Langkah Pertama, Memaafkan (#1) - Cerbung
Langkah Pertama, Memaafkan (#1) - Cerbung
Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai kamar Nina, memaksanya membuka mata yang sembap karena tangis semalam. Udara di kamar itu terasa pengap. Aroma kopi dingin sisa semalam tercium dari meja samping tempat tidur. Nina menggeliat malas, mencoba membalikkan tubuh dan melanjutkan tidur, tetapi sia-sia saja. Cahaya yang hangat itu terus mengusik, membuatnya mendesah frustrasi.
"Pergilah, matahari sialan! Kenapa juga harus menyelinap masuk lewat jendela dan tirai? Aku jadi tidak bisa tidur lagi," gumamnya kesal.
Hatinya terasa berat. Ini hari ketiga sejak perpisahannya dengan Gilang, pria yang telah mengisi hidupnya selama tiga tahun terakhir. Dia tak pernah membayangkan hubungan mereka akan berakhir secepat ini tanpa peringatan, tanpa alasan yang masuk akal. Hanya satu pesan singkat yang diterimanya: "Aku sudah menemukan yang lebih baik. Maaf."
Nina mengerang, memeluk bantalnya lebih erat. Tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan, dan Yuni, sahabatnya sejak kuliah, masuk membawa secangkir kopi.
"Kamu masih seperti ini? Jangan bilang kamu belum mandi selama tiga hari," katanya tanpa basa-basi.
Nina mendongak, menatap Yuni dengan mata sayu. "Memangnya aku kelihatan seperti orang yang peduli soal mandi?"
Yuni mendesah sambil meletakkan kopi di meja. "Aku tidak akan ceramah panjang. Tapi, Nina, kamu tidak bisa terus seperti ini. Kamu harus keluar dari kamar ini."
"Untuk apa? Semuanya sudah hancur," jawab Nina lirih.
Pintu kembali terbuka, kali ini Dian masuk dengan wajah cerah, membawa kantong berisi roti. "Kudengar ada yang galau di sini," katanya santai. "Hai, Nina. Makan dulu, kamu terlihat seperti mayat hidup."
Nina hanya memutar mata. "Jadi, kalian datang untuk mengasihani aku?"
"Justru karena kami peduli," jawab Yuni tegas. "Nina, kamu itu terlalu pintar untuk menyia-nyiakan waktu menangisi seseorang yang tidak layak."
Nina menghela napas panjang. Kata-kata Yuni dan Dian terdengar seperti klise yang sudah terlalu sering didengarnya. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu mereka benar. Hanya saja, luka itu masih terlalu segar untuk diabaikan begitu saja.
"Aku tidak butuh ceramah, Yun. Dan, Dian, terima kasih sudah datang dan membawa kopi serta roti, tapi aku tidak lapar," katanya dengan suara datar.
Yuni dan Dian saling pandang, seolah membaca pikiran satu sama lain. Dian lalu menarik kursi, duduk di dekat Nina, sementara Yuni menyilangkan tangan di dada.
"Baiklah, kalau tidak mau makan atau mandi, tidak apa-apa. Tapi kamu harus dengar kami dulu," kata Dian lembut.
"Apalagi sekarang?" Nina membalikkan badan dan menatap langit-langit dengan mata lelah.
Yuni dan Dian, yang sudah terbiasa menghadapi sikap keras kepala Nina, saling berpandangan. Mereka tampak khawatir, Yuni mengerutkan kening, sementara Dian menggigit bibir bawahnya. Dian akhirnya membuka suara dengan nada lebih lembut.
"Kami tahu kamu sakit hati, Nin. Siapa yang tidak sakit kalau dikhianati seperti itu? Tapi dunia tidak berhenti hanya karena Gilang pergi," ucap Yuni.
"Nina, kami tahu ini berat. Kamu tidak harus berpura-pura kuat di depan kami. Menangislah kalau kamu mau, berteriaklah kalau itu membuatmu lega. Tapi kamu juga harus sadar, Gilang pergi bukan berarti hidupmu berakhir." sambung Dian.
Nina masih tak bereaksi, tapi Yuni tak menyerah.
"Jika kamu terus-terusan mengurung diri seperti ini, kamu hanya membuktikan kalau dia benar, bahwa kamu lemah tanpanya," ujar Yuni sambil menekankan nada pada kata-katanya.
Ucapan itu memancing emosi Nina. Matanya menyipit, tak terima dengan tuduhan itu.
"Dia bukan segalanya buatku," katanya dengan suara bergetar, nyaris seperti gumaman.
"Kalau begitu, buktikan," sahut Yuni cepat. "Buktikan bahwa kamu lebih dari sekadar mantan pacar Gilang."
=============== Apakah Memang Dia? ===============
Dian tersenyum kecil, merasa ada celah di balik tembok keras Nina. Ia duduk di tepi ranjang, memegang tangan Nina. "Aku tahu kamu kuat, Nin. Kamu cuma lupa sekarang. Kami tidak akan memaksamu bangkit. Tapi pikirkan ini: apa yang kamu lakukan hari ini akan menentukan siapa dirimu besok. Kamu mau dikenal sebagai Nina yang menyerah, atau Nina yang terus berjuang?"
Nina menghela napas panjang, merasakan konflik dalam dirinya. Ia ingin terus bersembunyi dari dunia, tetapi ia pun menyadari bahwa teman-temannya ada benarnya. Ia tak bisa terus seperti ini.
"Baiklah," katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku akan mencoba. Tapi jangan harap aku langsung berubah."
Yuni tersenyum tipis, merasa puas dengan jawaban itu. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu mau mencoba."
Dian menatap jam tangannya dan mendesah. "Baiklah, Nina, kami tidak mau mengganggumu lama-lama. Kami harus pergi karena ada janji lain. Tapi ingat, kami selalu ada jika kamu butuh sesuatu."
"Kami percaya kamu bisa," tambah Yuni sambil berdiri. "Aku tinggalkan roti dan kopi di sini, ya. Kalau lapar, makanlah. Jangan terlalu menyiksa diri."
Keduanya melangkah ke pintu, tapi sebelum keluar, Dian berbalik, "Dan tolong, Nina, setidaknya mandi dulu, ya. Kamu pasti akan merasa lebih baik setelah itu."
Nina hanya mengangguk pelan, lalu menatap pintu yang menutup di belakang mereka. Setelah kamarnya kembali sepi, ia menatap cangkir kopi dan roti di meja. Perlahan, ia meraih cangkir itu, menghirup aromanya, lalu menyeruputnya sedikit.
Nina meletakkan cangkir kopi di pangkuannya, matanya menerawang ke arah jendela, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata Yuni dan Dian. Ia tahu teman-temannya benar, tapi hatinya belum siap untuk sepenuhnya menerima kenyataan hidup tanpa Gilang.
Perlahan, ia menggeser tubuhnya dari tempat tidur dan melangkah menuju cermin di sudut kamar. Di cermin, terpantul sosok yang hampir tak dikenalnya: wajah kusut, lelah, dengan mata berkantung hitam. Namun, di balik semua itu, sepercik kekuatan mulai muncul, menolak untuk menyerah pada kesedihan. Ia tahu dirinya tidak boleh membiarkan rasa sakit ini mendefinisikan siapa dirinya.
Nina mengambil napas panjang. Ia berjalan ke kamar mandi, membiarkan air dingin menyentuh kulitnya, seolah mencuci segala beban yang menumpuk selama tiga hari terakhir. Setelah selesai, ia berdiri di depan lemari, memilih pakaian sederhana namun rapi. Ia merasakan ada sesuatu dalam dirinya perlahan berubah, perubahan kecil, tapi terasa penting.
Saat Nina duduk kembali di atas tempat tidurnya, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Ratih, teman lamanya yang sempat dekat dengan Gilang.
"Halo, Nina. Aku tahu ini mendadak, tapi aku perlu bicara soal Gilang. Bisa kita bertemu?"
Nina membaca pesan itu berulang kali, dahinya berkerut. Untuk apa Ratih tiba-tiba ingin bertemu dan berbicara soal Giang? Apa yang ingin dibicarakannya? Kecurigaan dan rasa ingin tahu bercampur aduk di benak Nina. Setelah beberapa menit, dia mengetik balasan: "Oke. Besok jam 3 di kafe dekat taman."
Ratih langsung membalas: "Deal. Sampai ketemu."
***************
Esok harinya, Nina tiba lebih awal di kafe, dia memesan segelas jus jeruk untuk menemaninya menunggu Ratih. Hatinya gelisah, dipenuhi pertanyaan tentang apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Ratih. Sepuluh menit kemudian, Ratih muncul di pintu kafe dengan langkah sedikit ragu ia menghampiri Nina. Ratih duduk di hadapan Nina dan memesan secangkir kopi. Setelah hening beberapa saat, Ratih akhirnya membuka pembicaraan.
"Aku tidak tahu memulai dari mana," kata Ratih, suaranya pelan namun terdengar serius, "tapi aku rasa kamu perlu tahu sesuatu tentang Gilang."
Nina menatapnya tajam, mencoba membaca maksud dari kata-kata Ratih. "Apa maksudmu? Jangan bilang ini soal hubunganmu dengan dia," jawab Nina ketus, matanya menyipit curiga.
Ratih menatap Nina dengan ekspresi bersalah. Ia mengambil cangkir kopi, menggenggamnya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ada jeda panjang sebelum ia akhirnya berbicara, suaranya bergetar.
"Iya, Nina. Ini tentang aku dan Gilang."
Nina terdiam, napasnya tercekat, mata membulat, dan kedua tangannya mengepal di atas meja. "Apa? Jadi kamu dan dia...?"
Ratih mengangguk pelan, air matanya mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku tahu aku salah, Nina. Aku tahu ini salah sejak awal. Tapi... aku jatuh cinta padanya."
Nina menggeleng tak percaya, napasnya tersengal. "Kamu jatuh cinta padanya? Kamu tahu dia pacarku, Ratih. Kamu tahu itu! Bagaimana bisa kamu melakukannya?"
"Aku telah berbuat kesalahan besar, Nina. Aku tahu itu. Aku tahu aku mengkhianatimu. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana keluar dari situasi itu. Aku sudah mencoba menjauh, tapi Gilang... dia terus mendekatiku," ujar Ratih, tangisnya pecah.
"Dan kamu membiarkannya," potong Nina, nadanya dingin. "Kamu membiarkan dia membohongi aku. Kamu membiarkan dia menghancurkan semuanya."
=============== Rasa Yang Telah Terbunuh ===============
Ratih tidak menjawab, hanya menundukkan kepalanya lebih dalam. Air mata deras jatuh di pipinya. "Dia meninggalkan aku juga, Nina. Tanpa peringatan, tanpa penjelasan. Dia hanya pergi. Sama seperti dia meninggalkanmu."
Nina merasa dadanya sesak. Kemarahan dan rasa sakit membanjiri dirinya. "Dan sekarang kamu ingin apa, Ratih? Kamu ingin aku merasa kasihan padamu?"
"Tidak," jawab Ratih dengan suara lemah. "Aku tidak pantas mendapatkan simpati apa pun darimu. Aku hanya... aku hanya ingin jujur. Aku tidak ingin lagi hidup dengan kebohongan ini."
"Kamu tahu apa yang paling menyakitkan?" Nina berkata, suaranya dingin dan tajam. "Bukan karena Gilang pergi. Tapi karena kamu, Ratih. Kamu adalah temanku. Kamu adalah orang yang aku percaya. Dan kamu mengkhianatiku."
Ratih menutup wajahnya dengan kedua tangan, terisak pelan. "Aku tahu aku sudah menghancurkan segalanya. Aku tahu kata maaf pun takkan cukup. Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya, Nina."
Nina membisu, menyaksikan Ratih yang terisak di hadapannya. Hatinya terasa perih, namun di balik itu, ada rasa aneh dari kepastian. Pengakuan Ratih mengkonfirmasi apa yang selama ini ia curigai: ini bukan hanya tentang Gilang. Pengkhianatan datang dari orang yang paling ia percayai lebih dari dirinya sendiri.
Ratih akhirnya berdiri, wajahnya penuh penyesalan. "Aku akan pergi sekarang. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Tapi aku berharap suatu hari kamu bisa melanjutkan hidupmu tanpa bayang-bayang semua ini. Dan aku juga berharap suatu hari kamu bisa memaafkanku, meskipun aku tahu aku tidak pantas mendapatkannya"
Tanpa menunggu jawaban, Ratih meninggalkan kafe, meninggalkan Nina sendirian dengan pikirannya yang berkecamuk. Sepeninggal Ratih, Nina masih terpaku, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan kafe, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Ratih.
***************
Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata Ratih terus terngiang di kepalanya, bercampur dengan rasa sakit dan amarah yang belum sepenuhnya reda. Sesampainya di kamar, emosinya yang tertahan sejak tadi akhirnya meledak. Semua bercampur menjadi satu memenuhi dadanya, membuatnya sulit bernapas, sesak, marah, dan kecewa. Belum sempat ia meredakan gejolak dalam dirinya, tiba-tiba pintu di ketuk dari luar, dan Yuni serta Dian sudah berdiri di ambang pintu.
Kedatangan Yuni dan Dian seakan menjadi pemicu. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, seolah-olah mereka telah membuka bendungan yang selama ini menahan rasa sakitnya. Nina terduduk di lantai, tubuhnya bergetar hebat, isakannya memecah kesunyian kamar.
Seketika Yuni berlutut dan memeluknya erat tanpa kata, sementara Dian menutup pintu kamar, memberikan mereka ruang.
"Dia... Ratih..." Nina tergagap di antara isaknya. "Dialah yang merebut Gilang dariku... Dan dia berani datang menemuiku, mengakui semuanya! Aku... aku merasa bodoh. Mereka berdua... Gilang dan Ratih sebegitu teganya melukaiku! Mereka mengkhianati kepercayaanku!"
Yuni mengusap punggung Nina, mencoba menenangkan tangisnya. Dian ikut bergabung, membelai bahunya dengan lembut. Mereka tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan Nina menangis dalam pelukan mereka.
Setelah beberapa saat, tangis Nina mereda. Keheningan menyelimuti kamar, hanya diisi deru napas mereka. Yuni menatap Nina dengan lembut dan berkata, "Nina, aku tahu ini menyakitkan. Tapi kamu sudah melakukan langkah besar dengan mendengarkan dia. Itu artinya kamu sudah mulai menerima kenyataan."
"Dan kamu harus sadar, ini bukan salahmu. Mereka yang salah. Gilang dan Ratih yang memutuskan untuk menghancurkan kepercayaanmu." Dian menambahkan.
Tiba-tiba, emosinya kembali memuncak. "Apa aku begitu lemah? Apa aku sebegitu tidak berharganya hingga mereka bisa menginjak-injak aku seperti ini?" Nina berteriak, menghapus air matanya dengan kasar.
"Kamu tidak lemah, Nina. Justru karena kamu percaya, itulah kekuatanmu. Ratih dan Gilang yang salah karena menyalahgunakan kepercayaan itu. Tapi dengar, kamu tidak boleh membiarkan kesalahan mereka mendefinisikan dirimu," bisik Yuni lembut.
Nina menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Tapi emosinya masih meluap. "Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku marah. Aku kecewa. Aku tidak tahu harus mempercayai siapa lagi."
Yuni dan Dian saling pandang sejenak, lalu Yuni menggenggam tangan Nina dengan erat. "Nina, rasa marah dan kecewa itu wajar. Tapi kamu harus ingat, tidak semua orang seperti mereka. Kamu punya kami, dan kami tidak akan pernah mengkhianati kepercayaanmu."
Dian mengangguk setuju. "Kami tahu ini tidak mudah. Tapi kamu harus bangkit, Nina. Tidak untuk mereka, tapi untuk dirimu sendiri."
Nina menunduk, menghela napas panjang, air mata masih mengalir, namun kali ini lebih tenang. "Aku merasa seperti kehilangan segalanya. Aku tidak tahu lagi harus mulai dari mana," ucapnya dengan suara bergetar.
Bersambung
=============== Dia Yang Kusayang ===============
memang yang namanya penghianatan sangat menyakitkan, apalagi di hianati sahabat sendiri, masalah cinta, rasanya dunia mau kiamat :D
BalasHapusNgga juga.. hahaha.
Hapusoh gitu ya mas :D
Hapusperempuan emang sering gamon di awal, tinggal tunggu aja penyesalan gilang nanti
BalasHapusOke, kita tunggu..hihihi
HapusSakitnya ditikung teman sendiri tuh, lukanya bakal lama sembuhnya
BalasHapusIya kalau bisa sembuh, kalau ngga gimana?
HapusBetapa penting ya bisa memaafkan diri sendiri.
BalasHapusPenting tapi susah..
HapusMemaafkan....kayaknya gampang,tapi susah, apalagi masalah begini...galau sejenak enggak apa...jangan lama-lama..rugi doonk nangisin orang yang enggak layak ditangisi..yg ada dia seneng" sementara yg satunya ancur.
BalasHapusNgga rugi juga kok.. hihihi
HapusNina ngga usah sedih banget gitu, di dunia cowok bukan hanya Gilang, masih ada Herman dan khanif.😁
BalasHapusBetul tuh kata Mas Agus.. wkwkwk. Ngomong-ngomong si Nina itu orang mana, Mas?
Hapusada juga mas agus duda idola perawan :D
Hapus