Cahaya Di Ujung Terowongan - Cerpen

Cahaya Di Ujung Terowongan - Cerpen




cahaya di ujung terowongan - cerpen


Cahaya bulan lembut menerpa wajahku saat aku duduk di kursi teras depan rumah. Jari-jariku bergerak lincah mengetik di ponsel, membalas pesan di aplikasi Messenger. Beberapa bulan yang lalu, aku berkenalan dengan seorang wanita bernama Dini di Facebook. Di profilnya hanya menampilkan foto sekuntum bunga melati dan bio pendek bertuliskan, "Aku butuh teman berbagi." Dalam sebulan terakhir ini, kami sudah begitu dekat dan saling bertukar cerita. Dia mengaku seorang janda tanpa anak, baru bercerai. Entah kenapa, percakapan dengannya membuatku merasa nyaman, sesuatu yang belakangan ini tak kurasakan di rumah.

Aku sendiri tak pernah memberitahunya tentang statusku. Kupikir, untuk apa? Ini hanya percakapan ringan di dunia maya, bukan sesuatu yang serius. Lagipula, aku sudah punya istri, Winda, dan seorang anak perempuan berusia delapan tahun, Irma. Meski akhir-akhir ini hubunganku dengan istriku terasa renggang. Kami jarang berbicara, apalagi menghabiskan waktu bersama. Setiap hari rasanya hanya rutinitas kosong tanpa kehangatan. Maka, ketika Dini hadir, ia seperti oasis di gurun, mengisi kekosongan itu.

Cara bicara Dini yang santai dan penuh simpati membuat aku merasa seperti sudah mengenalnya sejak lama. Bahkan ada beberapa kata yang sering ia gunakan yang terasa familiar, seperti gaya bicara seseorang yang sangat kukenal. Namun, ada satu hal yang membuatku sedikit bingung. Meskipun baru beberapa bulan berkenalan, dia sering kali menggunakan kata-kata yang sangat intim, seolah-olah dia sudah mengenalku sejak lama.

Lampu ruang tamu menyala terang, dan aku bisa mendengar suara TV dari dalam. Winda dan Irma sedang menonton acara favorit mereka. Dari sini, aku bahkan bisa mendengar tawa kecil Irma ketika adegan lucu muncul.

Percakapan malam itu mengalir seperti biasanya. Dini bercerita tentang harinya yang terasa berat. Ia mengeluh tentang rasa kesepian yang semakin menghimpit sejak berpisah dengan suaminya. Aku hanya merespons dengan kata-kata penghibur, seperti yang biasa kulakukan.

Malam terasa dingin. Angin berhembus pelan menerpa kulitku. Aku menyandarkan tubuh ke kursi, mencoba menikmati suasana malam yang tenang. Di ponselku, notifikasi dari Dini baru saja berbunyi. Aku langsung membuka pesan itu.

"Kadang, aku merasa mungkin aku terlalu bodoh mempertahankan sesuatu yang sepertinya sudah mati." tulisnya.

Aku membalasnya, "Terkadang, sulit untuk menerima kenyataan. Tapi aku yakin, kamu akan baik-baik saja. Setiap luka akan sembuh pada waktunya."

Belum sempat aku meletakkan ponsel, balasan dari Dini sudah muncul.

"Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik. Tapi, pernahkah kamu merasa, meskipun ada di tengah keramaian, kamu tetap merasa sendirian?"

Pertanyaannya membuatku tertegun. Aku menatap pintu ruang tamu yang sedikit terbuka. Dari sela-selanya, aku bisa melihat Winda dan Irma tertawa bersama. Namun, anehnya, aku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri.

"Sering. Bahkan kadang aku merasa seperti tidak benar-benar dikenal oleh orang-orang terdekatku." balasku.

Dini membalas cepat. "Aku juga. Kadang aku berpikir, mungkin jika aku bisa memulai semuanya dari awal, aku akan melakukannya. Tapi, apa kamu tahu? Ada seseorang yang pernah sangat kucintai. Hingga saat ini, aku masih bertanya-tanya, apa dia pernah benar-benar mencintaiku."

Hatiku terhenyak membaca pesannya. Sebuah perasaan yang pernah kurasakan menyelinap di pikiranku, tapi aku mencoba mengabaikannya.

"Aku yakin, jika dia pernah mencintaimu, itu pasti tulus. Hanya saja, mungkin cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan semuanya. Bahkan cinta yang paling tulus pun bisa kandas." balasku.

=============== Beranjak Dari Luka ===============

Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Aku hampir menutup aplikasinya ketika pesan Dini kembali muncul.

"Apa kamu pernah merasa seperti itu? Bahwa cinta saja tidak cukup?"

Aku diam sejenak. Entah kenapa, aku merasa pertanyaan Dini menusuk hatiku. Rasanya terlalu dekat dengan kenyataan yang sedang kuhadapi.

"Iya, mungkin. Kadang cinta butuh lebih dari sekadar rasa. Butuh waktu, pengorbanan, dan kejujuran." tulisku.

"Kejujuran. Aku sudah terlalu lama kehilangan itu." jawab Dini.

Aku hendak membalas namun aku mendengar suara langkah Winda mendekat. Aku buru-buru mematikan layar ponsel dan memasukkannya ke saku. Ia berdiri di ambang pintu, menatapku dengan wajah yang sulit kubaca.

"Kamu ngapain di luar?" tanyanya, suaranya datar.

"Sedang menikmati segarnya udara malam," jawabku sambil tersenyum kecil.

Dia mengangguk, lalu kembali masuk tanpa berkata apa-apa. Saat itulah aku menyadari sesuatu. Sebelum masuk, Winda sempat melirik ke arah sakuku, seolah tahu aku sedang menyembunyikan sesuatu.

Setelah dia masuk, aku kembali membuka ponselku. Ketika aku sedang mengetik balasan, satu pesan dari Dini masuk lagi.

"Aku berharap aku bisa mengatakan semuanya. Tapi aku takut. Takut dia akan membenciku."

Aku tidak tahu mengapa, tapi pesan itu membuat dadaku terasa sesak. Seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya, sesuatu yang sebenarnya sudah sangat dekat.

Di ruang tamu, TV mati. Lampu ruang tamu juga dipadamkan. Winda dan Irma sudah masuk ke kamar untuk tidur. Namun, aku tetap di teras, menatap ponsel dengan pikiran bercabang.

Malam semakin larut dan angin yang berhembus terasa semakin dingin membuat tubuhku sedikit menggigil. Namun aku tak peduli. Pikiranku terlalu sibuk. Pesan terakhir dari Dini membuatku merenung. Kalimatnya sederhana, "Aku takut dia akan membenciku." Namun kalimat itu terasa seperti sebuah pengakuan daripada sekadar keluhan. Aku merasa seolah itu ditujukan padaku, tapi aku tahu itu hanya dugaanku saja.

Aku mengetik balasan dengan hati-hati, berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Kalau dia tahu alasanmu, mungkin dia akan mengerti. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri." tulisku.

Kali ini, Dini tidak langsung membalas. Aku memanfaatkan jeda itu untuk masuk ke dalam rumah menuju dapur untuk mengambil sebotol air dingin.

Saat aku membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air, ponselku bergetar. Pesan baru dari Dini muncul di layar.

=============== Ancaman Yang Bikin Tersenyum ===============

Aku menaruh botol air yang baru kuambil itu di atas kulkas, lalu membaca pesan Dini.

"Kadang aku berharap bisa memutar waktu. Seandainya aku lebih jujur sejak awal, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini."

Alisku berkerut setelah membaca pesan itu, dan aku pun membalasnya. "Dini, setiap orang punya penyesalan. Tapi itu bukan berarti segalanya sudah terlambat. Yang terpenting, kita belajar dari kesalahan dan berusaha menjadi lebih baik."

Setelah membalas pesan Dini, aku mengeluh dalam hati. Meski kata-kataku terlihat bijak, aku sendiri tidak bisa menghindar dari pertanyaan yang terus berputar di kepalaku. Apakah aku juga sedang membuat kesalahan yang sama? Apakah hubungan dengan Winda yang terasa semakin jauh ini adalah kesalahan yang sama, yang akhirnya akan membawaku ke jurang penyesalan?

Beberapa menit setelah aku mengirimkan balasan, ponselku kembali bergetar, pesan dari Dini muncul kembali di layar ponselku. Mataku langsung tertuju pada kata-kata yang tertera, dan tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

"Kadang aku berpikir, aku ingin bertemu denganmu," tulisnya.

Betapa terkejutnya aku membaca pesan itu. Ada semacam keanehan yang melingkupi kata-kata itu, seolah-olah ada yang lebih dari sekadar keinginan untuk berbicara. Aku merasakannya, meski hanya melalui tulisan.

Aku terus menatap ponsel dan mencoba untuk merangkai kata-kata yang tepat, tapi tak ada yang keluar dari jari-jariku. Dini... kami baru saja saling berbagi cerita dan curahan hati, namun aku tak pernah membayangkan percakapan ini bisa berujung pada permintaan untuk bertemu.

Belum sempat aku membalas, Dini mengirimkanku pesan lagi.

"Maaf, aku tahu mungkin terasa aneh. Tapi aku merasa kita bisa saling mengerti lebih baik jika kita bertemu langsung," tulis Dini.

Mataku terpaku pada layar ponsel, membaca pesan itu berulang kali. Ada perasaan ganjil yang menjalari pikiranku, campuran antara penasaran dan takut. Sejak awal, aku tahu hubungan ini tidak lebih dari sekadar pelarian. Aku tidak seharusnya membiarkannya berkembang sejauh ini. Tapi, mengabaikan pesan Dini juga terasa salah.

Akhirnya aku pun mengetik dengan ragu, "Apa kamu yakin? Bukankah kita sudah cukup baik dengan seperti ini?"

Tidak lama setelah pesan itu terkirim, balasan dari Dini masuk. "Terkadang, mendengar suara atau bertatap muka langsung bisa mengungkapkan lebih banyak daripada sekadar kata-kata. Aku hanya ingin memastikan perasaan ini bukan hanya ilusi."

Jantungku berdebar. Perasaan bersalah mulai menyelinap. Aku harus menghentikan ini. Namun, entah kenapa, aku tidak bisa mengabaikan dorongan untuk terus berbicara dengannya.

Akhirnya aku menyerah pada rasa penasaran yang tak tertahankan. Mungkin ini salah, tapi aku merasa harus melakukannya. Ada sesuatu dalam diri Dini yang membuatku merasa seperti menemukan kembali diriku yang hilang.

Aku memutuskan untuk mengirim pesan padanya. "Kalau kita bertemu, di mana menurutmu tempat yang cocok?" tanyaku.

Dini memberiku lokasi, sebuah kafe kecil yang tak begitu jauh dari rumahku. Aku segera membalas pesannya dengan pertanyaan, "Apa kamu tinggal tak jauh dari kafe itu...?"

Namun, Dini tidak menjawab pertanyaanku. Sebagai gantinya, dia memberikan waktu pertemuan: besok selepas Maghrib dan mendeskripsikan dirinya. Aku menyetujuinya, meskipun ada perasaan aneh yang menjalari hatiku.

=============== Rindu Yang Tak Terjawab ===============

Malam itu, aku berbaring di sebelah Winda yang sudah terlelap. Ponsel masih menyala di tanganku. "Besok kita akan tahu, apakah ini hanya ilusi atau takdir yang mempertemukan kita." Kata-kata itu terus terngiang di pikiranku, membuatku sulit memejamkan mata.

************************************

Sore menjelang Maghrib, aku memasuki kafe yang sudah tak asing lagi. Dinding-dinding bercat cokelat tua, pencahayaan temaram dan musik lembut menciptakan suasana yang amat tenang. Rasanya gugup, tapi juga penuh antisipasi. Entah kenapa, aku ingin sekali bertemu Dini. Aku tidak tahu seperti apa dia sebenarnya, tapi aku merasa seperti mengenalnya.

Aku memilih meja di sudut kafe, dengan pandangan langsung ke pintu masuk. Pikiran tentang pertemuan ini membuatku lupa akan kopi yang ada di hadapanku.

Cukup lama juga aku menunggu. Jam di ponselku menunjukkan pukul 18:30. Saat itu, pintu kafe terbuka dan seorang wanita dengan ciri-ciri yang seperti Dini deskripsikan 'rambut sebahu, mengenakan t-shirt putih sederhana dan jeans' melangkah masuk. Aku hampir tak percaya melihat siapa dia.

Itu Winda. Istriku sendiri.

Dia berhenti di ambang pintu, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya tertuju padaku. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Ia berdiri diam di tempat, seolah baru saja memahami sesuatu yang sangat besar.

Aku bangkit dari kursiku tanpa sadar, tubuhku kaku, dan keringat dingin membasahi pelipisku.

Winda perlahan berjalan mendekat. Ia berdiri di depanku dengan mata menyelidik, bibirnya bergetar seolah mencoba merangkai kata-kata.

"Kamu orang yang selama ini ngobrol denganku?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar serak.

"Kamu..." aku tergagap, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata terasa terlalu sulit untuk diucapkan. Namun, aku tahu aku tidak bisa mengelak. "Jadi... kamu Dini?" tanyaku, mencoba memastikan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas.

Winda tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai kepahitan daripada kegembiraan. "Ya. Dan kamu... pria yang selalu membuatku merasa didengarkan. Tapi aku tidak pernah menyangka... kamu adalah suamiku."

"Mengapa kamu memakai akun palsu, Winda?"

"Dan kamu juga memakai akun palsu, kan?"

Aku hanya mampu berdiri diam. Perasaan campur aduk, antara malu, bingung, dan sedikit lega melingkupiku. Aku tidak tahu harus berkata apa.

=============== Ratih, Secantik Dewi Ratih ===============

"Apa yang sebenarnya yang kita cari?" tanya Winda, suaranya bergetar. Kemudian ia melanjutkan, "Aku mencari orang yang bisa mengerti aku, yang bisa mendengarkanku. Tanpa sadar orang itu adalah kamu, suamiku. Tapi kenapa di rumah, kita malah diam?"

Aku menghela napas panjang, kepalaku tertunduk.. Semua kata-kata yang pernah kuketik untuknya selama sebulan terakhir terasa seperti bumerang.

"Karena aku takut," kataku akhirnya. "Takut mencoba memperbaiki, takut mendekati lagi. Aku pikir, mungkin aku sudah kehilangan kamu... jadi aku berhenti berusaha."

Winda menatapku lama, dan aku tahu ia sedang mencoba mencerna kata-kataku.

"Kamu tahu?" katanya pelan. "Aku juga merasa seperti itu. Aku merasa kita sudah terlalu jauh, jadi aku mencari pelarian. Tapi ternyata, pelarian itu... adalah kamu."

Keheningan kembali melingkupi kami. Namun kali ini, keheningan itu tidak terasa dingin. Ada sesuatu yang lain, sebuah pemahaman baru.

Aku mengulurkan tanganku, mengajak Winda untuk duduk. Ia ragu sejenak, lalu akhirnya duduk di kursi di depanku.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyaku.

Winda tersenyum tipis, senyum yang lebih hangat kali ini. "Mungkin kita bisa mulai bicara lagi. Tidak di sini, tapi di rumah. Kita mulai dari awal."

Aku mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada harapan.




Tamat

Komentar

  1. Waktu di awal belum kerasa, tapi pas minta ketemuan apalagi lokasinya dekat sudah curiga. Eh ternyata benar.😂

    Istriku adalah selingkuhan ku.😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata gampang ditebaknya ya.. hihihihi

      Hapus
    2. istriku adalah selingkuhanku, cocok jadi judul sinetron :D,

      Hapus
    3. Masih kurang cocok, masih adakah judul alternatif lainnya?

      Hapus
    4. Nah lho, ayo kasih judul lain tuh khanif.😁

      Hapus
  2. Awalnya ragu mau bertemu...eh tau-tau , ternyata dia istriku 😬

    BalasHapus
    Balasan
    1. Istrinya sama suaminya habis itu bulan madu ke Bali.😁

      Hapus
    2. Alhirnya mereka berdua mesra kembali...😁

      Hapus
    3. Tapi sampai rumah bertengkar lagi karena biaya bulan madu di Bali habis 100 juta.😂

      Hapus
    4. Akhirnya gak jadi mesra kembali..soalnya enggak jadi bulan madu ke Bali wkwkk

      Hapus
    5. Benar-benar tak terduga.. wkwkwk

      Hapus
    6. Kayaknya kenal ama jargon ini 😁

      Hapus
    7. Sama, sepertinya saya juga kenal tapi lupa-lupa ingat..hihihi

      Hapus
    8. Coba jedotin kepala ke tembok mas, barang kali langsung ingat.😂

      Hapus
  3. Cerpen yang menarik tentang romantisme. Tapi ini endingnya ga ketebak. Sukses selalu

    BalasHapus
  4. Cerpen romantis yang menarik mas. Ternyata Tokoh aku chatting dengan istrinya sendiri.

    BalasHapus
  5. Wah menarik cerpennya.Jujur sih kalau aku gak bs menebak dr awal kalau itu winda istrinya. aku malah ngiranya mantannya di masa lalu.plot twist yang menarik..keren2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya malah ngga kepikiran sama mantannya..hihihi.

      Hapus
  6. kebayang lanjutannya sampe rumah yang ada perang dunia ke-3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan-jangan sikat gigi suaminya nanti buat nyikat WC ya bang.😂

      Hapus
  7. Alhamdulillah terhindar dari perselingkuhan wkwk

    BalasHapus
  8. tak jadi selingkuh
    hubungan kembali utuh

    BalasHapus
  9. Selingkuh dengan istri tetangga ❎
    Selingkuh dengan istri sendiri ✅

    BalasHapus
  10. Belum terlambat, mari mulai lagi dari awal. Cerpen yang bagus dan menyentuh.

    BalasHapus
  11. Nunggu Malam Terakhir Mereka (#2) belum nongol, sepertinya besok nih baru rilis.😅

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Pengakuan Yang Mengubah Segalanya (#1) - Cerbung

Pengakuan Yang Mengubah Segalanya (#2) - Cerbung

Jejak Hati Di Minimarket - Cerpen

Malam Terakhir Mereka (#1) - Cerbung