Langkah Pertama, Memaafkan (#2) - Cerbung
Langkah Pertama, Memaafkan (#2) - Cerbung
Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata Ratih terus terngiang di kepalanya, bercampur dengan rasa sakit dan amarah yang belum sepenuhnya reda. Sesampainya di kamar, emosinya yang tertahan sejak tadi akhirnya meledak. Semua bercampur menjadi satu memenuhi dadanya, membuatnya sulit bernapas, sesak, marah, dan kecewa. Belum sempat ia meredakan gejolak dalam dirinya, tiba-tiba pintu di ketuk dari luar, dan Yuni serta Dian sudah berdiri di ambang pintu.
Kedatangan Yuni dan Dian seakan menjadi pemicu. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, seolah-olah mereka telah membuka bendungan yang selama ini menahan rasa sakitnya. Nina terduduk di lantai, tubuhnya bergetar hebat, isakannya memecah kesunyian kamar.
Seketika Yuni berlutut dan memeluknya erat tanpa kata, sementara Dian menutup pintu kamar, memberikan mereka ruang.
"Dia... Ratih..." Nina tergagap di antara isaknya. "Dialah yang merebut Gilang dariku... Dan dia berani datang menemuiku, mengakui semuanya! Aku... aku merasa bodoh. Mereka berdua... Gilang dan Ratih sebegitu teganya melukaiku! Mereka mengkhianati kepercayaanku!"
Yuni mengusap punggung Nina, mencoba menenangkan tangisnya. Dian ikut bergabung, membelai bahunya dengan lembut. Mereka tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan Nina menangis dalam pelukan mereka.
Setelah beberapa saat, tangis Nina mereda. Keheningan menyelimuti kamar, hanya diisi deru napas mereka. Yuni menatap Nina dengan lembut dan berkata, "Nina, aku tahu ini menyakitkan. Tapi kamu sudah melakukan langkah besar dengan mendengarkan dia. Itu artinya kamu sudah mulai menerima kenyataan."
"Dan kamu harus sadar, ini bukan salahmu. Mereka yang salah. Gilang dan Ratih yang memutuskan untuk menghancurkan kepercayaanmu." Dian menambahkan.
Tiba-tiba, emosinya kembali memuncak. "Apa aku begitu lemah? Apa aku sebegitu tidak berharganya hingga mereka bisa menginjak-injak aku seperti ini?" Nina berteriak, menghapus air matanya dengan kasar.
"Kamu tidak lemah, Nina. Justru karena kamu percaya, itulah kekuatanmu. Ratih dan Gilang yang salah karena menyalahgunakan kepercayaan itu. Tapi dengar, kamu tidak boleh membiarkan kesalahan mereka mendefinisikan dirimu," bisik Yuni lembut.
Nina menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Tapi emosinya masih meluap. "Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku marah. Aku kecewa. Aku tidak tahu harus mempercayai siapa lagi."
Yuni dan Dian saling pandang sejenak, lalu Yuni menggenggam tangan Nina dengan erat. "Nina, rasa marah dan kecewa itu wajar. Tapi kamu harus ingat, tidak semua orang seperti mereka. Kamu punya kami, dan kami tidak akan pernah mengkhianati kepercayaanmu."
Dian mengangguk setuju. "Kami tahu ini tidak mudah. Tapi kamu harus bangkit, Nina. Tidak untuk mereka, tapi untuk dirimu sendiri."
Nina menunduk, menghela napas panjang, air mata masih mengalir, namun kali ini lebih tenang. "Aku merasa seperti kehilangan segalanya. Aku tidak tahu lagi harus mulai dari mana," ucapnya dengan suara bergetar.
Yuni tersenyum kecil, meraih tangan Nina dan menggenggamnya erat. "Kamu tidak harus melakukannya sendirian. Kami akan mendampingimu, satu langkah demi satu langkah. Tapi ada satu hal yang harus kamu lakukan sendiri, untuk membebaskan dirimu dari belenggu masa lalu."
"Apa itu?" tanya Nina, suaranya nyaris berbisik seperti hembusan angin.
"Kamu harus memaafkan dirimu sendiri," jawab Yuni lembut. "Maafkan dirimu karena pernah percaya pada orang yang salah. Maafkan dirimu karena merasa lemah. Dan yang paling penting, maafkan dirimu karena merasa tidak cukup. Memaafkan diri sendiri bukan berarti membenarkan kesalahan orang lain, tapi membebaskan dirimu dari beban yang selama ini membebanimu."
Baca juga: Dara, Gadis Dunia Maya
Kata-kata itu menggema di kepala Nina. Selama ini ia terlalu sibuk menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpanya; merasa tidak cukup baik untuk mempertahankan Gilang, kurang pintar untuk menyadari pengkhianatan Ratih, dan tak cukup kuat untuk menghadapi semuanya.
Kini, ia mulai menyadari bahwa menyalahkan diri sendiri tidak akan mengubah apa pun, hanya membuatnya semakin terpuruk.
Nina mengusap wajahnya, menghapus sisa-sisa air mata dengan punggung tangannya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan mereka. Tapi aku akan mencoba untuk memaafkan diriku sendiri. Aku janji," ucapnya.
Mendengar ucapan Nina, Dian mengulas senyum lembut, "Itu langkah pertama," katanya, nadanya menenangkan, "Dan itu langkah yang sangat penting."
Yuni dan Dian tersenyum lega. Mereka tahu perjalanan Nina belum selesai, tetapi setidaknya ia telah mengambil langkah pertama untuk kembali bangkit.
Tiba-tiba nada notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Nina yang tergeletak di meja, memecah keheningan. Nama pengirim di layar yang menyala jelas terbaca: Gilang. Nina terdiam, sementara Yuni dan Dian saling bertukar pandang. Nina meraih ponsel itu dengan tangan gemetar. Yuni dan Dian menatap tajam, kecemasan jelas terpancar dari wajah mereka.
"Nina, jangan dijawab," kata Yuni tegas.
Tapi Nina, dengan hati yang masih berkecamuk, membuka pesan itu: "Kita perlu bicara. Aku bisa jelaskan semuanya."
Nina menggigit bibirnya, tangannya masih memegang ponsel erat-erat. Amarah, rasa sakit, dan kebingungan berbaur di dalam dirinya.
Yuni yang melihat ekspresi Nina langsung menepuk bahunya dan berkata dengan nada penuh emosi, "Sudah kuduga dia akan mengatakan itu! Jelaskan apa? Menjelaskan bagaimana dia dan Ratih berbuat busuk di belakangmu? Nina, tolong jangan beri dia kesempatan."
Dian mencoba lebih tenang, tapi nadanya tetap tegas. "Nina, aku setuju sama Yuni. Kamu sudah tahu kebenarannya. Tidak ada gunanya kasih dia waktu buat berbicara. Dia cuma akan mencoba membuatmu ragu."
Nina menatap ponselnya, membaca pesan itu lagi dan lagi. Rasanya seperti ada sesuatu yang menahan dirinya untuk menghapusnya. Tapi ia juga tahu bahwa mendengarkan Gilang hanya akan membuatnya lebih sakit.
"Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Nina akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Bagian dari diriku ingin tahu... apa dia punya alasan. Apakah ini semua hanya salah paham. Tapi..." Ia menggantung kalimatnya, tak mampu melanjutkan.
Yuni mendengus frustrasi. "Alasan? Nina, alasan apa pun takkan mengubah fakta. Dia sudah berselingkuh. Itu fakta. Apa yang ingin dia katakan? Bahwa dia tak sengaja jatuh cinta pada Ratih? Atau kamu terlalu sibuk untuknya? Omong kosong, Nina."
Dian menepuk punggung Nina pelan. "Nina, tidak apa-apa kalau kamu masih bingung. Tapi kamu harus ingat: tidak semua orang yang bilang 'minta maaf' itu benar-benar tulus. Kadang mereka cuma mencari pembenaran buat kesalahan mereka sendiri. Sekarang kamu harus memikirkan dirimu sendiri, bertemu dengannya hanya akan membuatmu lebih terluka"
Nina menunduk, tangannya memegang ponsel semakin erat. Dengan wajah yang sendu, ia berucap, "Aku harus tahu. Aku harus mendengar langsung darinya. Aku tidak bisa terus bertanya-tanya."
"Untuk apa, Nin?" suara Yuni meninggi. "Kamu sudah tahu dia pengkhianat! Dia mau bicara apa lagi?”
Nina mendongak, menatap sahabatnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku tahu, Yun. Tapi aku butuh ini. Aku butuh mengakhiri ini dengan caraku."
Yuni menghela napas panjang, menatap Nina dengan campuran marah dan prihatin. Dian mencoba lebih bijak. "Kalau kamu benar-benar mau ketemu dia, Nina, setidaknya pastikan kamu nggak pergi sendirian. Biar kami ikut."
Nina menunduk, jari-jarinya mulai mengetik balasan: "Baik. Aku mau dengar penjelasanmu. Kita bisa ketemu di taman dekat rumahku. Jam delapan malam."
Setelah pesan terkirim, Nina menghela napas, merasa lega sekaligus cemas. Ia mendongak dan melihat Yuni menatapnya dengan tajam. "Aku tidak setuju, Nin. Tapi kalau kamu mau, aku tidak akan meninggalkan kamu sendirian. Aku bakal ada di sana, mengawasi dari kejauhan. Dian juga."
"Terima kasih," jawab Nina lirih.
**********
Baca juga: Sepenggal Kisah Dunia Maya
Nina duduk di bangku taman, tubuhnya kaku seperti patung. Udara malam menusuk kulitnya, tapi ia nyaris tak merasakannya. Pikirannya bercampur aduk, penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Dari balik pohon, Yuni dan Dian mengawasi Nina dengan cemas.
Tak lama, langkah berat terdengar mendekat. Gilang muncul, mengenakan jaket hitam, wajahnya terlihat penuh penyesalan. Ia berhenti beberapa langkah di depan Nina, menatapnya dengan ragu.
"Nina," Gilang sapa pelan.
"Duduk," jawab Nina dingin sambil menunjuk bangku di depannya.
Gilang duduk dengan gugup. "Nina," ia memulai dengan suara pelan, hampir berbisik. "Aku tidak tahu harus memulai dari mana, tapi aku di sini karena aku ingin kamu tahu... aku minta maaf. Aku sungguh menyesal."
Nina menatapnya tajam, wajahnya tanpa ekspresi. "Minta maaf? Kamu pikir kata-kata itu cukup untuk memperbaiki semuanya?"
Gilang menggigit bibirnya, lalu menghela napas berat. "Aku tahu tidak ada yang bisa aku katakan untuk menghapus apa yang sudah terjadi. Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak ada apa-apa. Aku harus jelaskan semuanya ke kamu."
"Jelaskan apa?!" Nina menyela, suaranya mulai bergetar. "Bagaimana kamu dan Ratih, sahabatku sendiri, bisa merusak kepercayaanku?! Atau mungkin kamu mau katakan ini semua tidak sengaja?!"
Gilang terdiam, ia mencoba untuk tetap tenang. "Aku tidak akan menyangkal apa pun, aku tahu aku salah. Tapi aku dan Ratih... hubungan itu dimulai saat aku merasa kita semakin jauh, Nina. Aku merasa kamu tidak ada untukku."
"Berhenti!" potong Nina. Matanya menatap penuh kemarahan. "Jangan salahkan aku atas kesalahanmu. Kalau kamu punya masalah denganku, kamu harusnya bicara. Bukan malah berkhianat. Apalagi dengan Ratih! Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan karena kamu berkhianat. Tapi karena kamu melakukannya dengan seseorang yang aku percaya. Kamu menghancurkanku, Gilang. Kamu dan Ratih... kalian berdua menghancurkanku."
Gilang ingin meraih tangan Nina, tapi ia tahu itu hanya akan membuat segalanya lebih buruk. "Nina, aku bodoh. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan. Aku kehilangan kamu, dan aku sadar aku tidak akan pernah menemukan seseorang seperti kamu lagi. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita memulainya lagi."
Nina terdiam sejenak, lalu tertawa getir. "Memulai lagi? Kamu serius? Setelah semua ini, kamu pikir aku masih bisa percaya kepadamu?"
Gilang terdiam, tidak mampu menjawab. Dari kejauhan, Yuni dan Dian yang sedari tadi mengawasi mulai bergerak mendekat, siap campur tangan jika diperlukan.
"Aku datang ke sini bukan untuk memberimu kesempatan kedua, Gilang," lanjut Nina dengan suara dingin. "Aku datang ke sini untuk memastikan, aku tak perlu lagi mempertanyakan apa pun tentang kamu. Aku sudah selesai denganmu dan semua kebohonganmu. Kamu tidak layak untukku."
Gilang menatap Nina dengan mata penuh penyesalan. "Nina, tolong..."
"Cukup!" Nina memotongnya dengan tegas. "Kamu tidak perlu bicara apa-apa lagi. Kamu dan Ratih sudah cukup menyakitiku. Jangan cari aku lagi, jangan hubungi aku lagi. Gilang. Jangan pernah!"
Tanpa menunggu jawaban, Nina berbalik dan berjalan pergi dengan langkah yang tegap. Yuni dan Dian segera menghampirinya, masing-masing menggandeng lengannya, memberikan dukungan tanpa perlu banyak kata.
"Kamu baik-baik aja kan?" tanya Dian, menatapnya penuh perhatian.
Nina mengangguk, meskipun hatinya masih terasa hancur. "Aku tak tahu apa aku baik-baik saja. Tapi aku tahu aku tidak mau terus tenggelam di masa lalu."
Dan malam itu, meski rasa sakit masih menguasainya, Nina tahu bahwa ia telah mengambil langkah pertama untuk menyembuhkan dirinya. Rasa sakit masih ada, tapi ia tahu ia akan bertahan. Karena kini ia mengerti bahwa ia jauh lebih berharga daripada apa yang telah hilang.
Tamat
Part sebelumnya: Langkah Pertama, Memaafkan (#1)
Jadi ceritanya Gilang dan Nina itu LDR an ya, makanya dia selingkuh dengan Ratih?
BalasHapusKurang tau juga, coba nanti saya tanyakan..
HapusGilang ngga usah khawatir, biarpun Nina kabur dan tidak memberikan kesempatan kedua, masih ada Herman dan khanif.😁
BalasHapus🏃💨💨💨
Wkwkwk, kacau nih orang..wkwkwk
HapusBarang kali khanif minat main anggar sama Gilang wkwkwk.
Hapus🏃💨💨💨
gak minat gw mas 😋
HapusTepuk tangan buat Nina. 👏👏👏. Sekali pengkhianat akan tetap pengkhianat. Ga akan bisa dipercaya lagi. JD memang lebih bagus putusin bener2 😄
BalasHapusBetul, sekali pengkhianat tetap pengkhianat, bumi hanguskan pengkhianat..hihihi
Hapuslelaki kalo udah selingkuh sekali pasti di ulangin lagi sih, terlebih cwo buaya darat seperti agus.. eh salah, gilang maksut gw 🤣
BalasHapuskata pak Guru, Tuhan saja Maha Pemaaf, masa Nina keras tak mau memberikan kesempatan kedua ya
BalasHapus