Cinta Dalam Bayang-Bayang Keraguan - Cerpen

Cinta Dalam Bayang-Bayang Keraguan - Cerpen




cinta dalam bayang-bayang keraguan - cerpen


Senja merayap pelan di ufuk barat saat Hadi berdiri di tepi jembatan tua, memandangi sungai yang mengalir tenang. Angin sore menerbangkan beberapa helai rambutnya, tapi pikirannya lebih kacau dari arus air di bawah sana. Di tangannya, ada sebuah kotak kecil berisi cincin yang sudah ia siapkan sejak lama. Seharusnya ini menjadi momen yang sempurna untuk melamar Sinta, tetapi keraguan di mata gadis itu membuatnya bimbang.

Sinta berdiri tak jauh darinya, membelakangi, memandangi siluet matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Rambut panjangnya tergerai, berayun mengikuti hembusan angin sore yang sejuk. Biasanya, Sinta selalu ceria, penuh senyum. Tapi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya lebih sering kosong, ia tampak lebih sering diam dan merenung seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Apa yang kau pikirkan?" suara Hadi memecah keheningan.

Sinta menghela napas pelan sebelum menoleh. Ia tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa hambar. "Aku hanya berpikir... tentang kita."

Hadi mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"

Sinta menatapnya sejenak sebelum kembali menatap sungai di bawah jembatan. Ada kilatan ragu dalam matanya yang membuat Hadi semakin gelisah.

"Aku ragu, Had." Suaranya terdengar pelan, hampir tertelan angin. "Apakah perasaan ini nyata? Apakah kau benar-benar mencintaiku, atau... kau hanya merasa nyaman denganku?"

Hadi terdiam. Selama ini, ia mengira Sinta sudah tahu betapa dalam perasaannya. Namun, ternyata masih ada keraguan di sana.

"Haruskah aku mengulanginya lagi?" Hadi melangkah mendekat, suaranya lebih rendah. "Sinta, cinta bukan soal tanpa keraguan. Aku juga takut. Tapi aku memilih untuk tetap bertahan. Karena bagiku, kamu adalah satu-satunya yang ingin aku perjuangkan."

Sinta menatapnya dalam, namun ada ketakutan yang jelas tergambar di sana. "Tapi... bagaimana kalau suatu hari kau berubah? Bagaimana kalau cinta ini hanya sementara?"

Hadi menahan napas sejenak sebelum menjawab. "Pernahkah kau berpikir bahwa aku juga takut kehilanganmu?" katanya pelan. "Aku takut jika suatu hari kau pergi, aku tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpamu."

Mata Sinta mulai berkabut. Ia menunduk, menggigit bibirnya, seolah menahan emosi yang berkecamuk dalam dadanya. Hadi tahu Sinta bukan sekadar ragu. Ada luka dari masa lalu yang masih menghantui gadis itu, membuatnya sulit percaya bahwa cinta sejati memang ada.

"Aku tidak ingin kehilanganmu, Sin," lanjut Hadi. "Ingatkah kau pada semua kenangan yang sudah kita buat? Semua tawa, tangis, dan perjuangan? Itu bukan sesuatu yang mudah kulupakan. Aku yakin takdir kita memang untuk bersama."

Sinta masih diam, tapi Hadi bisa melihat matanya mulai berbinar.

"Tolong, jangan biarkan keraguan merusak semua ini," kata Hadi. "Percayalah padaku."

Sunyi menyelimuti mereka.

Di kejauhan, seorang wanita berambut pendek berjalan mendekati mereka. Dina, sahabat Sinta, sudah sejak tadi mengamati keduanya dari jauh. Ia tahu Sinta sering berpikir berlebihan tentang hubungan mereka. Dengan senyum kecil, Dina akhirnya ikut bergabung, berdiri di samping Sinta.


"Ada apa? Kalian berdua serius sekali," ujar Dina, mencoba mencairkan suasana.

Sinta menghela napas dan mengusap lengannya, tampak gelisah. "Aku hanya... takut."

"Takut apa?" Dina mengerutkan dahi.

"Takut kalau ini semua hanya sementara," jawab Sinta pelan. "Kalau aku akhirnya kehilangan Hadi."

Dina terkekeh. "Ya Tuhan, Sinta. Kau terlalu banyak berpikir." Ia menepuk bahu sahabatnya. "Aku mengenal Hadi lebih lama daripada kau. Aku bisa memastikan satu hal, dia bukan tipe pria yang mudah berpaling."

Sinta masih diam, tapi Hadi bisa melihat sedikit perubahan dalam ekspresi wajahnya.

"Dengar," lanjut Dina, lebih serius. "Aku tahu kau pernah terluka di masa lalu. Tapi kau tidak bisa membiarkan bayangan itu menghancurkan sesuatu yang sudah jelas ada di depanmu."

Hadi menatap Dina dengan penuh rasa terima kasih. "Aku sudah mengatakan ini pada Sinta, tapi dia masih ragu."

Dina menghela napas, lalu melipat tangan di dadanya, menatap Sinta dengan serius. "Sinta, kalau aku jadi kau, aku akan memegang tangannya sekarang dan berkata 'Aku percaya padamu' sebelum semuanya terlambat."

Sinta tersenyum kecil, tetapi sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, suara lain tiba-tiba menyela.

"Kalian ini drama banget, sih."

Hadi dan Sinta menoleh ke sumber suara. Dari belakang, seorang pria bertubuh tinggi berjalan mendekat dengan tangan di saku celananya. Iqbal, sahabat Hadi, Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi geli.

"Aku pikir kalian bakal bahagia selamanya tanpa perlu drama seperti ini," celetuknya.

Hadi mendesah, sementara Sinta terkekeh kecil. "Bukan drama, Bal. Aku hanya..." Sinta menggigit bibirnya, menatap Hadi dengan penuh kebimbangan. “Aku hanya perlu kepastian.”

Iqbal memutar matanya. "Sinta, kalau Hadi ini bukan pria yang setia, dia nggak akan ada di sini, di jembatan ini, dengan sebuah kotak kecil di tangannya."

Sinta membeku. Ia menatap tangan Hadi, yang ternyata masih menggenggam kotak kecil berisi cincin itu.

Hadi terkejut karena Iqbal langsung mengungkapkan rencananya, tapi akhirnya ia tersenyum. Ia membuka kotak itu perlahan, memperlihatkan cincin yang sudah lama ia siapkan.

"Sinta," ucapnya lembut, "Maukah kamu menjadi bagian dari hidupku selamanya?"

Sinta menatap cincin itu, lalu kembali menatap Hadi. Air mata menggenang di sudut matanya, tapi kali ini bukan karena ragu melainkan karena bahagia.

"Ya," jawabnya, suaranya bergetar.

Sejenak, dunia terasa berhenti berputar. Angin yang bertiup seolah membawa kebahagiaan di antara mereka. Hadi tersenyum lebar, lalu dengan tangan sedikit gemetar, ia menyematkan cincin itu di jari manis Sinta.

Dina bersorak kecil, sedangkan Iqbal bertepuk tangan dengan dramatis. "Akhirnya! Kupikir aku harus menulis skenario film untuk kalian dulu."


Sinta tersenyum di sela air matanya, sementara Hadi tertawa pelan. Saat itu juga, ia tahu tak ada lagi keraguan di antara mereka. Karena bagi Hadi, tak akan ada cinta yang lain selain Sinta.

**********

Hari-hari berlalu Sinta kini tampak lebih bahagia, lebih percaya diri, dan lebih yakin dengan hubungannya dengan Hadi. Namun, sebulan kemudian, ketika mereka mulai merancang rencana pernikahan.

"Aku melihat sesuatu yang mungkin kau perlu tahu," suara Dina terdengar serius saat menelepon Sinta.

Sinta, yang sedang duduk di kafe menunggu Hadi, mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Aku baru saja melihat Hadi bertemu dengan seorang perempuan di sebuah restoran. Mereka terlihat akrab, dan... entahlah, aku merasa kau harus tahu."

Dada Sinta langsung terasa sesak. "Perempuan? Siapa?"

Aku tidak tahu, tapi dia terlihat cantik dan sangat dekat dengan Hadi. Aku ingin berpikir positif, tapi aku juga tak mau kau disakiti."

Setelah telepon ditutup, pikiran Sinta dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Bayangan masa lalunya kembali menghantuinya. Apakah Hadi juga akan seperti yang lain? Apakah ia terlalu cepat percaya?

Saat Hadi tiba di kafe, ia melihat Sinta sudah duduk dengan ekspresi muram. Senyumnya menghilang begitu melihat wajah kekasihnya yang dingin.

"Sinta, ada apa?" tanyanya, duduk di seberangnya.

Sinta menggenggam cangkir kopinya dengan erat. "Kau bertemu dengan siapa tadi?"

Hadi mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Seorang perempuan. Di restoran." Tatapan Sinta tajam, penuh curiga.

Hadi terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. "Oh, itu."

"Jadi kau mengakuinya?" Nada suara Sinta sedikit meninggi.

Hadi mengusap wajahnya dengan lelah. "Sinta, dia bukan siapa-siapa. Namanya Diah, teman lama dari kampus. Dia hanya ingin bertanya sesuatu soal bisnis."

Sinta menggeleng. "Kalau dia hanya teman, kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?"

Hadi terdiam. Ia sadar Sinta memiliki luka dari masa lalu yang membuatnya sulit percaya. Tapi dituduh seperti ini tetap saja menyakitinya.

"Aku tidak memberitahumu karena aku tidak berpikir itu penting," jawabnya akhirnya. "Aku tidak ingin membuatmu khawatir untuk sesuatu yang tidak ada artinya."

"Tapi lihat sekarang, aku tetap khawatir." Mata Sinta mulai berkaca-kaca.

Hadi meraih tangan Sinta dengan lembut. "Sinta, aku mencintaimu. Tidak ada yang lain, tidak akan pernah ada. Jika aku berniat menyakitimu, aku tidak akan sejauh ini."

Sinta menatap mata Hadi dalam-dalam. Ia ingin mempercayai kata-kata itu, ingin percaya bahwa Hadi berbeda dari pria lain yang pernah membuatnya kecewa. Tapi ketakutan itu tetap ada.

"Beri aku waktu," bisik Sinta akhirnya.


Hadi menatapnya dengan kecewa, tapi ia tahu Sinta butuh itu. "Baik. Tapi jangan terlalu lama, karena aku tidak akan pergi ke mana-mana."

**********

Beberapa hari berlalu, dan hubungan mereka menjadi lebih dingin. Hadi tetap bersabar, memberi Sinta ruang untuk berpikir, meskipun hatinya sendiri sakit.

Suatu malam, ia duduk di depan rumahnya, menatap foto mereka berdua di ponselnya. Ia rindu senyum Sinta, rindu kebersamaan mereka sebelum semua ini terjadi.

Tiba-tiba, teleponnya berdering. Dari Iqbal.

"Hadi, kau harus datang ke kafe sekarang," suara Iqbal terdengar mendesak. "Aku bingung, harus bilang ke siapa dulu. Aku tahu ini bukan urusanku, tapi aku rasa kau perlu tahu, Had."

"Ada apa?"

"Sinta. Dia ada di sini bersama seorang pria."

Darah hadi berdesir. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengambil kunci mobil dan bergegas ke kafe tempat Sinta biasa pergi.

Begitu tiba, ia langsung melihat Sinta duduk di pojokan, berhadapan dengan seorang pria yang tidak dikenalnya. Mereka berbicara dengan serius, dan sesekali pria itu menyentuh tangan Sinta dengan lembut. Hadi merasa hatinya seperti diremas melihat pemandangan itu.

Hadi terpukul. Apakah Sinta mempertimbangkan seseorang yang lain?

Tanpa berpikir panjang, ia berjalan mendekat. "Sinta."

Sinta tersentak dan mendongak. Ekspresinya terkejut melihat Hadi berdiri di sana.

"Hadi, aku..."

Hadi menatap pria itu dengan tajam. "Siapa dia?"

Pria itu tersenyum tipis. "Aku Fadli. Mantan Sinta."

Hadi mengatupkan rahangnya. "Dan kenapa kau di sini?"

Fadli menatap Sinta sejenak sebelum menjawab, "Aku hanya ingin memastikan sesuatu."

Sinta menunduk, terlihat gelisah. Hadi merasa dadanya semakin sesak.

"Apa yang ingin kamu pastikan?" tanyanya dingin.

Fadli tersenyum kecil. "Apakah Sinta masih mencintaiku atau tidak."

Suasana menjadi tegang. Hadi menatap Sinta, alisnya sedikit terangkat, menunggu jawabannya.

Dan saat Sinta akhirnya mengangkat wajahnya, ia berkata dengan suara mantap.

"Aku tidak mencintaimu lagi, Fadli."

Fadli terdiam. Hadi juga terkejut, tapi hatinya lega.

Sinta melanjutkan, "Aku memang sempat ragu. Aku takut Hadi akan seperti dirimu. Tapi sekarang aku sadar, aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu."

Sinta menoleh ke arah Hadi, matanya berkaca-kaca, penuh kehangatan. "Aku mencintaimu, Hadi. Aku seharusnya tidak membiarkan ketakutanku menghalangi kebahagiaan kita."

Hadi menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Akhirnya kau sadar juga."

Sinta tersenyum malu-malu. "Maaf sudah membuatmu menunggu."

Hadi meraih tangan Sinta dan menggenggamnya erat. "Tak masalah. Aku akan selalu menunggumu, karena tak akan ada cinta yang lain selain kamu."

Di sudut ruangan, Iqbal dan Dina saling pandang sebelum tertawa kecil.

"Dramanya akhirnya selesai," bisik Iqbal.

"Tapi setidaknya, mereka akhirnya bahagia." Dina tersenyum.

Dan malam itu, di antara obrolan dan tawa, Hadi dan Sinta tahu bahwa mereka akhirnya benar-benar menemukan tempat mereka yang sesungguhnya.



Tamat

Komentar

  1. Ya ampun
    cinta anak abg mah memang begitu ya
    penuh drama segala
    terlali sensi dan pakai rasa hahaha

    BalasHapus
  2. Akhirnya happy ending ya, Sinta dan Hadi akhirnya jadian.

    Btw, kenapa Sinta sampai trauma sama Fadli ya, apa ia lihat Fadli cipokan sama Kha*** makanya trauma.😂

    BalasHapus
  3. sifat kebanyakan wanita, udahlah pria korbankan semua, masih ragu juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya mungkin seperti itulah wanita.. wkwkwk

      Hapus
  4. Aku sukaaa ceritanya. Akhirnya Sinta bisa yakin dengan perasaan sendiri. Memang hrs ketemu mantan dulu utk bisa tahu pasangan yg skr adalah yg terbaik yaa 👍

    BalasHapus
  5. ah ini ceritanya belum selesai,hrsnya selanjutnya Iqbal sama dina juga jadian.atau dina sama fadli juga bolehlah,,,hmmm..

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen

Untuk Irfan: Cerita Yang Tak Selesai - Cerpen

Adakah Pertemuan Di Cerita Kita? (Masih Ada Sedikit Harapan) - Cerpen

Dara, Gadis Dunia Maya (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung