Kita, Dalam Sebuah Cerita - Cerpen

Kita, Dalam Sebuah Cerita - Cerpen




kita, dalam sebuah cerita - cerpen


Di minimarket yang menyediakan meja dan kursi kayu untuk bersantai, Arsya duduk seorang diri. Di depannya ada sebuah laptop, sebotol air mineral dan beberapa bungkus makanan ringan. Arsya duduk menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Jari-jarinya sudah siap di atas keyboard, tetapi pikirannya berputar ke arah lain. Bukan ke cerpen yang sedang ia buat, melainkan ke seorang gadis bernama Ayla.

Entah sejak kapan gadis itu mulai muncul di pikirannya. Teman Facebook yang dulu hanya sekadar nama di kolom komentar, kini menjadi seseorang yang kehadirannya ia nantikan setiap hari. Meski mereka sering bertemu dalam kelompok yang sama dengan Pandu dan Windi, ada sesuatu yang membuatnya ingin menghabiskan lebih banyak waktu hanya berdua dengan Ayla. Namun Arsya tidak tahu harus bagaimana.

"Aduh, Arsya. Cerpen kamu yang kemarin bikin aku sedih banget, deh." Suara Ayla membuyarkan lamunannya. Ia duduk di depan Arsya sambil meletakkan botol minuman ringan di meja.

Arsya tersenyum kecil. "Masa sih? Harusnya kamu sudah terbiasa sama gaya cerpenku yang sekarang."

Ayla menghela napas, memainkan botol minumannya. "Dulu cerpenmu selalu ada bagian manisnya. Sekarang? Kok kayak kamu sengaja bikin tokohnya menderita terus?"

Arsya mengangkat alis. “Mungkin aku lagi pengen sesuatu yang beda."

Ayla menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Atau jangan-jangan kamu lagi takut nulis cerita yang manis karena bakal terlalu terhubung sama kenyataan?"

Arsya terdiam. Gadis ini selalu bisa membaca pikirannya. Ia mengalihkan pandangan, meminum air mineralnya dengan maksud mengulur waktu sebelum menjawab.

Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Pandu dan Windi datang menghampiri mereka. "Eh, eh, kalian ngobrolin apaan?" Pandu menatap mereka berdua dengan senyum penuh selidik.

"Arsya ini kayaknya lagi menolak unsur romantis dalam hidupnya," celetuk Ayla sambil tersenyum jahil.

Pandu tertawa. "Jangan-jangan gara-gara selama ini dia kebanyakan nulis ending yang tragis, jadi takut kalau kisah sendiri malah berakhir sama?"

Arsya menghela napas, meskipun pipinya sedikit memanas. "Kalian kebanyakan berasumsi."

Windi menatap Ayla yang hanya tersenyum kecil, lalu kembali menatap Arsya. Ada sesuatu di antara mereka yang belum diungkapkan, dan Windi tahu itu.

"By the way, Arsya," kata Windi tiba-tiba. "Kamu sadar nggak sih kalau Ayla suka banget sama cerpen-cerpen kamu?"

Ayla tersedak sedikit, langsung meneguk air minumnya untuk menyembunyikan wajahnya yang merona. "Windi!"

"Apa?" Windi terkikik. "Aku kan cuma bilang fakta.”

Arsya menatap Ayla yang kini menunduk, seolah tertarik dengan pola meja. Hatinya tiba-tiba berdebar lebih cepat.

"Kalau Ayla suka baca cerpenku, aku sih senang." Arsya mencoba terlihat santai, tapi entah kenapa suaranya terasa lebih berat dari seharusnya.

Ayla akhirnya mengangkat wajah, menatap Arsya dengan mata yang lebih lembut dari biasanya. "Bukan cuma cerpennya."


Untuk sesaat, waktu terasa melambat. Arsya hampir menahan napas. Ada sesuatu dalam cara Ayla mengatakannya yang membuatnya ingin bertanya lebih jauh. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Pandu dengan santainya menyela, "Gimana kalau kita beli camilan dulu? Laper, nih."

Dan momen itu pun hilang begitu saja.

Sejak hari itu, Arsya mulai lebih sadar akan setiap interaksi kecil antara dirinya dan Ayla. Arsya memperhatikan bagaimana Ayla selalu tersenyum padanya dengan cara yang berbeda, bagaimana tatapan mereka bertemu dan bertahan sedikit lebih lama dari biasanya, atau bagaimana komentar iseng Ayla selalu berhasil membuatnya salah tingkah.

Ia ingin mengatakannya. Ingin memberi tahu Ayla bahwa perasaan yang selama ini ia simpan sudah terlalu sulit untuk diabaikan. Tapi ia masih ragu.

Suatu malam, Ayla mengirim pesan.

Ayla: Arsya, tulis cerpen yang akhirnya happy lagi dong?

Arsya: Kenapa?

Ayla: Nggak kenapa-napa sih, hanya ingin baca cerita yang punya akhir bahagia aja.

Arsya lama menatap layar ponselnya. Ia tahu, ini bukan sekadar permintaan biasa.

Arsya: Kalau aku tulis, kamu janji bakal baca sampai habis?

Ayla: Selalu.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arsya mulai menulis cerita yang berbeda. Bukan tentang tokoh yang patah hati atau kehilangan segalanya, melainkan tentang seseorang yang akhirnya menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.

**********

Beberapa hari kemudian, Arsya mengajak Ayla untuk bertemu di kafe dekat taman kota. Arsya membawa cetakan cerpen yang ia tulis semalaman dan menyerahkannya pada Ayla.

"Ini," katanya singkat.

Ayla mengambilnya dengan rasa penasaran, mulai membaca halaman pertama. Seiring berjalannya waktu, ekspresi di wajahnya berubah. Dari bingung, menjadi terkejut, lalu perlahan tersenyum.

Ketika ia selesai membaca, Ayla menatap Arsya.

"Jadi ini cerpen tentang kita?" tanyanya pelan.

Arsya menahan napas. "Kamu sendiri yang bilang ingin membaca cerita dengan akhir bahagia."

Ayla menatap Arsya dengan senyum penuh arti.

"Aku suka endingnya," katanya akhirnya. "Tapi aku penasaran, kalau di dunia nyata... kita bakal dapat akhir yang sama nggak, ya?"

Arsya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ini momen yang selama ini ia tunggu. Tapi sebelum ia bisa membuka mulut untuk menjawab, suara familiar tiba-tiba menyela.

"Waduh, waduh! Ini kenapa suasananya mendadak romantis begini?"

Pandu dan Windi muncul, masing-masing membawa minuman yang langsung mereka letakkan di meja. Pandu melipat tangan di dada, memasang ekspresi pura-pura serius.


"Kalian pacaran, ya?" tanya Windi dengan nada menggoda.

Ayla langsung tersipu, sementara Arsya hanya bisa menghela napas. "Kalian selalu datang di saat yang paling... tepat."

"Tepat dong!" Pandu tergelak. "Mana bisa kami melewatkan momen penting seperti ini?"

Windi bersandar di kursinya, menatap mereka berdua bergantian. "Jadi, gimana, Arsya? Jawaban kamu apa?"

Arsya menatap Ayla yang kini menunduk, memainkan ujung kertas cerpen yang masih di tangannya. Ia tahu Ayla juga menunggu jawabannya. Tapi dengan kehadiran dua orang pengganggu ini, rasanya tidak mungkin mengatakan sesuatu yang serius tanpa diganggu.

"Aku sih pengen jawab," katanya akhirnya, menatap Pandu dan Windi dengan tatapan menyipit. "Tapi kalau ada dua orang yang hobinya ingin tahu begini, gimana mau romantis?"

Ayla terkikik pelan, sementara Windi dan Pandu tertawa puas.

"Oke, oke," kata Pandu akhirnya. "Kami kasih kalian waktu. Tapi kalau nanti jadian, traktir kita, ya?"

Windi menambahkan, "Dan kalau sampai belum jadian juga, siap-siap kami paksa kalian kencan!"

Arsya hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Tapi dalam hati, ia tahu jawabannya sudah jelas.

Ia hanya perlu menemukan momen yang tepat untuk mengatakannya tanpa dua pengganggu ini di sekitar mereka.

**********

Setelah insiden di kafe itu, Arsya merasa hidupnya berubah sedikit berantakan. Bukan dalam arti buruk, tetapi setiap kali ia dan Ayla bertemu, ada sesuatu yang menggantung di antara mereka. Sesuatu yang belum ia katakan.

Masalahnya, setiap kali ia mencoba mencari momen yang pas, Pandu dan Windi selalu saja muncul entah dari mana, seolah mereka punya radar khusus yang berbunyi setiap kali Arsya ingin serius dengan Ayla.

Seperti malam ini.

Arsya dan Ayla sedang berjalan santai di taman kota. Lampu-lampu redup menciptakan suasana yang cukup romantis. Udara sejuk, obrolan mengalir lancar, dan Arsya berpikir, ini dia, saatnya.

"Ayla," katanya sambil menoleh.

Ayla juga menoleh, matanya berbinar di bawah cahaya lampu taman. "Hmm?"

Oke. Ini dia. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Aku..."

"Hoi! Pasangan belum jadian."

Suara Pandu bergema seperti guntur di tengah malam.

Arsya menghela napas panjang sementara Ayla menutup wajahnya dengan tangan, tertawa geli.

Pandu dan Windi entah datang dari mana, tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka, membawa es krim masing-masing dan memasang ekspresi penuh kemenangan.

"Kalian itu kenapa sih?" gerutu Arsya.

"Bukan kami yang kenapa-kenapa," sahut Windi sambil menyeringai. "Kamu yang lama banget bikin langkah!"

Baca juga: O.D.O.P

Ayla masih tertawa, sementara Arsya memasang wajah pasrah. "Serius, kalian tuh semacam alarm gangguan buat hubungan orang."

Pandu menepuk bahu Arsya. "Bukan gangguan, Arsya. Kami ini pendorong semangat."

"Lebih mirip hama, kalau menurutku," gumam Arsya.

Arsya menarik napas, menatap Pandu dan Windi. "Kalian nggak ada kerjaan lain, ya?"

Windi mengangkat bahu. "Tadinya ada, sih. Tapi setelah dipikir-pikir, ngeliatin kalian lebih menarik."

Arsya mengusap wajahnya. Ia menyerah. Tidak ada gunanya mencoba serius di depan dua orang ini.

Ayla mendekat sedikit lebih dekat ke Arsya lalu berkata dengan suara lembut, "Arsya, kita jalan ke sana sebentar, yuk. Biar Pandu dan Windi puas menggoda kita dari jauh."

Arsya melirik Pandu dan Windi yang sudah siap dengan ledekan baru mereka, lalu kembali menatap Ayla yang tersenyum kecil.

"Setuju," kata Arsya cepat.

Mereka berdua pun berjalan menjauh, meninggalkan Pandu dan Windi yang berteriak, "Ehhh, mau ngapain itu?! Jangan aneh-aneh, ya!"

Arsya dan Ayla hanya bisa tertawa sambil menggeleng.

Setelah berjalan beberapa saat, mereka berdua akhirnya sampai di tepi danau kecil di taman. Cahaya lampu taman memantul di permukaan air, menciptakan suasana yang lebih romantis daripada yang bisa Arsya harapkan.

"Ayla," kata Arsya akhirnya, memberanikan diri.

Ayla menoleh dengan senyum khasnya. "Ya?"

Arsya menarik napas. Oke, ini saatnya...

"Akhirnya, teman-teman hari ini, sejarah tercetak!" Suara Pandu menggema di seluruh taman.

Arsya dan Ayla menoleh cepat. Di kejauhan, Pandu dan Windi berdiri di bangku taman, Windi mengangkat ponsel seperti reporter yang siap meliput momen bersejarah.

"Pandu! Windi!" teriak Arsya frustasi. "Kalian ini ngapain sih?!"

"Melakukan tugas negara," jawab Windi santai, "Menjaga agar tidak ada kejahatan yang terjadi di taman kota."

"Kejahatan apaan?" tanya Ayla, menahan tawa.

"Kejahatan pria yang telat nyatain cintanya," sahut Pandu.

Arsya mengusap wajah. "Astaga, kalian ini..."

Ayla tertawa pelan, lalu menatap Arsya. "Jadi, tadi kamu mau bilang apa?"

Arsya menatap Ayla. Baiklah. Sekalipun dengan dua orang pengganggu di latar belakang, ia tetap akan mengatakannya.


"Aku suka kamu, Ayla," katanya akhirnya. "Dari dulu. Dari pertama kali kita ngobrol di Facebook sampai setiap kali kita ketemu di dunia nyata. Aku suka caramu ketawa, caramu mengomentari cerpen-cerpenku, bahkan caramu membiarkan Pandu dan Windi mengganggu kita tanpa protes."

Ayla terdiam sesaat. Tapi lalu, senyumnya melebar. "Arsya..."

Arsya menunggu dengan tegang.

"Aku juga suka kamu," lanjut Ayla pelan.

Arsya merasakan hatinya melompat. Sebelum ia bisa merespons, terdengar suara tepuk tangan dari kejauhan.

Pandu dan Windi bertepuk tangan dengan ekspresi penuh kemenangan. "Akhirnya, teman-teman, sebuah keajaiban telah terjadi," teriak mereka berbarengan.

Ayla tertawa geli, sementara Arsya hanya bisa menggeleng dan menatap dua pengganggu itu dengan wajah pasrah.

"Terserah kalian deh," katanya, lalu berbalik ke Ayla. "Tapi setelah ini, aku traktir kamu makan. Tanpa mereka berdua."

Ayla tersenyum manja. "Setuju. Tapi kalau mereka tiba-tiba muncul lagi, aku nggak tanggung jawab, ya."

Arsya menatap Pandu dan Windi yang pura-pura tidak bersalah. "Kalau mereka muncul lagi, aku pura-pura nggak kenal," katanya.

Pandu langsung menepuk dada. "Wah, gitu banget! Udah kita bantu, eh malah diusir."

Windi nyengir. "Tapi nggak papa. Kita tetap saksi sejarah."

Ayla meraih tangan Arsya perlahan dan menggenggamnya erat. Dan untuk pertama kalinya, Arsya benar-benar merasa tenang.

"Akhirnya, ini bukan sekadar fiksi," gumamnya. Ini kenyataan dan untuk pertama kalinya, ia menyukai akhirnya.



Tamat

Komentar

  1. kadang teman memang seperti itu suka mengngganggu ketika sedang berdua dengan calon pacar :D

    BalasHapus
  2. Kayaknya Arsya mirip mas khanif ya, mau menyatakan cinta agak susah karena bingung mau ngomong ke pacarnya.😁

    Cuma Ayla nya ngga ada, adanya Avanza, Xenia atau Pajero, panas jaba jero.

    BalasHapus
  3. Karena sudah ada 2 saksi, berarti sah ya :D

    BalasHapus
  4. Dukungan teman yang kadang mengganggu kenyamanan

    BalasHapus
  5. akhirnya saya pun juga ikut senang dengan akhir ceritanya
    Berarti tidak bertepuk sebelah tangan
    wah enaknya era sekarang, main facebook ketemu jodoh
    era saya, pak pos

    BalasHapus
  6. Rasanya ikut tenang membacanya sebagaimana yang diarasakan Arsya.

    BalasHapus
  7. Ya Allah untung aku ga punya temen semengganggu itu 😁. Jujur malah ga asyik kalo tiap saat ganggu hahahha . Sesekali bolehlah, tp tiap saat, jadi ga lucu kelakuannya 😅

    Cerita dengan ending gembira memang lebih enak dibaca. Seolah habis baca langsung plong hati.

    Ikutan happy.

    Coba kalo cerita sedih, atau gantung. Ngedumel 🤣. Kebawa pikiran lama itu 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya juga hama memang sangat menggangu..wkwkwk

      Kalau saya malah lebih senang kalau ceritanya berakhir ngegantung, jadi bisa buat sendiri akhir ceritanya.

      Hapus

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen

Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai - Cerpen

Adakah Pertemuan Di Cerita Kita? (Masih Ada Sedikit Harapan) - Cerpen

Dara, Gadis Dunia Maya (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung