Dinda telah pergi. Ia mencoba untuk bangkit dari keterpurukan dan melanjutkan hidupnya. Ia kembali menulis cerita-cerita pendek di blognya. Ia menulis tentang Dinda, tentang cinta mereka, tentang kehilangan yang ia rasakan. Ia menulis dengan jujur, dengan hati, dan dengan seluruh jiwa raganya. Tulisannya kali ini menjadi sangat populer, banyak pembaca yang tersentuh dengan kisah cinta Huda dan Dinda. Mereka merasa terhubung dengan apa yang Huda rasakan, mereka terinspirasi dengan ketegaran dan kesetiaan Huda kepada Dinda.

Huda menyadari bahwa tulisannya tidak hanya menjadi tempat untuk ia mencurahkan perasaannya, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Ia memutuskan untuk terus menulis, untuk berbagi kisah cintanya dengan Dinda, untuk memberikan harapan kepada orang-orang yang sedang mengalami kehilangan.

Huda harus menerima kenyataan, bahwa cinta tidak selamanya berakhir bahagia, ada kalanya cinta harus berhadapan dengan kehilangan. Namun, ia juga belajar bahwa cinta yang tulus akan selalu abadi, akan selalu hidup dalam hati orang-orang yang pernah merasakannya.



Tamat

Komentar

  1. cinta itu bermacam-macam rasanya, kadang manis, kadang pahit, kadang juga asem :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan lupa, kadang juga seger, Nif..wkwkwk

      Hapus
  2. Jadi ingat kisah cinta Ainun-Habibie, betapa rapuhnya pak Habibie ketika bu Ainun berpulang. Rasanya belum ada yang kisahnya seperti mereka ya

    BalasHapus
  3. Memang begitulah, cinta tidak selalu indah
    Wah saya dulu sempat punya pacar yang punya penyakit parah, dan katanya tidak panjang umur. Tapi saat ini dia masih sehat saja.

    BalasHapus
  4. cinta itu memang rumit, bahkan lbh rumit dari pelajaran sains, :D

    BalasHapus
  5. Kalau kita mencintai seseorang, berarti kita harus siap menerima segala konsekuensi nya, katanya sih:D

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Sepenggal Kisah Dunia Maya (#2) - Cerbung

Hati Yang Lelah Menanti - Cerpen

Bukan Cinta Yang Sama (#3) - Cerbung

Bukan Cinta Yang Sama (#2) - Cerbung

Misteri Di Balik Senja (#1) - Cerbung