Pada Akhirnya, Akankah Luka Berakhir? - Cerpen

Pada Akhirnya, Akankah Luka Berakhir? - Cerpen




pada akhir, akankah luka berakhir? - cerpen


Surya duduk membelakangi jendela kafe, tangannya mengaduk-aduk minuman dingin yang dipesannya hingga esnya mencair. Suara seorang wanita terdengar memanggilnya dari arah pintu masuk kafe.

"Surya...!"

Surya menengok dan melambaikan tangan. Nayla, gadis muda yang ditunggunya, menghampiri dengan senyum merekah. Nayla duduk di hadapan Surya, aroma parfum lembut tercium dari tubuh Nayla.

"Nay, ada yang ingin aku bicarakan," kata Surya, menatap Nayla yang baru saja duduk dan melihat daftar menu.

"Hmmm," Nayla bergumam, lalu meletakkan daftar menu dan menatap Surya. "Kamu mau bicarakan apa?"

Surya menelan ludah. Ada sesuatu di dalam dadanya terasa berat, seperti ada beban yang menghimpitnya. Ia menatap lekat mata Nayla, mencoba mencari keberanian. "Aku tidak bisa melupakan Gita," katanya akhirnya. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. "Dia terlalu berarti bagiku. Apa mungkin..."

Nayla langsung mengangkat tangannya, menghentikan Surya sebelum kalimatnya selesai. "Stop! Aku tahu maksudmu. Gita sudah tenang, dan itu bukan salah kamu, Surya."

Surya tersenyum getir mendengar ucapan Nayla. Kata-kata Nayla membuatnya merenung. Mungkin, kecelakaan itu bukan salah siapa-siapa. Namun, ia tetap merasa bersalah dan tidak bisa melupakannya, meskipun sudah mencoba.

"Nayla, terima kasih sudah membantuku sejauh ini. Kamu tahu rasa sakitku seperti apa." Surya berkata pelan. "Namun, akulah yang tahu batas kemampuanku. Aku tidak ingin membebankan rasa sakit ini padamu. Aku tidak mau menyakitimu lebih jauh. Jadi, hargai keputusanku untuk tak pernah bisa melupakan Gita." Surya memejamkan mata, merasakan konflik dalam dirinya. Ia merasa bersalah telah menyakiti Nayla, namun di saat yang sama ia tidak bisa mengkhianati perasaannya pada Gita.

Nayla terdiam sejenak. Ada semburat kesedihan di matanya, tapi ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman tipis.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Sur?" tanya Nayla dengan suara lirih.

Surya membuka matanya, menatap Nayla dengan tatapan kosong. "Aku tidak tahu, Nay. Aku benar-benar tidak tahu." Ia terdiam sejenak lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "Mungkin aku perlu waktu untuk sendiri. Untuk merenungkan semuanya."

Nayla mengangguk pelan. Ia mengerti bahwa Surya sedang berjuang dengan dirinya sendiri. Ia tahu ia tidak bisa memaksanya. "Aku mengerti, Surya. Tapi berjanjilah padaku, jangan menghilang. Jangan menutup diri sepenuhnya."

Surya menatap Nayla dan melihat kekhawatiran di matanya. Ia mengangguk lemah. "Aku janji."

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Surya menatap kosong ke luar jendela, pikirannya berkecamuk. Ia merasa terjebak di antara masa lalu dan masa kini, antara kenangan indah bersama Gita dan kebaikan hati Nayla.

Bayangan Gita melintas di benaknya: senyumnya, tawanya, semua kenangan manis yang pernah mereka lalui. Rasa bersalah kembali menghantuinya. Mengapa harus dia? Mengapa harus Gita? Batinnya.


Di sisi lain, Surya juga merasakan sesak di dadanya saat menatap Nayla. Ia tahu Nayla tulus menyayanginya, telah berada di sisinya saat ia terpuruk. Namun, hatinya masih terpaut pada Gita. Ia merasa bersalah karena tidak bisa membalas cinta Nayla sepenuhnya. Aku telah menyakitinya. Aku telah membuatnya berharap, pikirnya dengan nada penyesalan.

Tiba-tiba, Nayla meraih tangannya. Genggaman tangannya terasa hangat dan menenangkan. "Surya, tidak apa-apa jika kamu belum bisa melupakan Gita," katanya lembut. "Aku mengerti. Tapi jangan biarkan rasa bersalah itu menguasai kamu. Gita pasti tidak ingin kamu terus-menerus seperti ini."

Surya menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku takut, Nay. Aku takut tidak akan pernah bisa melupakannya. Aku takut tidak akan pernah bisa bahagia lagi."

Nayla tersenyum kecil, meskipun air matanya mulai jatuh. Ia mengulurkan tangannya, mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Surya.

"Kamu pasti bisa," katanya dengan suara bergetar. "Waktu akan menyembuhkan semuanya. Dan aku akan selalu ada di sini, jika kamu membutuhkan seseorang untuk berbagi."

Keduanya menangis. Namun, bagi Nayla, ini mungkin terakhir kalinya. Sebab di hatinya, ia mulai menyadari satu hal: Mencintai seseorang yang masih terjebak dalam masa lalu adalah pertempuran yang tidak bisa ia menangkan.

Surya bangkit berdiri, menepuk pundak Nayla dengan lembut, lalu pergi meninggalkannya.

Dan di meja itu, Nayla tetap duduk sendiri dengan hatinya yang diam-diam runtuh.

**********

Langkah Surya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Hujan turun rintik-rintik, membasahi trotoar yang mulai gelap. Ia mendongak ke langit, membiarkan rintik air menyentuh wajahnya. Dingin, namun, tidak lebih dingin dari hatinya yang masih beku oleh kenangan Gita.

Surya menyelipkan tangannya ke dalam saku jaket, berjalan tanpa tujuan. Kata-kata Nayla masih terngiang di benaknya.

"Aku akan selalu ada di sini, jika kamu membutuhkan seseorang untuk berbagi."

Nayla telah melakukan segalanya untuknya. Dia tetap di sampingnya, bahkan saat Surya terus membiarkan bayangan Gita menghalangi langkah mereka. Namun kini, Surya sadar bahwa semakin Nayla bertahan, semakin dalam luka yang ia sebabkan.

Ia berhenti di depan sebuah taman kecil, tempat di mana ia dan Gita dulu sering menghabiskan waktu. Bangku kayu di sudut taman masih sama, basah oleh hujan, sunyi tanpa tawa mereka.

"Gita..." bisiknya. "Apa aku benar-benar tidak bisa melanjutkan hidupku tanpamu?"

Angin dingin bertiup, seakan membalas pertanyaannya dengan keheningan.

**********

Nayla masih duduk di tempatnya, menatap kosong ke meja di hadapannya. Jari-jarinya menggenggam cangkir yang sudah dingin. Tidak ada lagi air mata di wajahnya. Hanya tatapan kosong yang menyimpan begitu banyak luka.

"Harusnya aku tahu," gumamnya pelan. "Harusnya aku sadar dari awal."

Dia mencintai seseorang yang hatinya masih terkunci di masa lalu. Seberapa pun dia berusaha, Surya tidak akan pernah bisa melihatnya dengan cara yang sama seperti dia melihat Gita.

Pelayan datang untuk mengambil gelas-gelas kosong, namun Nayla tetap diam. Hatinya terasa hampa.


Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Surya muncul di layar.

"Maaf, Nay. Terima kasih untuk semuanya."

Senyum pahit muncul di wajah Nayla. Pesan itu terasa seperti sebuah perpisahan. Bukan dalam kata-kata, tapi dalam makna yang lebih dalam.

Surya mungkin tidak akan pernah kembali padanya.

Dan untuk pertama kalinya, Nayla merasa lelah untuk terus menunggu.

**********

Surya masih berdiri di bawah hujan, menatap kosong ke bangku taman yang dulu sering ia duduki bersama Gita. Waktu seakan berhenti, membiarkan kenangan menyerangnya satu per satu.

Tawa Gita, tatapan matanya yang penuh kasih, dan momen terakhir sebelum kecelakaan itu merenggutnya.

Dada Surya terasa sesak. Ia telah lama hidup dalam penyesalan, meyakini bahwa tidak ada lagi kebahagiaan yang bisa ia rasakan tanpa Gita di sisinya. Namun, kali ini, sebuah pertanyaan baru muncul di benaknya.

"Apakah ini yang Gita inginkan untukku?"

Untuk pertama kalinya, Surya bertanya pada dirinya sendiri. "Jika aku yang pergi lebih dulu, apakah aku ingin Gita hidup seperti ini?"

Jawabannya jelas. Tidak.

Ia ingin Gita bahagia, ingin dia melanjutkan hidup.

Dan kini, Surya sadar bahwa Gita pun pasti menginginkan hal yang sama untuknya.

Ia teringat kembali kata-kata Nayla.

"Jangan biarkan rasa bersalah itu menguasai kamu. Gita pasti tidak ingin kamu terus-menerus seperti ini."

Tapi benarkah itu?

Keraguan masih menghantuinya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, bayangan Gita kembali menghantuinya. Ia merasa seolah jika ia mulai mencintai orang lain, itu berarti ia mengkhianati kenangan mereka.

Namun, ia juga tahu sesuatu yang lain: ia telah menyakiti Nayla.

Ia membiarkannya menunggu, menggantung tanpa kepastian. Nayla telah mencoba membantunya, memahami rasa sakitnya, tapi yang ia lakukan hanyalah menutup diri.

Dengan perasaan campur aduk antara keraguan dan penyesalan, Surya menghela napas berat.

Surya lalu melangkah ke bangku taman, duduk di bangku yang basah oleh gerimis. Ia menutup mata, membiarkan kenangan menyerangnya sekali lagi.

Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Kenangan terakhirnya bersama Gita kembali terputar di kepalanya.

Mereka duduk di tempat yang sama, berbagi obrolan ringan. Gita saat itu tampak sangat bahagia, meskipun Surya tahu hidupnya tidak selalu sempurna.

"Kamu tahu, Surya?" kata Gita sambil tersenyum. "Aku selalu percaya bahwa hidup ini harus dijalani dengan bahagia. Aku nggak mau terjebak dalam kesedihan. Kalau suatu hari aku pergi duluan, aku ingin kamu bahagia juga."

Surya menatapnya, tersenyum kecil. "Jangan ngomong yang aneh-aneh, Git."

Gita tertawa. "Aku serius. Janji ya, kalau aku nggak ada, kamu harus tetap bahagia."


Saat itu, Surya hanya menganggapnya sebagai candaan. Tapi sekarang, ia sadar bahwa Gita benar-benar serius.

Air matanya jatuh tanpa ia sadari.

Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia menghormati Gita dengan tetap terjebak dalam kesedihan. Tapi ternyata, ia justru mengingkari permintaan terakhirnya.

Gita ingin ia bahagia.

Dan selama ini, ada seseorang yang selalu mencoba membuatnya bahagia.

Nayla.

Surya terdiam. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat semua yang telah dilakukan Nayla untuknya. Ia melihat bagaimana Nayla selalu ada, meskipun ia terus menolaknya. Ia melihat betapa Nayla peduli, meskipun ia tidak pernah memberi kepastian.

Dan yang paling penting, ia menyadari betapa ia tidak ingin kehilangan Nayla.

Detik itu juga, Surya tahu apa yang harus ia lakukan.

Surya berlari menembus hujan. Hatinya berdebar, bukan karena lelah, melainkan karena tekad yang baru saja tumbuh dalam dirinya.

Ia tidak ingin terlambat menyadari sesuatu yang berharga lagi.

Beberapa menit kemudian, Surya sudah berdiri di depan rumah Nayla. Napasnya masih sedikit terengah akibat berlari di tengah hujan. Tubuhnya basah kuyup. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.

Setelah beberapa saat, pintu terbuka. Nayla berdiri di ambang pintu, terlihat terkejut melihat kondisi Surya.

"Surya?"

Surya menelan ludah. Ia ingin berbicara, tapi lidahnya terasa kaku.

Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya ia berkata, "Aku... aku sadar aku sudah banyak menyakitimu, Nay."

Nayla diam, menunggu kelanjutannya.

"Aku terlalu lama terjebak dalam masa lalu, terlalu lama membiarkan diriku tenggelam dalam rasa bersalah," lanjutnya. "Tapi sekarang, aku menyadari sesuatu. Gita tidak akan pernah menginginkan aku hidup seperti ini. Dan aku..." Surya menatap Nayla dalam-dalam. "Aku tidak ingin kehilanganmu."

Nayla menatap Surya, matanya mulai terasa panas. "Jadi… apa maksudmu, Surya?"

Surya menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin belajar mencintai lagi, Nay. Aku ingin membiarkan diriku bahagia. Aku ingin… mencoba melakukannya bersamamu."

Butuh beberapa saat sebelum Nayla menjawab. Ia tampak ragu, seolah takut berharap lagi.

"Kamu yakin, Sur?" tanyanya pelan. "Aku tak mau menjadi pelarian. Aku tak mau jadi seseorang yang hanya kamu pilih karena kamu takut sendirian."

Surya menggeleng. "Kamu bukan pelarian, Nay. Kamu adalah seseorang yang seharusnya sudah aku lihat sejak lama. Aku terlalu buta untuk menyadarinya. Tapi sekarang, aku tahu."

Air mata jatuh di pipi Nayla, tapi kali ini bukan karena kesedihan.

"Tahukah kamu, Surya?" katanya pelan. "Aku sudah lelah menunggu kamu menyadari hal ini."

Surya mengulurkan tangannya. "Maukah kamu memberi aku kesempatan untuk membuktikannya?"

Nayla terdiam, lalu tersenyum di antara air matanya. Ia mengangguk, kemudian meraih tangan Surya dan menggenggamnya erat.

"Kita bisa mencoba," katanya pelan.

Surya menghembuskan napas lega, lalu tanpa sadar tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.



Tamat

Komentar

  1. Hm.. Peduli, tapi tak pernah memberikan kepastian, cihuyyy...

    BalasHapus
  2. Katanya jangan pernah menjalin hubungan dengan seseorang yg baru jika belum selesai dengan masa lalu... Tapi jika masalalu sudah berlalu dan gk mungkin kembali, nggak ada salahnya mencoba .. Tapi enggak tau juga.. Cuman denger " aja 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tu kata mbk Fanny.. Move on... Jangan sedih terus.. Coba melangkah 😁

      Hapus
  3. setelah baca cerita ini saya memutuskan untuk berhenti merokok merk surya,

    karena memang saya ga pernah membelinya

    BalasHapus
  4. Naaah aku sukaaa endingnya happy 😄. Walau gemes di awal Ama si cowo 😅. Untunglah terbuka juga pikirannya. Kdg manusia itu suka banget terjebak dgn kesedihan. Padahal hidup harus move on. Kalo udah selesai jodoh, ya mo gimana lagi, namanya udh takdir..

    Malah rugi kan kalo kita nya sedih trus2an.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekali-kali dibikin happy ending, ngga apa-apa kan..hihihi

      Hapus

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen

Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai - Cerpen

Adakah Pertemuan Di Cerita Kita? (Masih Ada Sedikit Harapan) - Cerpen

Dara, Gadis Dunia Maya (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung