Ratih, Secantik Dewi Ratih - Cerpen

Ratih, Secantik Dewi Ratih - Cerpen




ratih, secantik dewi ratih - cerpen
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah


Jumat pagi hujan turun begitu derasnya. Aku melihat jam tanganku, sudah hampir jam tujuh. Tak mungkin lagi aku menunda untuk berangkat kerja karena hari ini akan ada pejabat penting yang datang. Kubuka pintu mobil. Hawa dingin dari AC yang kuhidupkan berembus keluar. Setelah duduk di kursi pengemudi dan menutup pintu serta mengenakan sabuk pengaman, mobil pun kukeluarkan dari garasi rumah.

Mobil kujalankan dengan pelan-pelan dan hati-hati. Maklum, jalan di depan rumahku tidak begitu lebar. Dari rumahku ke jalan raya tidaklah begitu jauh, kurang lebih dua ratus meter. Setelah melewati satu tikungan ke kanan, akan bertemu dengan jalan raya yang akan membawaku menuju tempat kerjaku.

Di jalan raya, aku menjalankan mobilku tidak begitu kencang karena hujan masih turun dengan derasnya, membuat pandangan tak begitu jelas. Tak jauh dari persimpangan, di depan sebuah toko yang masih tutup, tampak seorang wanita melambaikan tangannya, memintaku berhenti untuk menumpang. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena terhalang oleh deras hujan, tetapi aku masih bisa melihat pakaiannya, dia berseragam kerja warna biru.

Mobil kupelankan dan kuhentikan tak jauh darinya. Dengan bergegas tanpa berkata apa-apa lagi, dia langsung membuka pintu depan mobilku dan duduk di sebelahku.

"Maaf, Bang. Saya kehujanan, dari tadi tunggu angkot nggak ada yang lewat. Sekalinya ada, sudah penuh. Ya, daripada aku terlambat, terpaksa mobil Abang aku hentikan. Maaf ya, Bang," dia berkata polos sambil mengibaskan rambutnya yang panjang dan menempel di kerah baju seragam kerjanya karena basah.

Sekilas, aku tak sengaja melihat tengkuknya, putih dan bersih.

"Tak apa-apa, santai saja, memang hujan-hujan begini, biasanya angkotnya jadi sulit, apalagi di ujung jalan sana terkadang banjir, jadi sopir angkot malas untuk lewat sini," jawabku sambil kembali konsentrasi pada jalan yang sudah digenangi air hujan.

"Abang kerjanya di mana?" tanyanya.

Aku menyebutkan satu nama tempat sambil melirik wajahnya.

"Astaga! Apakah aku bermimpi? sesosok bidadari sedang duduk di sebelahku. Wajahnya sungguh cantik. Matanya bulat bersinar dengan bulu mata yang lentik dan alis yang melengkung sempurna di atasnya. Hidung yang proporsional menempel rapi, dan bibirnya tipis, lembut, dan berwarna alami," ucapku dalam hati.

Aku sedikit kehilangan konsentrasi. Mobil tiba tiba memasuki genangan air yang cukup dalam.

"Hati hati, Bang. Banyak genangan dan licin. Kita bisa slip nanti," dia mengingatkanku.

"I... I... Iya. Kamu kerja di mana?" aku lontarkan pertanyaan untuk menghilangkan rasa kaget.

Dia menyebutkan sebuah nama gedung dan nama jalan. Entah kebetulan atau apa, jalan yang dia sebutkan itu searah dengan tempat kerjaku.

"O, kalau begitu kamu bisa ikut sampai ke tempat kerjamu, kebetulan kita searah."

"Makasih, Bang."

Aku mengangguk dan kembali berkonsentrasi mengemudikan mobil, sementara dia duduk menyandarkan tubuhnya dan kedua tangannya disilangkan di atas paha.


Wanita memang makhluk yang luar biasa. Aku yang bisa dibilang sudah banyak menghadapi wanita, mulai dari yang centil sampai yang manja, kini tiba-tiba aku merasa seperti seekor tikus menghadapi seekor kucing. Aku merasa kehilangan kata-kata dan kehabisan bahan pembicaraan, padahal aku di tempat kerja terkenal suka membanyol.

"E... ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana?"

"Di gang tak jauh dari tempat tadi aku menumpang, Bang."

"Oh. Namamu siapa?" aku kembali bertanya.

"Ratih, Bang."

"Ratih. Sebuah nama yang betul-betul pas sama orang. Kamu memang secantik Dewi Ratih."

"Ah, Abang nih bisa aja," dia menjawab sambil tersipu.

Hatiku meronta melihat rona pipinya yang tiba tiba memerah bak semburat merah di ufuk barat.

"Tolong ambilkan uang di box di bawah pemutar musik itu, buat bayar tol."

Dia menundukkan badan untuk mengambil uang di dalam box, aku melirik ke kiri, tiba tiba pemandangan yang begitu indah terbentang di depanku.

"Yang ini, Bang... Oups," tiba tiba dia menyadari, aku sedang meliriknya.

"Maaf, ya yang itu. Yang sepuluh ribuan," aku menjawab sambil memalingkan muka ke depan dan langsung menginjak rem karena mobil di depanku berhenti tiba-tiba.

Tangan kanannya yang tadinya akan menutup dadanya tiba-tiba menggapai sesuatu untuk pegangan agar dia tidak terantuk ke dashboard mobil yang aku rem secara mendadak. 

Dia berteriak kecil dan berkata, "Maaf. Aku nggak sengaja, Bang," 

Dia menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya karena malu dan jengah.

Setelah insiden itu, suasana menjadi agak canggung. Aku dan Ratih hanya terdiam, namun sesekali tatapan kami saling beradu. Seolah ada getaran yang tak terlihat yang tercipta di antara dua jiwa yang tak sengaja bertemu di tengah hujan deras.

"Maafkan aku, Ratih. Aku tadi tak sengaja dan bukan maksudku untuk..."

Belum selesai aku berkata, Ratih memotong perkataanku, "Aku tau dan aku juga minta maaf."

Aku merasa perlu untuk menciptakan suasana yang lebih nyaman untuk mengalihkan fokusku dan fokus Ratih atas insiden tadi agar kecanggungan antara aku dan Ratih bisa menghilang. Aku lalu memutar musik, sebuah lagu dari Nike Ardilla mengalun merdu.


Ketika lagu memasuki reff, walau pelan aku mendengar Ratih ikut bernyanyi, "Lamunanku terhempas saat aku berlari / Menuju ujung senja sangat ketakutan / Masih adakah harapanku / Masih adakah kesempatan / Untuk meraih rembulan."

"Ternyata Ratih suka lagu Nike Ardilla juga, ya. Selain lagu yang ini, lagu Nike yang mana lagi yang Ratih suka," tanyaku.

Sambil tersenyum manis Ratih menjawab, "Walau tidak semuanya, tapi lumayan banyak juga lagu Nike yang aku suka, Bang. Dan lagu ini salah satu lagu favoritku." Lalu Ratih menyebutkan judul lagu Nike Ardilla lainnya yang ia suka.

"Ternyata kita sama, sama-sama penyuka Nike Ardilla."

Ratih mengangguk pelan.

Suasana canggung perlahan menghilang, aku dan Ratih kembali mulai berbicara dengan santai dan nyaman.

Aku menatap Ratih sebentar. "Ratih pasti kedinginan. Apa Ratih mau memakai jaketku untuk sekadar menghilangkan rasa dingin?" tawaranku sambil menunjuk jaket di kursi belakang.

Ratih melihat ke kursi belakang, dilihatnya ada sebuah jaket berwarna coklat lalu ia berkata, "Terima kasih, Bang, aku tak merasa kedinginan dan aku juga tak mau merepotkan Abang."

"Enggak, enggak merepotkan sama sekali," jawabku lalu mengambil jaketku dan menyerahkan jaket itu kepadanya.

Ratih menerima jaket yang kuberikan dan ia pun mengenakannya. Meskipun jaketku agak kebesaran baginya, dia tetap terlihat menggemaskan ketika mengenakannya.

Hujan terus turun semakin deras, menciptakan irama gemercik di atas atap mobil. Obrolan aku dan Ratih pun kembali mengalir.

"Oh ya, Ratih kerja apa?" tanyaku.

"Bekerja di sebuah perusahaan distribusi, Bang. Tugasku mengurusi administrasi dan kadang-kadang juga harus turun langsung ke gudang."

"Aku sendiri di bidang teknologi dan pengembangan," ucapku sambil tersenyum memberitahu pekerjaanku.

"Pasti seru ya, Bang. Aku juga ingin belajar hal-hal baru, tapi belum kesampaian," kata Ratih.

"Kalau ada keinginan pasti akan terlaksana, percayalah."

Aku dan Ratih terus bercerita dan sesekali tertawa bersama sepanjang perjalanan. Begitu banyak hal yang kami bahas. Di luar mobil hujan masih turun dengan derasnya.

Setibanya di tempat kerja Ratih, hujan sedikit reda. Aku hentikan mobilku tepat di depan tempat kerjanya dan Ratih bersiap untuk turun.

"Terima kasih sudah memberikan tumpangan, Abang penyelamat hariku," ucap Ratih dengan tulus.

"Tak masalah. Aku senang bisa membantu," jawabku disertai dengan senyuman.

Ratih turun dari mobil dengan jaketku masih melindunginya. Dia menoleh ke arahku, dan aku pun membuka jendela mobil.

"Sampai jumpa, Bang. Sekali lagi, terima kasih atas tumpangannya."

Aku dan Ratih saling tersenyum, seolah ada perasaan yang tak terucap di antara kami. Ratih berjalan masuk ke gedung tempanya bekerja, dan aku pun kembali menjalankan mobilku meninggalkan gedung itu untuk meneruskan perjalanan menuju tempat kerjaku.

Selama perjalanan menuju tempat kerjaku, aku tak bisa menghilangkan senyuman dari wajahku ketika teringat saat-saat bersama dengan Ratih.
 
Saat perjalanan sudah lumayan jauh dari gedung tempat Ratih bekerja, aku baru tersadar dan sontak berteriak, "Astaga! Aku lupa meminta nomor ponselnya, siaall!!"



Tamat

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung

O.D.O.P - Cerpen

Misteri Di Balik Senja (#2) - Cerbung

Apakah Memang Dia? (#1) - Cerbung