Bukan Cinta Yang Sama (#1) - Cerbung

Bukan Cinta Yang Sama (#1) - Cerbung




bukan cinta yang sama (#1) - cerbung


Malam itu, hujan turun makin deras, seakan membasuh kota yang menyimpan seribu kenangan. Di dalam kedai kopi kecil yang hangat, lima sahabat duduk melingkar, wajah mereka diterangi cahaya hangat lampu kedai. Mereka larut dalam percakapan yang terasa lebih dalam dari biasanya.

Chandra mengaduk kopinya yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya melayang jauh ke seorang yang dulu pernah mengisi hatinya.

"Aku hanya menunggu takdir," katanya pelan. "Jika takdir mengatakan tidak untuk kita bersatu lagi, aku terima."

Dea menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Chandra dengan pandangan yang sulit ditebak. "Dan kalau takdir bilang kalian harus bersama lagi?"

Chandra tersenyum kecil, tapi ada getir di sana. "Aku rasa… itu tidak akan terjadi."

Raka menghirup es kopinya dengan santai. "Kalau memang sudah ikhlas, kenapa masih dibahas?"

Andini tertawa kecil. "Karena dia belum sepenuhnya ikhlas."

Chandra mendesah, meletakkan sendoknya di piring kecil. "Bukan masalah ikhlas atau tidak. Kadang, kenangan itu tak bisa hilang begitu saja. Kamu bisa melepaskan seseorang, tapi jejaknya tetap ada."

Lian, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya membuka suara. "Tapi kamu masih peduli, kan?"

Chandra tidak menjawab, tapi matanya berkaca-kaca.

Dea memperhatikan ekspresi Chandra dengan seksama. Ia tahu, selama ini Chandra selalu menyimpan perasaannya rapat-rapat. Tapi malam ini, tembok itu mulai retak.

"Pesanku hanya satu untukmu," lanjut Chandra, suaranya sedikit bergetar. "Jaga diri baik-baik. Cukup aku saja orang terakhir yang kamu buat hancur, sehancur-hancurnya."

Andini dan Raka saling bertukar pandang. Mereka bisa merasakan luka yang masih tersisa di hati sahabat mereka.

Dea akhirnya berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana. "Baiklah, cukup tentang mantan. Ayo kita bahas yang lain."

Tapi sebelum percakapan berganti topik, ponsel Chandra yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering dan bergetar. Semua mata tertuju pada ponsel itu. Sebuah nama muncul di layar: Nadia. 

Chandra terdiam, dadanya berdegup kencang. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya mengambil ponselnya dan menatap nama yang dulu begitu akrab di hatinya.

Dea menahan napas. "Dia?"

Chandra mengangguk pelan.

Raka mendekat, penasaran. "Angkat atau tidak?"

Andini tersenyum kecil. "Kalau ini film romantis, kamu pasti mengangkatnya."

Lian hanya tersenyum tipis. "Tapi ini bukan film. Ini kehidupan nyata."

Chandra menatap layar ponselnya. Suara dering itu terasa lebih kencang di telinganya, seolah menuntut keputusan.

Angkat?

Atau abaikan?

Tangannya sedikit gemetar saat akhirnya ia membuat pilihan.

Chandra menekan tombol jawab dan mendekatkan ponselnya ke telinga. Suaranya nyaris bergetar saat menyapa, "Halo?"


Di seberang sana, ada jeda sebelum suara yang sudah lama tidak ia dengar menjawab dengan ragu. "Chandra… apa kabar?"

Raka, Andini, Lian, dan Dea diam-diam menahan napas. Mereka saling bertukar pandang, menunggu reaksi Chandra.

"Aku… baik," jawab Chandra akhirnya.

"Aku di kota ini sekarang," kata Nadia pelan. "Kita bisa ketemu?"

Lian mengangkat alisnya, mencoba membaca ekspresi Chandra. Sementara itu, Dea menyilangkan tangan di dada, tampak kurang setuju.

Chandra menutup matanya sejenak, lalu berkata, "Untuk apa?"

Hening.

"Aku hanya ingin bicara," suara Nadia terdengar ragu.

Chandra menarik napas panjang. Ia menatap teman-temannya, seolah mencari jawaban.

Andini tersenyum miring. "Kalau kamu menganggap ini film, kamu pasti akan datang."

Raka menimpali, "Tapi ini bukan film. Ini hidup yang nyata.”

Dea, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Jangan bilang kamu masih menunggu takdir?"

Chandra menggeleng pelan. "Aku hanya menunggu kepastian… bahwa aku benar-benar sudah selesai."

Dea mendengus. "Kalau begitu, buat dia tahu kalau kamu sudah tidak sama seperti dulu."

Chandra kembali menempelkan ponsel ke telinganya. "Oke, kita bisa ketemu."

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir jalan protokol. Hujan sudah reda, meninggalkan jejak embun di kaca-kaca jendela.

Nadia masih sama. Cantik, lembut, dan memiliki tatapan yang dulu bisa membuat Chandra melupakan dunia. Tapi kali ini, Chandra tidak lagi merasakan debaran yang sama.

"Maaf kalau aku tiba-tiba muncul," ujar Nadia, memainkan sendok di tangannya. "Aku hanya ingin menyelesaikan yang dulu belum selesai."

Chandra menatapnya, mencoba menahan emosinya. "Pergimu sudah kuikhlaskan, kembalimu takkan pernah kuinginkan lagi."

Nadia terdiam. Ia menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu… aku menyesal."

"Untuk apa?"

"Telah membuatmu hancur."

Chandra tersenyum, tapi kali ini tanpa kepedihan. "Jangan khawatir. Aku sudah belajar. Kalau kamu cinta itu karena dia mencintaimu, itu bukan cinta tapi empati."

Nadia menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Jika kamu cinta itu karena harta atau uang, itu bukan cinta tapi ketertarikan," lanjut Chandra.

Nadia menunduk.

"Jika kamu cinta itu karena penampilannya, itu bukan cinta tapi obsesi."

Dan akhirnya, Chandra menatapnya lurus. "Jika kamu cinta itu karena kebaikannya, itu bukan cinta tapi kagum."

Nadia menarik napas dalam. "Lalu… menurutmu, cinta itu apa?"


Chandra terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. "Cinta itu ketika kamu tidak perlu alasan kenapa kamu mencintainya"

Nadia menatapnya lama, sebelum akhirnya tersenyum pahit. "Berbahagialah, Chandra."

Chandra menatap ke luar jendela. Hujan mungkin sudah berhenti, tapi hatinya benar-benar baru saja selesai.

Ia tidak lagi menunggu takdir.

Karena ia tahu, takdirnya bukan lagi bersama Nadia.

**********

Chandra keluar dari kafe dengan perasaan yang lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar melepaskan masa lalu.

Saat ia melangkah menuju parkiran, suara familiar menyapanya.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Chandra menoleh. Dea berdiri di dekat motor, tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya.

"Kamu mengikutiku?" Chandra mengangkat alisnya.

Dea mendesah. "Andini yang menyuruh. Dia tidak yakin kamu benar-benar sudah selesai dengan Nadia."

Chandra terkekeh pelan. "Jadi kamu pengintai?"

Dea mengangkat bahu. "Bukan. Aku cuma… penasaran."

Chandra menatap Dea sebentar, lalu tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja."

Dea mengangguk pelan. "Baguslah."

Mereka berjalan berdampingan ke parkiran. Hening sesaat, sebelum akhirnya Dea bertanya, "Jadi, kamu masih percaya cinta?"

Chandra terdiam sejenak. "Aku percaya… tapi mungkin dengan cara yang berbeda."

Dea tersenyum tipis. "Bagus. Jangan sampai kamu jadi orang yang pahit soal cinta."

Chandra tertawa kecil. "Dan jangan sampai aku jadi seperti kamu?"

Dea mendelik. "Maksudnya?"

"Kamu selalu bilang cinta itu rumit dan tidak perlu," ujar Chandra sambil menyalakan motornya.

Dea terkekeh. "Aku realistis."

Chandra menatapnya sejenak sebelum berkata pelan, "Atau jangan-jangan, kamu juga pernah terluka?"

Dea terdiam. Senyumnya sedikit pudar, tapi ia cepat mengalihkannya dengan memasang helm.

"Ayo balik. Yang lain pasti menunggu di tempat Raka," katanya, mengabaikan pertanyaan Chandra.

Raka hanya tersenyum kecil, lalu menjalankan motornya.

Malam itu, saat mereka berkendara beriringan di jalanan kota yang mulai lengang, Chandra bertanya-tanya dalam hati.

Mungkin, tanpa ia sadari, ada kisah baru yang sedang menunggu untuk dimulai.

**********

Malam itu, Chandra dan Dea tiba di rumah Bayu, tempat mereka biasa nongkrong. Andini sudah duduk bersila di atas karpet, sibuk ngemil keripik, sementara Lian menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius.


"Kalian lama banget!" seru Andini begitu melihat mereka masuk. "Jangan bilang kalian mampir makan dulu tanpa mengajak-ajak."

"Kita tidak makan kok," jawab Chandra lalu duduk di sofa.

"Tapi kayaknya habis bicara sesuatu yang serius," Raka menyipitkan mata curiga. "Benar, tidak?"

Dea hanya tersenyum tipis. "Tidak ada yang serius. Kita cuma bahas kehidupan."

Raka mendengus. "Kalau kalian mulai membicarakan kehidupan, pasti ada yang patah hati."

Chandra tertawa kecil, tapi tidak membantah. Ia tahu, meski sudah merasa lega setelah bertemu Nadia, masih ada sedikit sisa perasaan yang belum benar-benar hilang.

Lian akhirnya angkat suara, masih menatap ponselnya. "Kalau aku jadi Chandra, aku tidak akan repot-repot menemui mantan."

Chandra menghela napas. "Aku cuma butuh penutupan."

Andini menatapnya serius. "Dan menurutmu, sudah cukup?"

Chandra tersenyum samar. "Sudah."

Semua terdiam sejenak. Raka lalu mengalihkan suasana dengan mengambil gitar di sudut ruangan dan mulai memetik nada acak.

"Oke, cukup dramanya. Kita nyanyi saja."

Andini mengangguk. "Setuju! Tapi jangan lagu galau, ya. Kita harus merayakan kehidupan baru Chandra."

Dea tertawa kecil. "Lagu apa?"

Chandra berpikir sebentar sebelum mulai memainkan lagu upbeat, dan suasana berubah lebih santai. Mereka bernyanyi bersama, sesekali tertawa karena suara fals Lian atau ekspresi dramatis Dea.

Di tengah-tengah lagu, Andini melirik Chandra yang terlihat lebih rileks. Ia senang melihat sahabatnya mulai benar-benar melepaskan beban masa lalu.

Dan entah kenapa, ada sedikit rasa lega dalam hatinya juga.

Namun, ia tahu, ini belum selesai.

Karena kadang, cerita baru tidak dimulai dari satu keputusan besar, tapi dari hal-hal kecil yang tak disadari, seperti sebuah lagu yang mengalihkan kesedihan, atau tatapan mata yang menyimpan harapan

**********

Beberapa hari setelah pertemuan dengan Nadia, Chandra mulai merasa lebih tenang. Ia tidak lagi memikirkan masa lalunya, meskipun bayangan itu sesekali masih muncul.

Suatu sore, ia duduk di kafe langganan, menatap laptopnya sambil sesekali menyeruput kopi. Tiba-tiba, kursi di depannya ditarik, dan seseorang duduk tanpa permisi sambil meletakkan segelas jus alpukat.

"Kamu sudah move on, belum?"

Chandra mendongak dan mendapati Dea menatapnya dengan ekspresi serius.

Chandra menghela napas. "Kenapa semua orang selalu menanyakan itu?"

Dea mengangkat bahu. "Karena jawaban kamu masih menggantung."

Chandra tersenyum kecil. "Aku sudah selesai dengan masa laluku."


Dea menyipitkan mata, seperti mencoba mencari kebohongan dalam jawaban Chandra. "Kalau begitu, kenapa kamu masih sendiri?"

Chandra tertawa pelan. "Memangnya harus buru-buru mencari pengganti?"

Dea menyesap jus alpukatnya, lalu bersandar di kursi. "Tidak harus. Tapi jangan sampai kamu jadi takut jatuh cinta lagi."

Chandra menatap Dea sejenak sebelum berkata, "Kamu sendiri? Masih percaya cinta?"

Dea terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. "Aku tidak pernah bilang tidak percaya cinta. Aku cuma… belum menemukan yang buat aku yakin."

"Kamu tidak takut?" tanya Chandra, penasaran.

"Takut apa?"

"Takut disakiti."

Dea menghela napas pelan. "Aku lebih takut terjebak dalam hubungan yang salah."

Mereka terdiam beberapa saat. Suasana kafe yang ramai terasa seperti latar belakang yang jauh.

Suasana hening sejenak, hanya suara bising kafe yang terdengar.

Kemudian, Lian tiba-tiba muncul, menyeret kursi dengan heboh. "Kenapa kalian berdua seperti sedang syuting drama?"

Dea mendelik. "Lian, tolong, ya."

Lian terkekeh. "Aku hanya mampir buat memberitahu. Malam ini ada acara di tempat Raka. Semua harus datang."

Chandra mengangguk dan bertanya. "Acara apa?"

"Katanya sih, sekadar kumpul. Tapi aku curiga, Raka mau buat pengumuman penting."

Dea dan Chandra saling pandang, lalu tertawa kecil.

"Baik, kita datang," kata Dea.

Lian berdiri. "Oke. Jangan terlambat."

Saat Lian pergi, Dea menatap Chandra dengan pandangan menggoda. "Jadi… kamu sudah siap buat memulai cerita baru?"

Chandra tersenyum. "Kita lihat nanti."

Dan entah kenapa, Dea merasa jawaban itu lebih bermakna dari yang seharusnya.

**********

Malam itu, rumah Raka kembali menjadi tempat berkumpul. Chandra tiba lebih dulu, disambut oleh suara musik dan tawa teman-temannya. Andini sedang sibuk mengatur camilan, sementara Lian asyik mengetik di ponselnya.

"Mana si Raka?" tanya Chandra sambil duduk di sofa.

"Lagi siap-siap," jawab Andini, melirik ke arah Chandra. "Katanya ada sesuatu yang mau dia bicarakan."

Chandra mengangguk, lalu melihat ke arah pintu saat Dea masuk.

"Kalian sudah memulai tanpa aku?" Dea meletakkan tasnya dan langsung mengambil camilan dan duduk di samping Chandra.

"Dea!" hardik Andini dengan mata membulat.

"Apa?"

Lian mendengus. "Tidak ada yang memulai apa-apa. Kita masih menunggu si empunya rumah."


Tak lama kemudian, Raka keluar dari kamar dengan ekspresi serius. Ia menatap teman-temannya satu per satu sebelum akhirnya berkata, "aku mau berbicara sesuatu yang penting."

Semua langsung diam, menunggu dengan penasaran.

Raka menarik napas dalam-dalam. "Aku… akan pindah ke luar negeri untuk kerja.”

Keheningan langsung menyelimuti ruangan

Andini yang pertama kali bereaksi. “Apa?!”

Lian menatap Raka dengan tidak percaya. "Serius, kamu?"

Raka mengangguk. "Aku baru mendapat tawaran dari kantor cabang di luar negeri. Ini kesempatan bagus, dan aku tidak bisa menolak."

Dea menatap Raka dengan ekspresi campur aduk. "Kapan kamu pergi?"

"Bulan depan."

Keheningan kembali terasa. Chandra menghela napas pelan. "Kenapa kamu tidak bilang lebih awal?"

Raka tersenyum kecil. "Aku tidak mau kalian kepikiran. Tapi aku juga tidak bisa pergi begitu saja tanpa memberitahu."

Suasana jadi sedikit sendu. Mereka memang sering bercanda dan menggoda satu sama lain, tapi malam ini terasa berbeda.

Lian akhirnya bersuara, mencoba mencairkan suasana. "Yah, paling tidak kamu harus traktir kita sebelum pergi."

Raka tertawa. "Tenang, aku bakal traktir kalian sepuasnya."

Mereka akhirnya mulai berbicara lebih santai, meski masih ada sedikit kesedihan yang tersisa.

Saat suasana mulai kembali ceria, Dea melirik Chandra yang tampak diam.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya pelan.

Chandra menoleh dan tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja. Cuma… rasanya aneh saja, harus melihat satu per satu orang terdekat pergi."

Dea mengerti maksudnya. Ia menatap Chandra lama sebelum berkata, "Perginya Raka bukan berarti kita akan kehilangan dia."

Chandra tersenyum. "Iya, aku tahu."

Tapi entah kenapa, malam itu ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Mungkin karena ia sadar, perubahan selalu datang, dan ia tidak bisa menghindarinya selamanya.

Dan mungkin, tanpa ia sadari, ada perubahan lain yang juga sedang terjadi di dalam hatinya.



Bersambung

Komentar

  1. Sebagai Chandra, rasanya antara marah, sedih, dan pasrah. Ingin melupakan masa lalu, tapi bayangannya terus menghantui. Ketika akhirnya berani menghadapi semuanya, rasanya seperti beban berat terangkat.

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen

Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai - Cerpen

Adakah Pertemuan Di Cerita Kita? (Masih Ada Sedikit Harapan) - Cerpen

Dara, Gadis Dunia Maya (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung