Jejak Hati Di Minimarket - Cerpen
Jejak Hati Di Minimarket - Cerpen

Hujan deras mengguyur sejak sore mendinginkan udara membuat jalan yang biasanya ramai menjadi lebih lengang. Jalan yang basah berkilau seolah berubah menjadi cermin raksasa yang memantulkan lampu-lampu jalan dan kendaraan yang melintas. Wawan melirik jam tangannya, jam tujuh lebih lima belas menit. Jam pulang kantor sudah lama lewat, kantornya pun sudah sepi, dan ia pun memutuskan untuk mampir ke minimarket di pertigaan jalan, tempat ia biasa membeli kopi kalengan dan makanan ringan untuk menemani malam.
Minimarket itu tampak lengang. Lampu neon memancarkan cahaya putih terang, menciptakan suasana hangat di tengah dinginnya hujan di luar. Wawan melangkah masuk, dan aroma khas ruangan ber-AC yang dingin bercampur wangi plastik serta makanan instan menyambutnya. Langkahnya menuju rak kopi terhenti sejenak saat ia melirik ke meja kasir.
Di sana, seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambut disisir rapi tampak sedang membereskan tumpukan struk. Nani, namanya. Ia bekerja di minimarket ini sejak setengah tahun yang lalu, dan hampir setiap kali ia datang, ia selalu melihat senyuman hangatnya. Ada sesuatu yang terpancar dari Nani yang selalu membuat hari-harinya terasa lebih ringan, meskipun ia tidak tahu pasti apa itu.
Wawan menghela napas pelan, menyadari betapa sering ia memikirkan Nani belakangan ini. Ia bukan tipe pria yang mudah terpesona. Namun ada sesuatu dalam cara Nani tersenyum yang membuatnya merasa nyaman. Seolah-olah, di tengah kesibukannya yang tak pernah usai, Nani adalah satu-satunya hal yang tidak pernah berubah. Ia tetap sederhana dan hangat, menyambut siapa pun dengan senyuman tulus.
Wawan melanjutkan langkahnya ke rak minuman dan mengambil kopi hitam kaleng favoritnya serta beberapa makanan ringan. Sambil melangkah pelan menuju meja kasir, pikirannya terus berputar. Ia bertanya-tanya apakah hari ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara lebih dari sekadar ucapan terima kasih. Ia bukan pria yang pandai memulai percakapan, apalagi dengan Nani. Senyumannya saja sudah cukup membuatnya kehilangan kata-kata.
Sesampainya di meja kasir untuk membayar, Nani mendongak. Mata mereka bertemu sejenak, dan jantung Wawan berdegup kencang. "Hujan deras sekali, ya, Mas?" sapa Nani dengan suara lembut disertai senyuman yang menenangkan.
Wawan mengangguk, berusaha terlihat santai. "Iya, makanya mampir beli kopi. Biar nggak kedinginan." Ia tersenyum kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dan ia merasa bodoh karena jawabannya terdengar sangat biasa.
Namun, Nani justru tertawa kecil. "Kopi kalengan favorit lagi, ya? Mas Wawan ini nggak pernah ganti pilihan, setia banget," katanya sambil memindai barang belanjaan Wawan.
"Setia itu penting, kan?" balas Wawan, mencoba menghilangkan ketegangan.
Nani tersenyum lebih lebar. "Iya, kalau setianya ke hal yang benar. Jangan sampai salah setia," jawab Nani santai, tetapi entah kenapa, kalimat itu terasa menusuk hatinya. Apa yang dimaksud Nani? Apa ia tahu sesuatu yang tidak diketahuinya?
"Benar juga," gumam Wawan, matanya tidak bisa lepas dari senyuman di wajah Nani. "Ngomong-ngomong, kamu sudah lama kerja di sini, ya?"
Baca juga: Makhluk Manis Dalam Lift
Nani tampak sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. "Setengah tahun, Mas. Nggak terasa juga, ya. Tapi saya suka di sini. Ketemu banyak orang, suasananya nggak terlalu berat. Kadang ada pengunjung yang ramah juga, kayak Mas Wawan ini." Ia tersenyum kecil.
Wawan tertawa sedikit malu. "Aku biasa aja, kok. Tapi kalau boleh jujur, suasana di sini selalu terasa lebih hangat kalau kamu yang jaga." Kata-katanya meluncur spontan, dan seketika Wawan menyesalinya saat melihat ekspresi Nani.
Nani terdiam, pipinya terlihat sedikit memerah. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke layar komputer, namun pipinya yang memerah tak bisa ia sembunyikan, dan itu hanya membuat Wawan gugup dan jantungnya berdegup tak beraturan.
Wawan menunduk sejenak, mencoba menenangkan detakan jantungnya yang tidak teratur karena kata-katanya yang terlalu jujur, "Aku... maksudku, kamu membuat tempat ini terasa lebih hidup," ujarnya pelan, berusaha memperbaiki kata-katanya.
"Makasih, Mas. Itu pujian yang... nggak biasa," katanya pelan disertai dengan senyuman tulus. Lalu ia menyebutkan total belanjaan yang harus dibayar.
Hujan di luar masih deras. Suara derasnya hujan menciptakan simfoni alam yang bercampur dengan suara kendaraan yang sesekali melintas di jalan depan minimarket. Di dalam minimarket suasananya hening. Wawan berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya seakan tercekat. Apa ia baru saja terlalu blak-blakan? Batinnya bertanya-tanya. Ia menelan ludah dan memaksakan senyum.
"Eh, maaf, mungkin kedengarannya aneh, ya," katanya dengan nada menyesal.
Nani menggeleng pelan. "Nggak, kok. Saya malah senang. Jarang ada yang bilang hal-hal kayak gitu. Biasanya pengunjung cuma pengen cepat dilayani terus pergi."
Wawan merasa sedikit lega, meskipun tetap ada rasa gugup yang menyelimutinya. "Yah, nggak semua pengunjung sama. Kadang, ada juga pengunjung yang... ya, pengen lebih dari sekadar belanja."
Kali ini, giliran Nani yang terdiam. Ia menunduk sejenak, mengatur tumpukan struk di tangannya yang sebenarnya sudah rapi. "Maksudnya... lebih gimana, Mas?" tanyanya sambil menatap Wawan dengan mata yang tampak ragu.
Wawan menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Ya, maksud aku... misalnya, ingin kenal lebih dekat sama orang yang bikin tempat ini terasa spesial," ucapnya pelan, hampir berbisik.
Nani menatap wajah Wawan dalam-dalam, seakan mencoba membaca pikirannya, dan untuk beberapa detik, dunia terasa sunyi bagi Wawan. Hanya suara hujan deras dan deru kendaraan di luar yang terdengar samar. Nani tersenyum kecil, tetapi kali ini senyum itu terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan.
"Mas Wawan ini lucu, ya," katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih pelan dari sebelumnya. "Tapi saya rasa, saya cuma orang biasa, kok. Nggak ada yang spesial."
Wawan tersenyum lemah. "Kadang, yang bikin sesuatu spesial itu justru kesederhanaannya. Kamu nggak perlu jadi luar biasa buat bikin orang lain merasa nyaman."
Kata-kata itu membuat Nani terdiam lagi. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, namun sebelum ia sempat menjawab, pintu minimarket terbuka, dan angin dingin membawa serta suara hujan masuk ke dalam. Beberapa orang gadis muda masuk, membawa payung yang masih meneteskan air.
Nani segera mengalihkan pandangannya ke arah para gadis muda itu, menyapa mereka dengan ramah. "Selamat datang," katanya dengan senyum yang tetap tulus, meskipun ekspresi wajahnya masih menyisakan bayang-bayang percakapan barusan.
Wawan lalu mengeluarkan dompetnya, mengambil selembar uang untuk membayar belanjaan yang dibelinya.
"Terima kasih telah menemani saya mengobrol, Mas," kata Nani dengan nada lebih formal, sambil memberikan kantong plastik berisi belanjaan serta uang kembalian.
Wawan mengambil kantong plastik dan uang kembaliannya dengan sedikit bingung. Kata-kata Nani barusan masih terngiang di kepalanya, terutama nada formalnya yang seolah menandai akhir dari obrolan mereka. Ia berdiri sejenak, hujan di luar masih deras, dan ia enggan beranjak.
"Setelah menimbang-nimbang, ia berkata ragu-ragu, 'Nan, aku tahu ini mendadak, tapi...'". "Ia melanjutkan, 'Kamu ada waktu luang setelah ini? Maksudku, untuk ngobrol lebih lama. Kalau nggak keberatan, ya.'"
Nani menatap Wawan dengan pandangan bingung. Hujan deras di luar semakin menambah keheningan yang terasa berat. Gadis-gadis yang tadi masuk minimarket sudah berjalan ke rak barang, memberi mereka sedikit privasi untuk berbicara. Wawan menggaruk kepalanya, jantungnya berdebar menunggu jawaban.
Nani menoleh dengan raut terkejut yang sulit disembunyikan. "Eh, Mas Wawan serius?" tanyanya sambil menatapnya. Ada sedikit nada geli dalam suaranya, tetapi Wawan bisa melihat ada ketulusan di matanya.
Wawan mengangguk, meskipun gugup. "Ya, serius. Aku cuma... ingin kenal kamu lebih baik. Kalau kamu nggak keberatan, tentu saja."
Nani tersenyum kecil, tetapi ia tidak langsung menjawab. "Sebentar, Mas. Saya masih ada beberapa pekerjaan yang harus saya rapikan. Kalau Mas mau menunggu, nggak sampai satu jam lagi saya selesai dan menutup minimarket ini." Nada suaranya datar, tetapi ada sedikit kehangatan di sana, cukup untuk membuat Wawan merasa lega.
"Oh, nggak apa-apa. Aku akan tunggu," jawab Wawan sambil tersenyum, meskipun jantungnya masih berdetak tak beraturan.
Wawan melangkah keluar dan duduk di bangku kayu panjang yang ada di depan tak jauh dari pintu masuk minimarket. Meski ada atap yang melindunginya dari hujan, angin dingin tetap menusuk tulangnya. Kopi kaleng di tangannya belum dibuka, ia hanya memutar-mutar tutupnya. Sesekali ia melihat ke dalam minimarket melalui kaca besar, melihat Nani sibuk merapikan pekerjaannya.
Wawan melihat jam di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit. Hujan sudah agak reda. Minimarket mulai sepi. Para gadis muda yang tadi masuk sudah lama pergi. Wawan memainkan kaleng kopi di tangannya, kemudian membuka tutupnya dan meneguk sedikit isinya untuk mengusir dingin yang menggigit.
Jam sembilan lewat beberapa menit, Nani akhirnya selesai dengan pekerjaannya. Ia mematikan beberapa lampu di bagian rak belakang dan berjalan keluar untuk menutup minimarket. Nani melangkah mendekati Wawan, dengan jaket tipis menggantung di lengannya. “Maaf, menunggu lama, Mas,” katanya sambil tersenyum, nada suaranya terdengar lebih santai dibanding sebelumnya. Jadi, mau ngobrol di mana?"
Wawan ragu sejenak sebelum menjawab, "Mungkin di tempat yang nggak jauh dari sini? Ada warung kopi kecil di ujung jalan sana. Kalau kamu nggak keberatan."
Nani tersenyum tipis. "Boleh. Tapi saya nggak bawa payung."
"Oh, aku ada jas hujan di motor. Nanti kita pakai itu," jawab Wawan cepat.
Wawan dengan sigap mengeluarkan jas hujan lebar yang cukup untuk menutupi mereka berdua. Nani tertawa kecil ketika Wawan tampak kikuk membantunya memakai jas hujan. "Mas Wawan ini telaten banget," katanya ringan.
"Ya, nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak basah," balas Wawan sambil tersenyum.
"Ini pertama kalinya ada pelanggan yang ngajak saya ngobrol di luar jam kerja."
"Maaf kalau aku terkesan tiba-tiba,” jawab Wawan sambil menyalakan mesin motornya. “Aku cuma… nggak mau kehilangan kesempatan. Kadang aku mikir, kapan lagi aku bisa ngobrol sama kamu tanpa terburu-buru.”
Nani hanya tersenyum kecil dan naik di belakang, memegangi jas hujan yang melambai tertiup angin. “Warung kopi di ujung jalan, kan? Saya sebenarnya penasaran seperti apa tempatnya itu,” katanya, mencoba mengalihkan topik.
Baca juga: Misteri Di Balik Kata Hmmm
Motor melaju perlahan melewati jalan yang masih basah. Lampu jalan memantulkan bayangan mereka di genangan air. Suasana lengang memberikan ruang bagi pikiran-pikiran Wawan yang berdesakan, mencoba mencari kata-kata yang pas untuk obrolan mereka nanti.
Perjalanan singkat itu terasa seperti perjalanan panjang bagi Wawan. Sesekali, ia merasakan angin lembut dari arah belakang ketika Nani sedikit menggerakkan tubuhnya. Ada sesuatu yang hangat meski malam ini begitu dingin.
Mereka akhirnya sampai di warung kopi kecil yang dimaksud Wawan. Mereka masuk ke dalam, disambut aroma kopi yang hangat dan suasana sederhana yang menenangkan. Mereka memilih tempat duduk di pojok, menjauh dari beberapa pengunjung lain. Wawan memesan kopi hitam dan gorengan sedangkan Nani memilih coklat panas dan roti bakar.
"Jadi," Nani membuka percakapan sambil menatap Wawan. "Apa yang sebenarnya ingin Mas obrolkan?"
Wawan terdiam sesaat, ia merasa semua kalimat yang sudah dipikirkan sebelumnya tiba-tiba menghilang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur kata-katanya. "Aku nggak tau memulai dari mana. Tapi… aku cuma ingin tau lebih banyak tentang kamu, Nan. Tentang apa yang kamu suka, apa yang bikin kamu senang atau sedih… semuanya."
Nani menatap Wawan, sedikit terkejut dengan kejujurannya. "Kenapa, Mas? Bukannya kita baru sering ketemu beberapa bulan terakhir ini?"
"Iya, tapi kadang kita nggak perlu waktu lama untuk tahu kalau seseorang itu… berarti," jawab Wawan dengan jujur. "Aku nggak tau kenapa, tapi setiap kali aku lihat kamu, rasanya seperti… aku bisa lebih tenang. Dan aku penasaran, apa kamu juga merasakan hal yang sama?"
Kali ini, Nani tersenyum samar, sedikit menundukkan kepala. "Mas Wawan ini… berani juga, ya," katanya pelan. "Jujur, saya nggak nyangka Mas bakal ngomong kayak gini."
"Kenapa nggak nyangka?" tanya Wawan, bingung.
Nani mengangkat bahu. "Karena biasanya, orang-orang cuma ngobrol sama saya buat basa-basi. Tapi, kalau Mas benar-benar penasaran… ya, saya nggak keberatan cerita." Ia tersenyum lagi, tapi kali ini ada sedikit keraguan di balik matanya.
Malam itu, di tengah hujan yang mulai mereda, Wawan dan Nani mengobrol panjang. Tentang mimpi Nani yang ingin membuka toko kecilnya sendiri, tentang keluarganya di kampung yang sering ia rindukan, hingga kebiasaan kecilnya membaca novel di sela-sela istirahat kerja. Wawan mendengarkan dengan seksama, merasa setiap kata yang keluar dari mulut Nani seperti cerita yang tidak ingin ia lewatkan.
Namun, di tengah percakapan mereka, Nani tiba-tiba berkata, "Mas Wawan, saya senang ngobrol sama Mas. Tapi… saya nggak tahu apakah saya bisa kasih Mas jawaban yang Mas harapkan."
Wawan terdiam, menatap wajah Nani yang tampak sedikit gelisah. "Jawaban apa, Nan?"
Nani terdiam, memegang erat cangkir coklat panas. Matanya menatap permukaan coklat panas yang mengepul lalu menghirupnya, "Saya cuma gadis biasa yang kerja di minimarket. Saya rasa, saya nggak punya sesuatu yang special," jawabnya akhirnya. "Saya... saya nggak tahu apakah saya bisa jadi seseorang yang… lebih dari sekadar teman untuk Mas. Setidaknya, untuk saat ini."
Wawan menggeleng, matanya menatap Nani dengan penuh keyakinan. Sambil tersenyum, ia berkata. "Buat aku, kamu sudah cukup spesial, Nan. Aku nggak peduli kamu kerja di mana. Aku nggak minta kamu jadi siapa-siapa. Aku cuma mau ada di dekatmu, apa pun bentuknya."
Kata-kata Wawan membuat Nani terdiam lama. Akhirnya, Nani tersenyum kecil, senyum yang tulus meskipun masih ragu. “Mas Wawan ini terlalu baik, ya. Tapi… kita lihat saja nanti, ya. Waktu yang akan jawab semuanya. Saya nggak tahu apa saya bisa menerima semua ini dengan mudah, Mas. Tapi… kalau Mas mau, kita bisa memulainya dari sini.”
Wawan tersenyum, perasaannya lega.“Aku terima. Selama aku bisa tetap ada di hidupmu, itu sudah cukup buatku.”
Mereka melanjutkan obrolan, perlahan membuka diri satu sama lain. Malam itu, di bawah hujan yang mulai reda, sesuatu yang sederhana mulai tumbuh di antara mereka. Meskipun keduanya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, malam itu adalah awal dari cerita baru yang akan mereka jalani bersama.
Tamat
Baca juga: Ancaman Yang Bikin Tersenyum