Sebelum Ia Menyadari - Cerpen
Sebelum Ia Menyadari - Cerpen

Hujan telah reda, meninggalkan jalanan basah dan berkilau diterpa cahaya lampu jalan. Pemuda itu mengendarai motornya dengan kecepatan sedang sambil berusaha melawan kantuk yang mulai menyerangnya. Angin malam yang dingin menusuk hingga ke tulang, membuatnya menggigil di balik jaket tebalnya.
Matanya terasa berat, namun ia terus berusaha untuk tetap terjaga. Beberapa kilometer lagi ia akan tiba di tempat tujuannya. Jalanan cukup lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang sesekali melintas.
Tiba-tiba, saat ia menikung tajam, cahaya terang menyilaukan muncul dari arah berlawanan. Klakson panjang dan nyaring memecah keheningan malam. Detik berikutnya, ia merasakan tubuhnya melayang. Anehnya, ia tidak merasakan sakit atau nyeri. Ia hanya merasa seperti didorong ke arah yang berlawanan. Ia menoleh ke belakang dan melihat sebuah truk besar dengan lampu sorot yang menyala, berhenti di tengah jalan. Beberapa orang keluar dari kabin truk dengan wajah panik.
Pemuda itu tidak mengerti apa yang terjadi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang berubah pada dirinya. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ia menekan gas, motornya kembali melaju, dan ia melanjutkan perjalanannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Suasana malam semakin larut, sunyi dan dingin. Udara lembap bercampur dengan aroma aspal basah, dan cahaya lampu jalan yang meredup menciptakan suasana yang tenang. Perasaan aneh yang tadi ia rasakan masih belum hilang, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Tak lama kemudian, di kejauhan, tampak sebuah kedai kopi kecil dengan lampu yang menyala hangat. Kedai itu terlihat seperti oasis di tengah malam, memancarkan kehangatan dan keakraban. Cahayanya tampak berbeda, lebih lembut seolah mengundang, menawarkan jawaban atas pertanyaan yang berputar di benaknya.
Dengan mantap, ia membelokkan motornya menuju area parkir kedai. Jalanan basah dan dingin menyambutnya seperti biasa, membuatnya merasa kembali ke tempat yang sudah lama ia kenal.
Setelah mematikan mesin motornya, ia berhenti sejenak untuk mengamati sekeliling. Aroma kopi yang harum dan suara obrolan ringan dari dalam kedai membuatnya merasa nyaman dan damai. Meskipun dalam benaknya masih ada pertanyaan tentang kejadian aneh tadi, ia memilih untuk menyimpannya sementara dan melangkah masuk, mencari kehangatan dan jawaban yang mungkin tersembunyi di balik secangkir kopi hangat.
Udara masih menyisakan aroma tanah basah, bercampur dengan wangi khas kopi yang mengepul dari balik meja barista. Ia merapatkan jaketnya, mencoba menghalau hawa dingin yang merayapi kulitnya.
Baca juga: Dia Yang Sudah Lama Tertidur
Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak banyak pengunjung di kedai itu, hanya beberapa orang yang sibuk dengan urusannya. Seorang pria paruh baya duduk di pojok dengan secarik kertas lusuh di tangannya, sementara seorang wanita dengan laptop menyesap latte-nya tanpa benar-benar memperhatikan sekitar.
Pemuda itu melangkah menuju meja bar yang ada di sudut kedai dan memesan secangkir kopi dengan sedikit krim, lalu ia melangkah ke meja dekat pintu masuk. Ia menghela napas panjang, matanya menatap ke luar, memperhatikan genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan.
Ketika ia menoleh ke arah meja di ujung ruangan, ia melihat mereka.
Seorang wanita cantik duduk di sana, bersama seorang anak kecil yang tampak tenang di sampingnya. Pakaian mereka tampak bersih, nyaris terlalu rapi untuk suasana kedai yang sederhana ini. Namun, yang membuat pemuda itu merasa tidak nyaman bukanlah penampilan mereka, melainkan sesuatu yang lebih halus, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Mereka tidak bergerak.
Wanita itu hanya menatap lurus ke depan, matanya gelap seperti bayangan tanpa dasar. Anak kecil di sampingnya duduk dengan kepala sedikit miring, matanya kosong, seolah-olah sedang memperhatikannya.
Pemuda itu menelan ludah, dan perasaan tidak enak semakin menguat. Apakah ia pernah melihat mereka sebelumnya? Atau hanya perasaannya saja?
Ia mengalihkan pandangannya sejenak, mencoba membiarkan pikirannya jernih. Mungkin hanya ilusi, mungkin hanya pantulan cahaya yang aneh. Namun, ketika ia kembali menatap ke arah mereka, wanita itu sudah menoleh kepadanya perlahan, anggun, tapi dengan tatapan yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Udara di kedai yang seharusnya hangat mendadak terasa dingin, terlalu dingin.
Dan satu suara bergema di kepalanya.
"Kamu tidak seharusnya di sini."
Pemuda itu terkejut, tubuhnya seketika kaku. Ia menoleh ke arah anak kecil yang masih duduk diam. Bocah itu tiba-tiba tersenyum tipis, senyum yang terkesan aneh, dingin dan tanpa jiwa.
"Tuan... kopi Anda," suara wanita di bar memecah kesunyian. Pemuda itu terlonjak dan berbalik cepat. Wanita di bar kini menatapnya dengan ekspresi netral, sambil meletakkan secangkir kopi hitam di meja.
Baca juga: Pertengkaran Di Sore Hari
Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil cangkir itu. Dan ketika ia kembali menoleh, wanita dan anak kecil itu sudah menghilang. Kursi yang tadi mereka duduki kosong. Tak ada jejak mereka pernah ada di sana. Keningnya berkerut, jantungnya berdebar kencang. Dia yakin, dia tidak berhalusinasi. Mereka tadi ada di sana, nyata di depan matanya.
Ketika ia hendak menyesap kopinya, suara pintu kedai terbuka. Seorang pria tua dengan baju lusuh masuk. Tanpa menatap pemuda itu, pria tersebut langsung menuju meja tempat wanita dan anak kecil tadi duduk. Dia berhenti di sana, mengelus meja dengan tangan gemetarnya, matanya tampak berkaca-kaca.
"Dia... selalu di sini, bersama anaknya," gumam pria tua itu, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, bingung dengan apa yang baru saja didengarnya.
Tak lama, pria tua itu berbalik dan berjalan ke arah pemuda tersebut. "Kau tahu, kedai ini ditutup lebih dari lima tahun lalu," ucap pria itu dengan nada datar.
Pemuda itu terperangah. "Apa maksudmu? Aku di sini sekarang, di kedai ini..."
Pria tua itu menggeleng pelan. "Lima tahun lalu, seorang wanita dan anaknya tewas dalam kecelakaan di depan kedai ini. Sejak saat itu... mereka selalu kembali." Pandangan pria tua itu berubah dingin. "Dan kau, anak muda, kau bukan orang yang seharusnya berada di sini."
Pemuda itu tercekat. Sebelum sempat bertanya lebih jauh, pandangannya mulai kabur. Ia merasakan kakinya lemas, tubuhnya jatuh terduduk di kursi. Napasnya terengah-engah. Tiba-tiba, kenangan terlintas di benaknya, jalan sepi, malam dingin, suara deru mesin... dan kilatan cahaya terang menyilaukan dari truk besar yang melaju ke arahnya.
Dia tersentak. Perlahan-lahan, ia menyadari... tubuhnya mungkin masih tergeletak di jalan itu.
Tamat
Baca juga: Di Saat Turun Hujan
Berarti yang minum kopi di kedai itu arwahnya pemuda itu ya, soalnya ia habis ditabrak dan sampai mental ke dalam kali Ancol, cuma karena ngga sadar ia masih gentayangan mencari rongdo eh kopi espresso.π
BalasHapusJauh amat sampai ke kali Ancol..ngga jauh dari.rongdo nih orang.. wkwkwk..woi! Sadar woi..wkwkwk
HapusLho, kok komentar nya jadi dobel ya, apa mungkin karena eror tadi ya? π€
BalasHapusWaduh, sekarang malah jadi triple, jangan-jangan blog ini ada penunggunya pemuda tadi.πΆππ¨π¨π¨
BalasHapuspenunggunya mas agus π€£
HapusSetuju saya, Nif.. wkwkwk
HapusApa jangan" Pemuda tadi tewas dan itu adalah arwahnya?. Soalnya dia aja ngerasa ada yg aneh dan si wanita juga anaknya juga bilang gitu.. Eh si bapak itu juga bilang gitu...
BalasHapusEntahlah, kurang tau juga sayanya..wkwkwk
HapusWah, serem ini hihihi :D Si pemuda sepertinya terjaga dari pingsannya. Apa mungkin dia pengen minum kopi? :D Perempuan dan si anak yang waktu itu meninggal di depan kedai, penuh misteri ya. Kira2 apa tuh cahaya terang yang datang?
BalasHapusCahaya terang itu adalah cahaya fakta mbak.π
HapusNah itu sudah dijawab..wkwkwk
Hapus