Malam Terakhir Mereka (#1) - Cerbung

Malam Terakhir Mereka (#1) - Cerbung




malam terakhir mereka (#1) - cerbung


Suara gelak tawa pecah di udara malam yang sejuk. Sekelompok anak muda duduk-duduk di depan sebuah rumah tua yang dikelilingi kebun lebat layaknya hutan kecil, dipenuhi pohon-pohon besar menjulang. Rumah itu milik keluarga Wahyu, salah satu dari mereka, yang diwarisi dari kakeknya. Lokasinya cukup terpencil, rumah tetangga terdekatnya berjarak sekitar satu kilo meter.

"Giliran jagung siapa nih yang gosong? Jangan sampai kayak ayam tadi!" canda Heni, sambil mengangkat sebuah jagung yang baru matang dari panggangan.

"Hei, itu bukan salahku!" jawab Bagas cepat. "Ayamnya gosong karena arangnya yang terlalu panas."

"Sudah, sudah, kalau nggak gosong namanya bukan bakar-bakar," Wahyu menengahi.

"Ah, itu cuma alasan orang yang nggak bisa masak," celetuk Nita sambil terkekeh.

Mereka tertawa lagi, sementara Yudha, si pemuda pendiam, menambahkan kayu bakar ke api unggun. Kilauan nyala api menerangi wajah mereka, namun tidak cukup untuk menerangi gelapnya kebun yang gelap total.

Suasana malam semakin sunyi, hanya suara jangkrik dan desiran angin yang menemani mereka. Di tengah canda tawa yang terus mengalir tiba-tiba Andin berkata, "Eh, serius deh." Ia menggigit bibirnya sambil melirik ke arah pepohonan. "Kalian ngerasa nggak sih, kebun ini serem banget? Bayangin aja, gimana kalau ada sesuatu yang ngintip dari balik pohon itu." ujarnya sambil menunjuk sebatang pohon kapuk yang sangat tinggi dan besar.

"Alaah, mulai lagi deh," jawab Wahyu. "Dari kecil aku udah main di sini, nggak ada apa-apa kok. Cuma pohon sama suara jangkrik."

"Tapi tadi kayak ada suara langkah, deh," sela Nita, sahabat Andin, dengan suara pelan. "Pas aku ambil air di dapur tadi, rasanya kayak ada yang ngikutin aku dari belakang."

Pembicaraan itu membuat suasana sedikit tegang. Yudha mengangkat kepalanya dan menatap ke arah kebun dengan alis berkerut. Sejauh matanya memandang, kebun itu tampak sunyi. "Mungkin cuma angin," gumamnya. Tapi matanya tetap tajam, seolah-olah sedang mengamati sesuatu yang tersembunyi.

Hening sejenak menyelimuti mereka. Suara jangkrik yang tadinya terdengar seperti nyanyian malam kini terasa seperti irama mencekam yang memecah kesunyian. Bayangan-bayangan pohon yang bergoyang liar tertiup angin seolah-olah menjadi makhluk hidup yang mengintai dari kegelapan.

"Udahlah, nggak usah mikir yang aneh-aneh," ucap Wahyu, mencoba menghidupkan kembali suasana. Ia mengangkat segelas teh hangat dan menenggaknya dengan cepat. Namun, ekspresi santainya tak cukup untuk menghilangkan rasa gelisah yang mulai merambat di antara mereka. Bahkan, Heni terlihat merapatkan jaketnya, seakan merasakan hawa dingin yang tak berasal dari bagian malam.

"Mau cerita horor nggak?" tanya Bagas dengan nada bercanda.

"Aduh, jangan deh, Gas. Nanti malah parno beneran," ujar Heni, lalu mendekatkan dirinya ke api unggun.

Namun tiba-tiba, bunyi seperti ranting patah terdengar dari dalam kebun. Suaranya cukup keras untuk membuat mereka semua terdiam.

"Kalian denger itu?" bisik Andin, wajahnya pucat, matanya membulat ketakutan.

"Paling binatang, mungkin musang," Kata Wahyu, lalu bangkit dan mengambil senter yang tergeletak tak jauh darinya, dan mengarahkannya ke kebun. Sorot lampu senter menembus dedaunan lebat, tetapi tidak menunjukkan apa pun. "Udah, santai aja," katanya, ia kembali duduk, namun suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan dekat.

"Kayaknya bukan binatang, deh," Yudha akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tetapi matanya penuh kewaspadaan.

"Apa dong?" tanya Bagas, mencoba terdengar santai namun jelas-jelas ketakutan.

"Ssst." Yudha mengangkat tangannya, meminta mereka diam. Ia menajamkan pendengaran, lalu tiba-tiba berdiri. "Aku lihat sesuatu," bisiknya.

=============== Rasa Yang Telah Terbunuh ===============

Semua mata mengarah ke kebun. Ada bayangan tinggi bergerak perlahan di antara pepohonan.

"Siapa itu?!" Wahyu berteriak, memecahkan keheningan malam.

Tidak ada jawaban. Bayangan itu berhenti, lalu menghilang ke dalam kegelapan.

Wahyu masuk ke dalam rumah dan menyalakan lampu halaman, berharap bisa menerangi lebih banyak area kebun. Tapi yang terlihat hanya batang-batang pohon besar dan semak belukar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.

"Ayo, kita masuk ke rumah aja," ujar Nita dengan nada panik.

Namun, sebelum mereka sempat masuk, terdengar bunyi berisik dari arah panggangan. Ketika mereka menoleh, panggangan itu jatuh terbalik, jagung dan ayam yang sedang dipanggang serta bara apinya tersebar di tanah.

"Aku nggak tahan lagi, masuk sekarang!" Andin berteriak sambil menarik tangan Nita.

Semua berlarian masuk ke rumah, mengunci pintu dengan tergesa-gesa. Mereka duduk di ruang tengah yang kecil, mereka napas tersengal-sengal.

"Apa itu tadi?" tanya Bagas dengan suara bergetar.

"Sesuatu... atau seseorang," jawab Yudha. Ia berdiri di dekat jendela, matanya terus mengawasi kebun. "Tapi apapun itu, dia masih di luar."

Tepat saat ia berkata demikian, terdengar tiga kali ketukan pelan di pintu.

Mereka semua terdiam. Tidak ada satu pun yang berani bergerak atau bersuara.

Ketukan di pintu terdengar lagi, kali ini lebih keras dari yang pertama.

"Buka saja," ujar Yudha tenang, meskipun teman-temannya langsung memprotesnya.

"Tunggu, tunggu!" bisik Wahyu. Ia mengintip dari lubang kunci, dan seketika wajahnya langsung memucat.

"Apa yang kamu lihat?" desak Heni.

"Aku... aku nggak tahu," jawab Wahyu, suaranya bergetar. "Tapi apapun itu, dia sangat menakutkan."

Wahyu menjauh dari pintu dengan wajah pias. Tangannya gemetar, menunjuk lubang kunci. "Aku nggak bohong… dia sangat menakutkan."

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini tiga kali berturut-turut, lebih cepat dan kasar. Tok! Tok! Tok!

"Kita nggak boleh buka pintunya!" desis Andin sambil memeluk lututnya. Ia gemetaran, hampir menangis.

"Kalau kita nggak buka, dia bakal terus mengetuk!" balas Bagas, suaranya penuh ketakutan.

"Ssst! Diam semua!" seru Yudha, suaranya tetap tenang, tapi matanya waspada. Ia berdiri di dekat jendela, mencoba mengintip ke luar tanpa menyalakan lampu. Di luar, kebun tampak sunyi dan gelap, tetapi perasaan diawasi begitu kuat ia rasakan.

Tiba-tiba, lampu ruang tengah berkedip-kedip beberapa kali lalu padam sepenuhnya. Sekarang mereka hanya diterangi sinar bulan yang temaram yang menembus dari jendela.

"Aduh, jangan mati lampu dong!" desah Nita panik. Ia meraba-raba, mencari tangan Andin untuk berpegangan.

Ketukan itu berhenti sejenak, memberi mereka sedikit jeda untuk menarik napas. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik. Dari arah belakang rumah, terdengar bunyi gesekan yang semakin jelas, seperti sesuatu yang menyeret benda berat di atas tanah.

"Wahyu, senter mana?" tanya Yudha.

"Ini." jawab Wahyu singkat sambil menyodorkan senter.

Yudha bergerak cepat, mengambil senter. Dengan sorot lampu kecil itu, ia melangkah perlahan ke arah dapur, tempat bunyi itu berasal. “Tunggu di sini,” katanya singkat, meskipun tidak ada yang ingin ditinggalkan

"Jangan pergi sendiri, Yudha!" bisik Heni, suaranya penuh kecemasan.

"Aku nggak jauh. Kalau ada apa-apa, aku akan teriak," jawab Yudha tegas. Langkahnya menghilang ke dalam kegelapan, menyisakan keheningan di ruang tengah. Ketegangan di antara mereka semakin meningkat.

Langkah kaki Yudha terdengar kian menjauh dan menghilang, Seketika, keheningan menyelimuti ruangan, hanya ditemani oleh suara detak jantung mereka yang berpacu.

"Yudha?!":panggil Wahyu pelan, tetapi tidak ada jawaban.

"Kenapa dia lama banget?" bisik Andin, air matanya mulai mengalir.

=============== Dia Yang Kusayang ===============

Ketegangan memuncak saat tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepat, semakin dekat ke arah mereka. Yudha muncul kembali, wajahnya pucat. Tangannya menggenggam erat senter yang hampir jatuh. "Kita harus keluar sekarang," katanya dengan suara bergetar.

"Kenapa?!" tanya Wahyu panik.

Yudha menunjuk ke arah dapur tanpa berkata apa-apa. Wahyu memberanikan diri melangkah ke arah dapur, senter di tangan Yudha menerangi jalan. Di sana, di tengah lantai dapur, ada jejak lumpur yang besar, seperti bekas kaki manusia… tapi dengan jumlah jari yang terlalu banyak.

"Apa-apaan ini?" Wahyu mundur, tubuhnya gemetaran.

Ketukan di pintu depan kembali terdengar, kali ini lebih keras dan cepat. Tok! Tok! Tok! Tok! Jantung mereka berdegup kencang, seakan ikut berirama dengan ketukan di pintu.

"Lari ke mobil!" teriak Yudha.

Mereka semua panik. Heni hampir terjatuh saat meraih tasnya, Nita menangis sambil memegangi tangan Andin dan Bagas sibuk mencoba membuka pintu belakang rumah. Tetapi pintu itu tidak mau terbuka meskipun Bagas sudah berusaha mendorongnya dengan sekuat tenaga, seolah ada kekuatan yang menahannya dari luar.

"Cepat lewat jendela!." perintah Yudha sambil mendobrak salah satu jendela ruang tengah. Angin malam yang dingin dari luar menerpa wajah mereka.

Nita adalah yang pertama melompat keluar, diikuti oleh Heni dan Bagas. Namun, saat giliran Andin, ia tersandung dan jatuh tepat di ambang jendela. Yudha segera membangunkan Andin dan membantunya melompati jendela. Saat Yudha akan melompat, tiba-tiba terdengar suara...

Kreeeekkk.

Yudha tak jadi melompati, ia hanya berdiri mematung. Sesuatu sedang berjalan di dalam rumah, mendekati mereka.

"Cepat, Yudha!" desak Wahyu.

Yudha melompat keluar, diikuti oleh Wahyu sebagai orang terakhir. Mereka berlari ke arah mobil yang terparkir di depan rumah.

Namun, saat mereka sampai di depan rumah, mobil itu sudah tidak berada di sana. Hanya ada jejak ban di atas tanah.

"Mobilnya… hilang?" Bagas terengah-engah, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ini nggak mungkin!" teriak Heni.

Dari arah rumah, suara pintu depan yang terbuka perlahan terdengar, diikuti oleh suara langkah berat yang mendekat.

Mereka mundur perlahan, punggung mereka menyentuh batang pohon besar. Yudha mengarahkan senternya ke rumah, dan sosok itu muncul. Sosok tinggi kurus berdiri tegak, kulitnya menyerupai kulit kayu yang kasar dan retak-retak. Wajahnya yang menyeramkan dipenuhi bulu-bulu kasar, matanya hanya berupa rongga kosong hitam tanpa dasar, hidungnya besar dan lancip, mulutnya lebar dengan gigi-gigi kecil yang runcing, dan yang paling mengerikan adalah tidak adanya daun telinga. Sosok itu perlahan-lahan melangkah mendekati mereka. Setiap langkahnya menimbulkan suara kreeeekkk, kreeeekkk yang membuat bulu kuduk mereka merinding.

"Sial…" bisik Wahyu, suaranya bergetar.

Makhluk itu berhenti sejenak, lalu menunduk, seolah-olah sedang memperhatikan mereka. Ketika ia melangkah lagi, gerakannya lebih cepat, hampir berlari ke arah mereka.

"Lari!!!" teriak Yudha, menarik semua orang menjauh.

Mereka berlari ke dalam kebun yang gelap, melompati akar-akar pohon dan menyusuri jalur setapak kecil. Tetapi suara langkah makhluk itu terus mengejar, semakin cepat, semakin keras.

Wahyu tersandung dan terjatuh. Heni mencoba membantunya, tetapi makhluk itu semakin dekat. Yudha berbalik, mengambil sebatang kayu besar, mencoba melindungi mereka.

Namun, saat ia mengayunkan kayu itu, makhluk tersebut berhenti, hanya beberapa meter darinya. Ia tidak bergerak, hanya berdiri diam, memiringkan kepala mengamati Yudha dengan matanya yang hanya berupa rongga hitam kosong yang menggidikkan.

"Pergi!" teriak Yudha, kencang .

Makhluk itu menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang runcing. Suaranya serak dan mengerikan, "Kalian tidak akan pernah bisa keluar..."

=============== Dara, Gadis Dunia Maya ===============

Sosok itu perlahan mendekat, bayangannya yang gelap menghalangi rembulan. Mereka semakin panik dan berlari tanpa arah. Ranting-ranting dan akar yang besar menghalangi mereka, membuat langkah mereka tersendat. Heni yang tertinggal di belakang, kini hanya bisa menggapai tangan Wahyu yang berusaha menariknya, namun terjatuh. "Jangan!" teriak Wahyu dengan suara tercekat. "Kamu harus bangkit!"

Heni menggigit bibirnya, berusaha bangkit. Bagas dan Yudha berbalik, wajah mereka pucat pasi. Namun, sebelum Heni bisa berdiri, sosok itu bergerak cepat, secepat kilat, makhluk itu menerjang Heni. Tangannya yang kurus dengan jari berkuku panjang dan tajam mencengkram pundak Heni dengan kuat. Saat itu, makhluk itu menarik tubuh Heni dengan kekuatan luar biasa, mengangkatnya seolah-olah Heni hanya sehelai daun kering yang tak berdaya.

Heni mencoba berteriak, tetapi sebelum suaranya keluar, makhluk itu membungkamnya dengan cengkeraman yang sangat kuat. Tanpa ampun, makhluk itu menariknya kembali ke dalam kegelapan kebun, langkahnya yang berat meninggalkan jejak dalam di tanah.

Yudha, yang terengah-engah dan hampir kehabisan napas, menoleh dan melihat Heni ditarik pergi, dalam waktu yang sangat singkat. "Heni!" teriaknya, ia berlari sekencang mungkin ke arah makhluk itu, namun makhluk itu menghilang dengan cepat ke dalam kegelapan kebun, membawa Heni.

"Dia... dia hilang!" teriak Wahyu, suaranya penuh dengan ketakutan.

Tidak ada waktu untuk meratap. Bagas yang berada di depan memutar tubuhnya, berlari lebih cepat. Namun, sesaat setelah itu, tubuhnya terjatuh ke tanah, terpeleset pada akar pohon yang tersembunyi. Saat dia bangkit, terdengar suara gesekan kasar yang datang dari belakang.

"Bagas!" teriak Nita, tetapi terlambat.

Makhluk itu muncul di belakang Bagas, tubuhnya bergerak cepat seperti bayangan. Begitu Bagas menghadap ke belakang, dia hanya sempat melihat makhluk itu melompat ke arahnya. Dalam sekejap tubuh Bagas terhempas jatuh ke tanah. Makhluk itu langsung menyergap dan menarik tubuh Bagas dengan mudah, menghilang ke dalam kegelapan yang sama seperti Heni.

Nita, Andin, dan Wahyu terdiam di tempat, tubuh mereka gemetar ketakutan. Yudha, yang paling dekat dengan kejadian itu, hanya bisa menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka bertiga saling memandang, mata mereka penuh dengan ketakutan.

Malam yang awalnya penuh tawa kini berubah menjadi mimpi buruk tanpa akhir. Nita, Andin, Wahyu, dan Yudha terus berlari melintasi kebun yang gelap. Mereka berempat berlari tanpa tujuan, berusaha melepaskan diri dari kejaran makhluk mengerikan itu 




Bersambung

=============== Sepenggal Kisah Dunia Maya ===============

Komentar

  1. Tadinya aku kira mahkluk yang meneror mereka itu gorila gunung, tapi karena bisa bicara "kalian tidak akan bisa keluar" maka kemungkinan dia manusia hasil percobaan laboratorium profesor Herman yang lepas atau jangan-jangan makhluk penunggu kebon itu?

    Btw, setting nya tahun 90an ya mas, soalnya ngga ada yang bawa hape.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga bingung, itu makhluk apa. Asal bikin aja yang penting terlihat serem..wkwkwk.. walaupun ujung-ujungnya ngga serem.. wkwkwk.

      Hahaha.. iya ya saya kok mendadak lupa sama HP. Ya.. hahaha. Apa diedit lagi aja ceritanya?

      Hapus
    2. Kayaknya ngga usah di edit, bilang saja mereka itu di universe 616 di mana dunia itu ngga kenal hape.😁

      Di awal jarak rumah terdekat dari kebon 1 km tapi mereka terus lari ngga ketemu tetangga, apa mungkin karena ketakutan jadi larinya lemes ya.😂

      setting cerita nya seperti di Amerika ya, kadang disana ada kabin yang memang jauh dari tempat ramai. Kayak film Cabin in the Woods.😄

      Hapus
    3. Satu universe sama venom dong..wkwkwk

      Awalnya cuma seratus meter cuma kayaknya kurang seru jadi diubah satu kilo meter.. beginilah kalau bikin cerita seenak jidat jadi kacau kan.. wkwkwk

      Mungkin saya terinspirasi dari film itu, Mas.. wkwkwk

      Hapus
    4. Wah, jangan-jangan dia profesor Herman yang sudah ketempelan venom, makanya badannya gede dan seram.😱

      Kira-kira kemana Heni sama Bagas dibawa mahkluk itu ya, apa jangan-jangan dibawa ke warung seblak lalu harus makan seblak level 100. Itu mengerikan banget.😭

      Hapus
    5. Seblak level 100? Ternyata seblak ada levelnya juga ya?

      Hapus
  2. Seram ceritanya. Sepertinya Nita dan Andin yang akan selamat nih, Kalo di film horor biasanya cewek yang selamat.

    BalasHapus
  3. Nyimak percakapan dua orang di atas 😁..ku kira tadi jejak kaki big foot, pan di tengah hutan gitu, mungkin kah si Heni dan si Bahas akan selamat atau berpindah ke dunia lain ? Entahlah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo big foot kayaknya ngga bisa ngomong deh atau jangan-jangan big foot itu nyulik Heni karena seneng.😱

      Hapus
    2. Bisa jadi itu big foot, dia bisa ngomong karena udah adaptasi..wkwkwk

      Hapus
  4. udah kayak cerita di film-film horror mas :D, pasaran sama mahluknya sejenis grenduwo kah :D, tapi kok kurus :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin genderuwo yang kagak doyan makan, makanya kurus..wkwkwk

      Hapus
    2. Bisa juga genderuwo nya lagi diet makanya agak kurusan.🤣

      Hapus
  5. padahal ekspekstasi saya ini komedi
    kenapa jadi horor beneran

    BalasHapus
  6. Bisa nulis cerita kaya gitu belajar dmna mass,😁 keren sih kalo dibuat buku cerita,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tenang mbak, katanya tahun depan mas Herman mau bikin buku.😅

      Hapus
  7. Tak disangka ya, bagai mimpi buruk yang tak pernah disangka sebelumnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Beranjak Dari Luka - Cerpen

Pengakuan Yang Mengubah Segalanya (#1) - Cerbung

Jejak Hati Di Minimarket - Cerpen

Pengakuan Yang Mengubah Segalanya (#2) - Cerbung