Misteri Di Balik Senja (#2) - Cerbung

Misteri Di Balik Senja (#2) - Cerbung




misteri di balik senja (#2) - cerbung


Saat matahari sore mulai beranjak pergi, Lintang kembali berdiri di depan rumah besar milik Ibu Dyah. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyimpan rahasia yang menanti untuk diungkapkan.

Ia melangkah memasuki gerbang yang berkarat, namun kali ini tidak langsung menuju pintu utama. Sebagai gantinya, ia mengitari sisi rumah menuju halaman belakang.

Begitu ia tiba di sana, napasnya tercekat.

Taman kecil yang disebutkan di buku harian itu memang ada, tetapi telah lama dibiarkan terbengkalai. Rerumputan liar menjalar di mana-mana. Sisa-sisa jalur batu yang dulu mungkin membentuk lingkaran kini hampir tertutup semak belukar. Di sudut taman, sebuah bangku kayu berdiri rapuh di bawah pohon flamboyan yang menjulang.

Lintang berjalan perlahan, matanya meneliti setiap sudut taman, mencari sesuatu yang mungkin pernah disembunyikan Galuh. Langkahnya terhenti di dekat bangku kayu itu ketika ia melihat sesuatu yang aneh, tanah di bawah bangku itu tampak lebih gembur, seolah baru saja digali atau ditutupi kembali.

Rasa penasaran mendorongnya untuk berjongkok dan mengais tanah itu dengan tangannya. Beberapa saat kemudian, jarinya menyentuh sesuatu yang keras. Dengan hati-hati, ia menarik benda itu keluar, sebuah kotak kayu kecil.

Jantungnya berdegup cepat saat ia membuka kotak tersebut. Di dalamnya, ia menemukan seuntai kalung perak dengan liontin berbentuk hati dan selembar surat.

Dengan hati-hati, Lintang membuka lipatan surat itu dan mulai membacanya.

"Untuk siapa pun yang menemukan ini, aku meninggalkan sesuatu di sini karena aku tidak tahu apakah ada yang benar-benar peduli. Kadang, aku merasa seperti bayangan di rumah ini, terlihat tetapi tak pernah benar-benar ada. Jika kamu membaca ini, berarti aku tak lagi bisa menceritakan kisahku sendiri. Ada sesuatu di rumah ini... sesuatu yang menahanku. Aku ingin bebas, tetapi aku takut melupakan kenangan yang kusimpan di sini. Jika suatu hari ada seseorang yang cukup peduli untuk mencariku, carilah aku di waktu senja. Di waktu itulah, aku merasa paling nyata."
Tertanda, Galuh.

Lintang merasakan bulu kuduknya berdiri. Ada yang lebih dalam dari sekadar pertemuan aneh itu. Merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimutinya saat membaca surat itu, Lintang menyimpulkan bahwa, Galuh tidak hanya meninggalkan kenangan, ia mungkin terjebak di antara dunia yang hidup dan yang telah tiada.

Suara langkah pelan terdengar di belakangnya membuat Lintang menoleh cepat. Ibu Dyah berdiri di sana. "Apa yang kamu temukan?" tanyanya.

Lintang menyerahkan kotak dan surat itu. Ibu Dyah membacanya dalam diam, air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Ibu selalu tahu dia menyimpan sesuatu di sini…" ucapnya. "Tapi ibu terlalu takut untuk mencarinya."

Lintang menatap wanita itu dengan penuh simpati. "Apa Ibu pernah merasakan sesuatu yang aneh di kala senja?"

Ibu Dyah mengangguk pelan. "Setiap kali matahari hampir tenggelam, ibu merasa seperti dia ada di sini. Kadang-kadang, ibu mendengar suaranya memanggil dari taman ini… tetapi saat ibu datang, tidak ada siapa pun."


"Mungkin dia mencoba memberitahu kita sesuatu, Bu. Saya rasa, Galuh belum benar-benar pergi."

Ibu Dyah menatap Lintang, rasa harapan bercampur ketakutan di matanya. "Apa yang harus kita lakukan?"

Lintang menatap langit yang mulai berubah gelap. Hatinya mengatakan bahwa jawaban ada di kala senja, dan ia bertekad untuk menemukannya.

"Kita harus kembali di waktu senja," jawabnya pelan. "Mungkin… dia masih menunggu seseorang untuk membebaskannya dari bayang-bayang masa lalu."

**********

Malam menjelang, saat Lintang duduk di kursi ruang tamu rumah Ibu Dyah. Aroma teh melati menguar dari cangkir di hadapannya, tetapi pikirannya terlalu sibuk memikirkan Galuh sampai tak menyadari minuman hangat itu. Ibu Dyah duduk di seberangnya, memandangi kalung dan surat yang baru saja mereka temukan di taman belakang.

"Kalung ini... milik Galuh," ucap Ibu Dyah, suaranya terdengar pelan seperti berbisik. "Terakhir ibu melihatnya tergeletak di atas meja belajar di dalam kamarnya, pada hari Galuh dimakamkan."

Lintang menatap kalung itu lekat-lekat. Liontin berbentuk hati bersinar samar di bawah cahaya lampu yang redup, seolah menyimpan rahasia yang belum terungkap.

"Ibu yakin tidak ada yang mengambilnya dari kamar Galuh?" tanya Lintang, mencoba merangkai potongan teka-teki ini.

Ibu Dyah menggeleng lemah. "Setelah dia meninggal, kamarnya tak pernah dibuka. Ibu terlalu takut untuk menyentuh barang-barangnya. Kamar itu tetap seperti terakhir kali dia tinggalkan."

Lintang mengangguk pelan. "Kalau begitu, bolehkah saya melihat kamar Galuh? Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa memberi kita jawaban."

Ibu Dyah terdiam sesaat sebelum akhirnya berdiri. "Ikutlah," katanya pelan.

Kamar Galuh berada di lantai dua. Ibu Dyah membuka pintunya perlahan, seakan takut membangunkan sesuatu yang tertidur di dalamnya.

Kamar itu tertata rapi, tetapi lapisan debu tipis menutupi sebagian besar permukaannya. Beberapa poster menempel di dinding, rak buku berisi novel-novel, dan di sudut kamar berdiri membisu sebuah meja belajar.

Lintang melangkah masuk, perasaan aneh menyelimutinya. Ia merasakan hawa dingin yang berbeda dari bagian rumah yang lain. Ia berjalan mendekati meja belajar yang penuh dengan buku dan pernak-pernik pribadi. Di atas meja, ada bingkai foto kecil.

Ia mengambilnya dan mengamatinya. Dalam foto itu, Galuh tampak tersenyum lembut, mengenakan sweater berwarna jingga yang telah ia tinggalkan di mobilnya malam itu. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Di latar belakang foto, samar-samar terlihat bayangan seseorang berdiri di balik jendela.

"Bu... siapa yang mengambil foto ini?" tanya Lintang, menyerahkan bingkai itu pada Ibu Dyah.

Wanita itu mengerutkan kening. "Ibu tidak ingat... Mungkin saja dia memotretnya sendiri."

Lintang merasa ada yang tidak beres. Bayangan di foto itu terasa aneh dan mengganggu.


Lintang membuka salah satu laci dari meja belajar dan menemukan setumpuk surat. Beberapa di antaranya ditujukan kepada seseorang bernama Sena.

"Bu, Sena itu siapa?" tanya Lintang, menunjukkan salah satu surat.

Ibu Dyah mendekat dan menghela napas berat. "Sena adalah kekasih Galuh. Mereka saling mencintai tetapi di malam kecelakaan itu, mereka bertengkar hebat. Sena pergi dengan marah, dan Galuh mengejarnya, sampai akhirnyao kecelakaan itu terjadi."

Lintang merasakan sesuatu mencengkeram hatinya. "Apa yang terjadi pada Sena?"

Ibu Dyah menggeleng. "Aku tidak tahu. Setelah Galuh pergi, dia menghilang begitu saja. Tidak ada kabar, tidak ada jejak."

Lintang kembali melihat surat-surat itu. Dengan hati-hati, ia membuka salah satu surat yang ditujukan untuk Sena dan mulai membaca.

"Sena, jika kamu membaca ini, aku ingin kamu tahu aku tidak pernah benar-benar marah padamu. Aku hanya takut kehilanganmu. Aku ingin kita berbicara lagi, aku ingin memperbaiki semuanya. Jika aku pergi lebih dulu, carilah aku di senja. Karena di sanalah hatiku selalu berada."

Lintang terdiam. Kalimat terakhir itu sama seperti yang ditulis Galuh di buku hariannya.

Ia menatap Ibu Dyah. "Saya harus bertemu dengan Sena," ucap Lintang pelan. "Bu, boleh saya membawa surat ini?"

Ibu Dyah mengangguk pelan.

**********

Beberapa hari kemudian, setelah mencari informasi dari teman-teman lama Galuh, Lintang akhirnya menemukan alamat terakhir Sena. Ia tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, jauh dari keramaian.

Lintang mengetuk pintu. Tak lama kemudian, seorang pemuda membuka pintu, wajahnya tampak lelah dan penuh kesedihan yang terpendam.

"Sena?" tanya Lintang.

Pemuda itu menatapnya tajam. "Ya, Anda siapa?"

"Saya Lintang. Saya ingin bicara tentang Galuh."

"Galuh?" mata Sena melebar tak percaya. Ia menghela napas panjang, tampak ada pergulatan batin sebelum akhirnya membukakan pintu lebih lebar dan berkata, "Masuklah."

Lintang masuk dan merasakan suasana di dalam rumah begitu suram. Tidak ada banyak perabot, hanya ada tiga buah kursi dan meja plastik serta beberapa bingkai foto yang diletakkan di rak kayu. Di antaranya, ada foto Galuh.

Sena mempersilakan Lintang duduk di salah satu kursi plastik, tatapannya masih penuh kebingungan. "Bagaimana Anda mengenal Galuh?" tanya Sena, suaranya datar.

Lintang menatapnya dalam-dalam. "Saya bertemu dengannya beberapa malam yang lalu."

Sena mematung, raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. "Apa?!" ucapnya setengah berteriak, seolah tak yakin dengan apa yang didengarnya."

"Saya tahu ini sulit dipercaya, tetapi Galuh... dia muncul di hadapan saya. Dia berbicara, dia meninggalkan sweater-nya di mobil saya, dan dia membawa saya ke rumahnya." Lalu Lintang menceritakan semua kejadian yang ia alami yang berhubungan dengan Galuh.


Sena tampak terguncang. "Tidak... itu tidak mungkin."

Lintang mengeluarkan sepucuk surat. "Ini untukmu," katanya pelan.

Dengan tangan gemetar, Sena mengambil surat itu dan mulai membacanya. Saat ia sampai pada kalimat terakhir, matanya berkaca-kaca.

"Aku bodoh." bisiknya. "Aku pergi tanpa pernah melihat ke belakang... Aku membiarkan dia pergi dengan kemarahan..."

Lintang menepuk bahu Sena pelan. "Galuh ingin kamu tahu bahwa dia tidak pernah benar-benar marah padamu. Dia ingin kamu mengingatnya dengan cinta, bukan dengan rasa bersalah."

Sena terdiam cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Aku harus pergi ke sana. Ke rumahnya. Ke tempat di mana surat dan kalung Galuh ditemukan."

Lintang mengangguk. "Aku akan menemanimu."

Tanpa menunda lebih lama lagi, Lintang dan Sena segera beranjak menuju rumah Galuh. Keheningan menyelimuti mereka selama perjalanan. Baik Lintang maupun Sena larut dalam pikiran masing-masing, membawa harapan dan pertanyaan yang belum terjawab. Ketika mereka tiba, matahari mulai terbenam.

Mereka langsung menuju ke taman belakang rumah Ibu Dyah. Mereka berdiri di bawah pohon flamboyan, di depan bangku kayu di mana di bawahnya surat dan kalung Galuh ditemukan.

Sena menggenggam surat itu erat, lalu berbisik: "Galuh... maafkan aku. Aku mencarimu terlalu lama di tempat yang salah."

Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga melati yang samar. Di antara bayang-bayang senja, sesosok gadis muncul, Galuh. Ia tersenyum begitu tenang.

"Sena..." suaranya lembut, nyaris seperti angin yang menyentuh dedaunan.

Sena jatuh berlutut, air matanya mengalir. "Galuh... aku minta maaf... aku seharusnya tidak pergi malam itu."

Galuh mendekat, mengulurkan tangan seakan ingin menyentuhnya. "Aku sudah memaafkanmu sejak lama."

Seketika, cahaya senja menyelimuti tubuh Galuh dan membuatnya perlahan memudar. Tapi kali ini, tidak ada kesedihan. Hanya kedamaian.

Sena menatap kosong ke tempat Galuh menghilang. "Dia sudah pergi..."

Lintang menepuk bahunya. "Sekarang dia sudah bebas."

Sena mengangguk, lalu menatap langit yang perlahan gelap. "Terima kasih, Lintang… Aku akhirnya bisa mengingatnya dengan damai."

Lintang tersenyum. "Itulah yang dia inginkan."

Saat malam mulai menyelimuti, mereka berdua meninggalkan taman itu, meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang akhirnya menemukan jalan pulangnya.

**********

Malam itu, Lintang duduk di depan laptop di kamarnya, mencoba menyelesaikan naskah cerita yang tertunda. Namun, pikirannya terus melayang pada satu pertanyaan: mengapa Galuh memilih dirinya untuk menyampaikan pesan terakhirnya?


Tiba-tiba, suara notifikasi dari ponse!nya memecah keheningan. Sebuah pesan dari Sena muncul.

"Terima kasih, Lintang. Aku akan pergi ke luar kota untuk sementara waktu, mencari awal yang baru. Aku berutang banyak padamu."

Lintang tersenyum tipis, lega mengetahui Sena akhirnya bisa melanjutkan hidupnya.

Lintang mulai mengetik. Jari-jarinya bergerak cepat, menuangkan semua yang ia alami sejak pertemuannya dengan Galuh. Rumah besar di ujung jalan, buku harian, kalung perak dengan liontin berbentuk hati, dan surat, hingga pertemuan dengan Sena, semua ia tuangkan dalam tulisannya. Namun, semakin ia mengetik, sesuatu terasa semakin janggal.

Ia berhenti sejenak dan menatap layar.

Kenapa semua ini terasa… terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan?

Keningnya berkerut, dan tanpa sadar ia membuka folder lama di laptopnya. Di dalamnya ada berbagai cerita fiksi yang pernah ia tulis, kebanyakan tentang misteri dan hal-hal yang sulit dijelaskan.

Ia membuka salah satunya, sebuah cerita yang ia mulai beberapa minggu lalu sebelum mengalami kebuntuan kreativitas.

Judulnya: 'Carilah Aku Di Kala Senja'

Darah Lintang seakan membeku. Kalimat pembuka cerita itu sama persis dengan apa yang ia alami:

"Lintang, seorang penulis yang mengalami kebuntuan kreativitas, bertemu seorang gadis bernama Galuh di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip…"

Ia menggulirkan halaman-halaman berikutnya dengan napas memburu. Semuanya ada di sana: sweater rajut, rumah besar, bahkan nama Ibu Dyah.

Lintang terduduk lemas di kursinya.

"Jadi… semua ini hanya cerita yang aku tulis?" gumamnya, setengah tak percaya.

Tetapi bagaimana mungkin ia merasa mengalami semua itu? Bagaimana mungkin ia merasakan sentuhan sweater itu di tangannya, atau aroma teh di rumah Ibu Dyah?

Pikiran logisnya berusaha meyakinkan bahwa ini hanyalah permainan imajinasi. Imajinasi yang terjalin begitu erat hingga ia lupa membedakan kenyataan dan fiksi.

Dengan tangan gemetar, Lintang membuka blog pribadinya dan mulai mengunggah cerita itu. Ia menambahkan kalimat penutup di bawahnya:

"Antara fiksi dan kenyataan, ada batas tipis yang kadang sulit dijelaskan. Dan di batas senja, ada kisah yang menunggu untuk diceritakan kembali."

Ia menekan tombol 'Publikasikan', menghela napas panjang, dan memejamkan mata.

Hanya cerita fiksi. Hanya imajinasi.

Lintang menutup laptopnya perlahan, masih dibayangi tanya yang belum terjawab. Apakah semua ini hanya imajinasinya, ataukah ada misteri yang lebih besar di balik batas kenyataan dan fiksi? Sambil menatap langit malam Jakarta dari jendela kamarnya, Lintang merasakan dingin yang tiba-tiba menyergap, seolah ada kehadiran tak kasatmata yang ikut merenungi batas kabur antara dunia nyata dan dunia imajinasinya.



Tamat

Komentar

  1. Ini saking menjiwai ceritanya ya, hingga jadi sulit membedakan fiksi dengan kenyataan

    BalasHapus
  2. dan akhirnya terbit juga hehe
    Sebuah kisah yang penuh dengan lika-liku dan tanda tanya
    Lega

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau ngga mau harus terbit, biar terjawab semua pertanyaannya..wkakwk

      Hapus
  3. hanya fiksi hanya imajinasi, tapi semua terasa nyata :D

    BalasHapus
  4. penulis terlalu masuk dalam cerita sampe susah membedakan lagi mana fiksi mana yg real .. serem juga kalo sampe begitu ;D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin penulisnya terlalu menjiwai dan tanpa sadar masuk ke dalam cerita..wkwkwk

      Hapus
  5. Antara ada dan tiada, antara gak nyata dan kenyataan, nebak nebak

    BalasHapus
  6. Wah, akhirnya begini ya. Lintang memang benar-benar merasuk ke ceritanya, tapi kalau hal ini mengganggunya, maka saatnya Lintang harus konseling ke dokter 😉

    BalasHapus
  7. Pada beberapa hal, ada baiknya yang masih misteri biarkan begitu adanya

    BalasHapus
  8. kadang fiksi dan realita itu beti, beda tipis tapi nyata ehhh

    BalasHapus
  9. Ini fiksi, sebuah imajinasi, tapi membacanya terasa nyata ya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Dia Yang Kusayang (#1) - Cerbung

Rasa Yang Telah Terbunuh (#1) - Cerbung

Nurul, Si Gadis Kecil - Cerpen

Misteri Di Balik Kata Hmmm - Cerpen