Misteri Di Balik Senja (#1) - Cerbung
Misteri Di Balik Senja (#1) - Cerbung

Lintang menghela napas panjang, memandangi layar laptopnya yang kosong. Inspirasi seakan lenyap entah ke mana. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, merasa frustrasi dengan kebuntuan yang tak kunjung pergi. Kopi di cangkir di sampingnya sudah habis, begitu pula semangatnya untuk menyelesaikan naskah ceritanya.
"Gila, sudah tiga jam di sini, hasilnya nol!" Gumamnya pelan, menutup laptop dengan kasar.
Kafe di pinggiran kota itu mulai sepi. Hanya tinggal beberapa pengunjung yang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Lintang melirik jam di pergelangan tangannya, hampir tengah malam. Ia meraih jaketnya, membayar di kasir, lalu berjalan keluar. Udara malam terasa dingin menyergap begitu ia melangkah ke parkiran.
Mesin mobilnya berderu pelan saat ia melajukannya menyusuri jalan yang sepi.
Lampu jalan hanya menyala sebagian, menciptakan bayangan panjang di permukaan aspal. Hanya ada suara gesekan ban dan desiran angin malam yang menemani.
Di perempatan sebelum belokan Lintang mengurangi kecepatan laju mobilnya. Matanya tiba-tiba menangkap sosok di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip. Seorang gadis berdiri sendirian dengan kepala sedikit tertunduk. Gaun putih yang dikenakannya melambai pelan tertiup angin malam. Alisnya berkerut. "Siapa yang berdiri di sana tengah malam begini?"
Ia melambatkan laju mobilnya, lalu menepi. Rasa penasaran bercampur iba mendorongnya membuka kaca jendela.
“Permisi, apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya hati-hati.
Gadis itu menoleh perlahan. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya lampu yang berkedip-kedip, tapi ada sesuatu yang lembut dan menenangkan dalam tatapannya.
"Aku... aku tersesat," jawab gadis itu lirih.
Lintang terdiam sejenak. Ada kegelisahan di suaranya, namun ada juga keanehan yang sulit dijelaskan. Ia melirik sekeliling, jalanan kosong, tak ada rumah di dekat situ.
"Tersesat? Kamu dari mana?" tanyanya lagi.
Gadis itu menghela napas pelan. "Aku hanya ingin pulang. Aku tinggal di rumah besar di ujung jalan sana. Tapi, aku tidak tahu kenapa rasanya jauh sekali malam ini."
Lintang terdiam sejenak, berusaha mengingat. Ia memang pernah melihat rumah besar yang dimaksud, meskipun selama ini tampak kosong dan tak terawat.
"Kamu mau saya antar pulang?" ucapnya menawarkan diri.
Gadis itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Terima kasih."
Lintang membuka pintu mobilnya. Begitu gadis itu masuk, aroma samar bunga melati memenuhi udara. Lintang merasakan bulu kuduknya meremang sesaat, tapi ia mengabaikannya.
"Nama saya Lintang," katanya sambil kembali menjalankan mobil.
"Aku Galuh,” jawab gadis itu dengan suara pelan.
"Nama yang indah. Kamu sering lewat sini? Saya cukup sering pulang lewat jalan ini, tapi rasanya baru kali ini saya melihatmu."
Galuh tersenyum tipis. "Mungkin kita memang baru ditakdirkan bertemu malam ini."
Baca juga: Apakah Memang Dia?
Jawaban itu membuat Lintang terdiam. Ada sesuatu di balik kata-katanya yang sulit dijelaskan, entah kenapa terasa aneh, tapi di saat yang sama juga memikat.
Selama perjalanan, Lintang mencoba berbincang untuk mencairkan suasana.
"Kamu tadi bilang tinggal di rumah besar di ujung jalan sana. Seingat saya, rumah itu sepertinya sudah lama kosong," ucap Lintang, setengah bertanya.
Galuh menoleh perlahan, tatapannya menerawang. "Dulu ada taman bunga di samping rumah itu. Aku suka bermain di sana waktu kecil. Tapi, sekarang tamannya sudah hilang. Waktu memang suka mengambil hal-hal yang kita sayangi, ya?" suaranya terdengar seperti gumaman sedih.
“Taman bunga?” Lintang mengernyit. Ia tidak ingat ada taman di sekitar rumah besar yang dimaksud.
"Apa kamu sering merasa rindu pada sesuatu yang sudah hilang?"
Pertanyaan itu membuat Lintang terdiam sejenak. "Kadang-kadang," jawabnya akhirnya. "Saya sering merindukan masa di mana saya menulis hanya karena saya suka. Sekarang... rasanya semua jadi beban."
Galuh menoleh, menatapnya dalam-dalam. "Kamu penulis?"
"Iya, saya penulis. Setidaknya, dulu begitu. Sekarang saya seperti kehilangan bahkan tidak tahu apa saya masih menikmatinya," Lintang mengakui, disertai tawa kecil yang hambar.
"Menulis adalah cara untuk mengingat, bukan?" kata Galuh pelan. "Mungkin kamu hanya perlu menemukan sesuatu atau seseorang yang layak diingat."
Lintang memandangnya sekilas, merasa ada makna lebih dalam di balik kata-katanya. Kata-kata itu, meskipun sederhana, menusuk jauh ke dalam benaknya.
"Dulu, aku juga suka menulis di buku harianku," Galuh melanjutkan. "Ada banyak hal yang ingin kusampaikan, tapi tidak ada yang benar-benar mendengarkan."
Ada keheningan singkat di antara mereka. Lintang merasa seolah mereka berdua berbicara tentang hal-hal yang berbeda, tapi di saat yang sama, terasa sangat mirip.
Mobil melambat saat mendekati rumah besar itu, lalu berhenti di depan gerbang besi yang berkarat. Rumah besar di baliknya tampak sunyi, jendela-jendelanya gelap, hampir seperti tak berpenghuni.
"Ini rumahmu?" tanya Lintang, sedikit ragu lalu menatap bangunan besar yang diselimuti bayang-bayang gelap.
Galuh mengangguk pelan. “Terima kasih sudah mengantarku. Aku senang bisa mengobrol denganmu."
"Saya juga" Lintang tersenyum kecil. "Saya berharap kita bisa bertemu dan mengobrol lagi."
Galuh tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lembut sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil. Lintang memperhatikan gadis itu melangkah perlahan menuju gerbang, lalu menghilang di balik bayang-bayang halaman yang gelap.
Saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah besar itu, pikiran Lintang dipenuhi pertanyaan. Ada sesuatu yang terasa ganjil dari pertemuan tadi, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Namun, ia mencoba mengabaikannya, mengira itu hanya kelelahan saja.
Baca juga: Bukan Cinta Yang Sama
Sesampainya di rumah, ia mematikan mesin mobil dan menghela napas panjang. Ketika menoleh ke kursi tempat Galuh tadi duduk, napasnya tercekat.
Di kursi itu, tergeletak sebuah sweater rajut berwarna jingga yang terlipat rapi. Sweater yang dikenakan Galuh sepanjang perjalanan
Lintang mengangkat sweater itu, merasakan teksturnya yang lembut di ujung jarinya. Ia mengernyit, rasa dingin merambat di tengkuknya. Bagaimana mungkin galuh meninggalkan sweater itu tanpa ia sadari? Angin malam berembus lembut, membawa aroma samar bunga melati yang tetap terasa, seolah ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
**********
Pagi di rumah Lintang terasa lebih sunyi dari biasanya. Sinar matahari menerobos jendela kamarnya, namun pikiran Lintang masih terikat pada pertemuan aneh tadi malam. Sweater rajut berwarna jingga masih terlipat di atas meja, menjadi pengingat bahwa semua itu bukan mimpi.
Lintang menghirup kopi pahit di tangannya sambil memandangi sweater itu. Ada sesuatu tentang Galuh yang tak bisa ia lupakan, cara bicaranya yang lembut, senyumnya yang samar, dan terutama perasaan ganjil yang menyelimutinya sejak pertemuan di bawah lampu jalan.
"Saya harus mengembalikannya," gumamnya, mengambil sweater itu dan memasukkannya ke dalam tas.
Lintang mengambil kunci mobil dan melajukan kendaraannya menuju rumah besar di ujung jalan. Jalanan pagi itu lengang, sepi seperti semalam, seolah waktu di kawasan itu bergerak lebih lambat dari tempat lain.
Ketika mobilnya berhenti di depan gerbang yang berkarat, Lintang sempat ragu. Rumah itu terlihat lebih tua di bawah sinar matahari, catnya memudar, jendelanya tertutup rapat, dan tanaman liar menjalar di sepanjang pagar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Dengan hati-hati, ia mendorong gerbang yang terbuka dengan suara berdecit nyaring. Setiap langkahnya di jalan setapak terasa menggema di udara.
Lintang mengetuk pintu kayu yang sudah terlihat usang. Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki pelan terdengar dari dalam. Pintu terbuka, seorang wanita tua dengan rambut putih yang disanggul rapi terlihat di ambang pintu. Wajahnya yang keriput memancarkan kesedihan.
"Maaf, Bu." Lintang membuka pembicaraan. "Tadi malam saya mengantar seorang gadis bernama Galuh ke rumah ini. Dia meninggalkan sweater ini di mobil saya."
Wanita itu menatapnya lama, matanya membesar seolah tak percaya. Tiba-tiba, napasnya memburu dan tangannya bergetar ketika ia menerima sweater tersebut.
"Galuh?" katanya pelan, hampir tak terdengar.
"Iya, Bu. Dia bilang ini rumahnya," jelas Lintang. "Dia baik-baik saja, kan?"
Wanita itu memejamkan mata sesaat sebelum air mata mengalir di pipinya yang renta. Suaranya bergetar saat berbicara.
"Galuh... adalah putri Ibu," katanya lirih. "Tapi... dia sudah meninggal tiga tahun lalu."
Darah Lintang seperti membeku di pembuluhnya. "Apa… maksud Ibu?"
Wanita itu, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Dyah melangkah ke samping. "Masuklah, Ibu akan menjelaskannya."
Baca juga: Langkah Pertama, Memaafkan
Lintang melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan bercampur aduk. Interior rumah itu terasa hangat, meski dipenuhi perabotan tua. Di dinding ruang tamu, deretan foto keluarga tergantung rapi. Pada salah satu foto, jantung Lintang nyaris berhenti berdetak.
Gadis dalam foto itu adalah Galuh. Wajah yang sama, senyum yang sama, dan sweater rajut berwarna jingga yang juga sama.
"Bagaimana mungkin?" gumamnya.
Ibu Dyah mengajak Lintang duduk di kursi tua di sudut ruangan, ia menghapus air matanya dengan sapu tangan lusuh. "Tiga tahun lalu, Galuh mengalami kecelakaan di jalan dekat perempatan itu. Dia baru pulang dari perpustakaan. Malam itu hujan deras, dan mobil yang menabraknya langsung kabur."
Lintang tercekat. Jalan itu, tempat ia bertemu Galuh. "Kenapa saya bisa bertemu dengannya, Bu?" tanyanya pelan.
Ibu Dyah menggeleng pelan. "Ibu tidak tahu. Tapi, sejak dia pergi, Ibu sering merasa dia belum benar-benar meninggalkan tempat ini. Kadang Ibu mendengar suara langkah kakinya di lorong. Kadang Ibu mencium aroma bunga melati, bunga kesukaannya."
Aroma melati. Lintang merinding. Itulah yang ia cium sepanjang perjalanan mengantar Galuh.
Perlahan Ibu Dyah bangkit dan mengambil sebuah buku dari rak di dalam kamar. Sampulnya sudah agak lusuh, tapi masih terawat dengan baik.
"Ini buku harian milik Galuh," katanya, menyerahkan buku itu kepada Lintang. "Ibu rasa... mungkin ada alasan mengapa kamu bisa bertemu dengannya."
Lintang menerima buku itu dengan tangan bergetar. Ada rasa penasaran yang membuncah di dadanya, bercampur rasa takut yang tak bisa ia jelaskan.
"Terima kasih, Bu," ujarnya sopan. "Saya akan membacanya dan mencari tahu."
Sebelum Lintang pergi, tatapan Ibu Dyah menangkap sesuatu di balik wajah tenang Lintang. "Nak, jika kamu bertemu Galuh lagi, tolong sampaikan bahwa Ibu merindukannya setiap hari."
Lintang mengangguk pelan, lalu melangkah keluar dari rumah itu dengan pikiran yang berputar-putar.
**********
Di kamarnya sore itu, Lintang duduk di depan meja kerja dengan buku harian Galuh di tangannya. Ia membuka halaman pertama dengan hati-hati.
"Tanggal 5 Januari: Hari ini aku menghabiskan waktu di taman bunga lagi. Rasanya tenang berada di sini. Kadang aku berharap ada seseorang yang bisa mengerti semua hal yang kusimpan di hati."
Halaman demi halaman, Lintang larut dalam tulisan-tulisan Galuh yang terasa begitu hidup. Ia bercerita tentang rasa kesepiannya di rumah besar, tentang kenangan masa kecil di taman yang kini telah menjadi lahan kosong, dan tentang impiannya menjadi penulis.
Namun, halaman terakhir membuat Lintang terpaku.
"Jika aku pergi, carilah aku di kala senja."
Kata-kata itu bergetar di benaknya, menorehkan tanda tanya yang semakin dalam. Apakah pertemuan mereka benar-benar kebetulan? Atau... apakah Galuh mencoba mengatakan sesuatu padanya?
"Jika aku pergi, carilah aku di kala senja."
Baca juga: Malam Terakhir Mereka
Kalimat itu terasa seperti petunjuk. Tapi, mencari apa? Atau... siapa? Dan kenapa harus di waktu senja?
Lintang menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk menelusuri buku harian itu lebih dalam, mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan sebelumnya. Tangannya membalik halaman-halaman dengan hati-hati. Tulisannya rapi, sedikit miring ke kanan, dengan coretan-coretan kecil di beberapa bagian, seolah Galuh sedang mengungkapkan isi hati yang tak pernah terucap.
Hingga sebuah paragraf menarik perhatiannya.
"Tanggal 18 Oktober: Aku kembali ke taman kecil di belakang rumah. Ada sesuatu di sana... sesuatu yang terasa seperti bagian dari diriku yang hilang. Aku berharap, suatu hari seseorang akan menemukannya."
Lintang mengernyit. Taman kecil di belakang rumah? Ibu Dyah tidak pernah menyebutkan apa pun tentang taman itu. Ia merasa ada sesuatu di sana, mungkin kebenaran yang Galuh tinggalkan.
Tanpa berpikir panjang, Lintang mengambil jaket, buku harian Galuh, dan kunci mobilnya.
Saat matahari sore mulai beranjak pergi, Lintang kembali berdiri di depan rumah besar milik Ibu Dyah. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyimpan rahasia yang menanti untuk diungkapkan.
Ia melangkah memasuki gerbang yang berkarat, namun kali ini tidak langsung menuju pintu utama. Sebagai gantinya, ia mengitari sisi rumah menuju halaman belakang.
Begitu ia tiba di sana, napasnya tercekat.
Taman kecil yang disebutkan di buku harian itu memang ada, tetapi telah lama dibiarkan terbengkalai. Rerumputan liar menjalar di mana-mana. Sisa-sisa jalur batu yang dulu mungkin membentuk lingkaran kini hampir tertutup semak belukar. Di sudut taman, sebuah bangku kayu berdiri rapuh di bawah pohon flamboyan yang menjulang.
Lintang berjalan perlahan, matanya meneliti setiap sudut taman, mencari sesuatu yang mungkin pernah disembunyikan Galuh. Langkahnya terhenti di dekat bangku kayu itu ketika ia melihat sesuatu yang aneh, tanah di bawah bangku itu tampak lebih gembur, seolah baru saja digali atau ditutupi kembali.
Rasa penasaran mendorongnya untuk berjongkok dan mengais tanah itu dengan tangannya. Beberapa saat kemudian, jarinya menyentuh sesuatu yang keras. Dengan hati-hati, ia menarik benda itu keluar, sebuah kotak kayu kecil.
Jantungnya berdegup cepat saat ia membuka kotak tersebut. Di dalamnya, ia menemukan seuntai kalung perak dengan liontin berbentuk hati dan selembar surat.
Dengan hati-hati, Lintang membuka lipatan surat itu dan mulai membacanya.
"Untuk siapa pun yang menemukan ini, aku meninggalkan sesuatu di sini karena aku tidak tahu apakah ada yang benar-benar peduli. Kadang, aku merasa seperti bayangan di rumah ini, terlihat tetapi tak pernah benar-benar ada. Jika kamu membaca ini, berarti aku tak lagi bisa menceritakan kisahku sendiri. Ada sesuatu di rumah ini... sesuatu yang menahanku. Aku ingin bebas, tetapi aku takut melupakan kenangan yang kusimpan di sini. Jika suatu hari ada seseorang yang cukup peduli untuk mencariku, carilah aku di waktu senja. Di waktu itulah, aku merasa paling nyata."
Tertanda, Galuh.
Baca juga: Pengakuan Yang Mengubah Segalanya
Lintang merasakan bulu kuduknya berdiri. Ada yang lebih dalam dari sekadar pertemuan aneh itu. Merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimutinya saat membaca surat itu, Lintang menyimpulkan bahwa, Galuh tidak hanya meninggalkan kenangan, ia mungkin terjebak di antara dunia yang hidup dan yang telah tiada.
Suara langkah pelan terdengar di belakangnya membuat Lintang menoleh cepat. Ibu Dyah berdiri di sana. "Apa yang kamu temukan?" tanyanya.
Lintang menyerahkan kotak dan surat itu. Ibu Dyah membacanya dalam diam, air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Ibu selalu tahu dia menyimpan sesuatu di sini…" ucapnya. "Tapi ibu terlalu takut untuk mencarinya."
Lintang menatap wanita itu dengan penuh simpati. "Apa Ibu pernah merasakan sesuatu yang aneh di kala senja?"
Ibu Dyah mengangguk pelan. "Setiap kali matahari hampir tenggelam, ibu merasa seperti dia ada di sini. Kadang-kadang, ibu mendengar suaranya memanggil dari taman ini… tetapi saat ibu datang, tidak ada siapa pun."
Lintang memegang buku harian di tangannya. "Mungkin dia mencoba memberitahu kita sesuatu, Bu. Saya rasa, Galuh belum benar-benar pergi."
Ibu Dyah menatap Lintang, rasa harapan bercampur ketakutan di matanya. "Apa yang harus kita lakukan?"
Lintang menatap langit yang mulai berubah gelap. Hatinya mengatakan bahwa jawaban ada di kala senja, dan ia bertekad untuk menemukannya.
"Kita harus kembali di waktu senja," jawabnya pelan. "Mungkin… dia masih menunggu seseorang untuk membebaskannya dari bayang-bayang masa lalu."
Bersambung
ya ampun serem bange ceritanya
BalasHapusbikin merinding
Ngga serem juga kok kalau bacanya sambil merem..hihihi
Hapusagak cripi tapi penuh misteri, bagus gw suka ceritanya mas :D
BalasHapuscripi itu apa, Nif? Sejenis rasa takut kah atau rasakan sendiri?
Hapus