Pengakuan Yang Mengubah Segalanya (#2) - Cerbung

Pengakuan Yang Mengubah Segalanya (#2) - Cerbung




pengakuan yang mengubah segalanya (#2) - cerbung



Suasana sore itu begitu tenang. Cahaya matahari mulai meredup, menyisakan semburat jingga di langit. Setelah beberapa saat hening, Indra memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Indra merasa ini adalah moment yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

"Nindi, sebenarnya ada sesuatu yang sudah lama ingin aku katakan padamu," ujar Indra, suaranya sedikit bergetar.

Nindi menatap Indra dengan tatapan bertanya. "Apa itu, Dra?"

Indra menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya. Ia menatap ke depan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu kita belum begitu lama kenal. Tapi selama ini, setiap kali kita ngobrol atau ketemu, aku selalu merasa... nyaman. Seperti aku bisa jadi diriku sendiri. Dan aku tidak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama, tapi aku tak mau lagi menahan ini. Aku... aku ingin jujur sama kamu. Sudah lama aku menyimpan perasaan ini, dan aku rasa ini saatnya aku mengatakan padamu. Aku menyukaimu, lebih dari seorang teman."

Hening menyelimuti taman, Nindi terdiam, matanya menatap ke arah lain dengan ekspresi yang sulit diartikan. Indra menahan napas. Jantungnya berdebar menanti jawaban Nindi yang ia rasakan begitu lama. Setelah beberapa saat, Nindi pun tersenyum, lalu ia berkata, "Terima kasih sudah jujur, aku... aku menghargai itu. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tak mau membuatmu terluka, tapi aku tidak yakin aku bisa membalas perasaanmu dengan cara yang sama. Aku benar-benar menghargai apa yang kamu rasakan, tapi aku... aku tak bisa untuk sesuatu yang lebih dari pertemanan. Kamu tahu, aku menganggapmu sebagai sahabat yang baik."

Indra merasakan hatinya seperti diremas perlahan. Jawaban Nindi memang halus, tapi jelas sekali penolakan di sana. Kecewa pasti, tapi ia berusaha untuk tetap tenang, meskipun matanya mulai terasa panas. Indra berusaha untuk tersenyum.

"Aku mengerti," ucap Indra pelan. "Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu. Aku akan mencoba untuk menerima jawabanmu," sambungnya.

Nindi mengangguk pelan, "Maaf. Tak ada niatku untuk membuatmu terluka."

"Tidak apa-apa, Nin. Ini bukan salahmu." jawab Indra, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Suasana menjadi canggung. Keduanya terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Indra merasa seperti ada dinding yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Mereka mencoba mengalihkan pembicaraan, namun topik yang mereka bicarakan terasa begitu hambar. Dan akhirnya, mereka lebih banyak terdiam.

Matahari sudah tenggelam, meninggalkan langit malam yang dihiasi bintang-bintang dan bulan. Cahaya bulan memancar begitu lembut dan menenangkan, menerangi wajah mereka yang terdiam dalam pikiran mereka masing-masing.

Setelah beberapa saat, Nindi akhirnya memecah keheningan. Suaranya terdengar lembut. "Indra, aku harap ini tidak mengubah persahabatan kita. Aku ingin kita tetap seperti sebelumnya," ujarnya sambil menatap wajah Indra.

Indra menoleh ke arah Nindi. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka tak akan pernah sama lagi. Namun, ia tidak ingin kehilangan sosok Nindi dalam hidupnya. Ia menarik napas panjang, "Aku akan mencoba, Nin. Mungkin butuh waktu, tapi aku janji akan berusaha."

Nindi tersenyum, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. "Terima kasih, Dra. Aku benar-benar menghargai itu."

Indra mengangguk pelan, hatinya masih terasa berat, namun ia berusaha untuk tetap tersenyum.

"Sudah malam, aku harus pulang," ucap Nindi lalu ia pun berdiri.

Indra mengangguk dan berdiri. "Ya, aku juga."

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Sesampainya di parkiran, Indra berhenti di depan motornya.

"Indra," panggil Nindi.

Indra menoleh.

"Aku... aku tidak ingin persahabatan kita berubah karena ini. Aku peduli padamu" ucap Nindi sekali lagi untuk memastikan hubungan mereka.

Indra tersenyum getir. "Aku juga tidak ingin begitu, Nin. Kita tetap bisa menjadi teman baik, kan?"

Nindi mengangguk. "Tentu."

"Terima kasih, Nindi. Sampai jumpa."

"Iya, hati-hati di jalan."

Mereka berpisah dengan senyum yang dipaksakan. Indra pergi meninggalkan taman itu dengan motornya. Hatinya terasa berat. Ia merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga, namun ia berusaha untuk tegar. Ia tahu, ini adalah kenyataan yang harus ia terima.

=============== Rasa Yang Telah Terbunuh ===============

Bayu berdiri di depan rumah Indra, matanya terus melihat ke kiri dan ke kanan jalan seperti ada yang ditunggunya. Ketika melihat motor Indra di kejauhan, ia tersenyum kecil. "Akhirnya tiba juga dia," gumamnya dalam hati. Tak lama kemudian, Indra sampai di depannya.

"Gimana?" tanya Bayu, mencoba membaca ekspresi Indra.

Indra menghela napas panjang. ia terlihat tampak begitu lelah, walaupun ia tersenyum, Bayu melihat senyuman itu senyum yang dipaksakan. "Dia bilang dia nggak bisa membalas perasaanku. Aku tahu aku harus siap untuk jawaban itu. Seperti yang kamu bilang, Bay. Aku harus siap untuk hasil apapun namun... tetap saja, rasanya tak mudah."

Bayu menatap sahabatnya, merasa hatinya terhimpit oleh rasa bersalah. Ia ingin menghibur Indra, ingin mengatakan sesuatu yang bisa menghapus kesedihan di wajahnya, tetapi kata-kata itu tak kunjung muncul.

Bayu mendekat dan menepuk pundaknya. "Aku tahu ini berat, Dra. Tapi aku bangga sama kamu. Tak semua orang berani jujur seperti kamu."

Indra menatap Bayu, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan betapa tulusnya dukungan yang selalu diberikan sahabatnya itu. Tanpa sadar, ia berkata, "Kadang aku merasa, aku tidak butuh apa-apa lagi selain punya kamu di sisiku."

Bayu tertawa kecil, meski matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku selalu ada buat kamu. Jangan pernah lupa itu."

Indra hanya mengangguk, lalu ia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Setelah Indra masuk dan menutup pintu, Bayu berdiri sebentar di depan pintu. Ia menatap pintu yang tertutup. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia harus memberitahukannya. Tapi kemudian ia berpikir tentang bagaimana Indra akan bereaksi. Sahabatnya itu sudah terluka. Dan ia tidak ingin menjadi orang yang menambah bebannya. Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, Bayu melangkah pulang.

Di dalam kamar, Indra duduk di atas tempat tidur, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Ia hampir mengirim pesan kepada Nindi sekadar ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja di antara mereka. Tapi ia mengurungkan niatnya, berpikir bahwa mungkin yang terbaik adalah memberi Nindi ruang.

=============== Dia Yang Kusayang ===============

Setibanya Bayu di rumahnya, hari hampir tengah malam. Ia membuka pintu dan hendak masuk, ponselnya bergetar berbarengan dengan bunyi notifikasi satu pesan WhatsApp. "Aneh, hampir tengah malam siapa yang mengirim pesan?" gumamnya dalam hati. Layar ponsel menyala, menampilkan pesan dari Nindi: "Indra tadi menyatakan isi hatinya, ia bilang suka padaku lebih dari seorang teman. Aku tak tahu harus bagaimana, Bay. Aku merasa bersalah."

Bayu membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu Nindi tidak berniat menyakiti Indra, tetapi keadaan ini membuat mereka bertiga terperangkap dalam situasi yang rumit.

Tanpa sadar, Bayu menelepon Nindi, ketika suara Nindi terdengar di seberang, ada keheningan beberapa detik sebelum akhirnya ia berbicara.

"Kita tidak bisa terus seperti ini, Nin. Indra itu sahabatku."

"Aku tahu, Bay," jawab Nindi dengan suara lirih. “Aku tak pernah bermaksud menyakitinya, tapi... aku tidak bisa memaksakan sesuatu yang tidak aku rasakan."

Bayu menghela napas panjang. Ia tahu Nindi benar, tetapi ia juga tahu bahwa kebenaran ini akan menghancurkan Indra.

"Aku akan bicara sama dia, Nin" kata Bayu akhirnya.

"Tunggu," sela Nindi cepat. "Bayu, ini tentang aku, biarkanlah aku yang bicara. Aku harus jujur sama dia."

"Apakah kamu sudah siap?" tanya Bayu.

"Siap atau tidak siap, aku harus bicara kepadanya. Aku tak mau membuat dia terluka lebih dalam."

Bayu menghela napas. "Aku khawatir dia akan semakin terluka, Nin. Tapi, kalau itu yang kamu inginkan, aku mendukungmu."

"Terima kasih, Bay. Aku butuh kamu."

"Kapan kamu akan menemui Indra."

"Besok sore selepas jam kerja aku akan meminta Indra untuk bertemu di taman," jawab Nindi.

"Baiklah, kalau begitu aku akan menunggumu di kafe dekat taman," jawab Bayu. "Jika kamu butuh apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku."

Malam itu, Bayu berbaring di tempat tidurnya, memikirkan kata-kata Nindi. Ia tahu Nindi berusaha melakukan yang terbaik, tetapi hatinya tidak tenang. Ia juga merasa bersalah karena telah merahasiakan sesuatu kepada Indra.

=============== Dara, Gadis Dunia Maya ===============

Matahari mulai merunduk, langit biru perlahan-lahan berubah menjadi jingga keemasan. Di taman yang mulai sepi, Nindi duduk di bangku kayu menunggu Indra. Ia tampak gelisah, jantungnya berdegup tak karuan. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Indra akan datang. Di tangannya segelas minuman dingin yang dibelinya sejak di perjalanan sudah hampir habis.

Angin sore berhembus lembut. Nindi memainkan sedotan di gelas plastik minumannya. Jemarinya gemetar, bukan karena dinginnya hembusan angin, tetapi karena campuran gelisah dan ragu yang menggulung dalam dadanya. Matanya menatap kosong ke arah rerumputan hijau yang mulai menguning, namun sesekali melirik ke arah jalan setapak, berharap sosok yang ditunggunya akan segera muncul.

Namun, menit demi menit berlalu, dan bayangan Indra tak kunjung terlihat. Matahari semakin turun, menyisakan semburat oranye dan ungu di cakrawala. Nindi menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, meski hatinya mulai diliputi rasa kecewa.

"Kenapa dia belum datang?" gumamnya pelan, hampir seperti angin yang berlalu. Ia mencoba memutar otak, mengingat apakah ada pesan dari Indra yang mungkin terlewat dibacanya. Ia merogoh ponsel di dalam tas kecilnya dan membuka aplikasi pesan. Tidak ada pesan baru.

Waktu terus berjalan, suasana di taman semakin sepi. Lampu-lampu taman mulai menyala, memberikan cahaya yang menemani Nindi. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak berpikiran buruk. Tapi semakin lama, perasaan gelisah semakin menguasainya.

Sebuah langkah kaki terdengar. Nindi langsung menoleh, hatinya melonjak sesaat. Namun, yang muncul hanyalah seorang gadis remaja yang membawa seekor kucing. Nindi menghela napas berat, kembali menunduk, memainkan sedotannya lagi.

"Tunggu... apa aku terlalu berharap?" pikirnya.

Namun, sebelum ia tenggelam lebih jauh dalam kekecewaan, suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih berat dan jelas. Suara sepatu yang beradu dengan jalan. Nindi menoleh dengan cepat, akhirnya ia melihat Indra muncul di ujung jalan.

Indra tampak tergesa-gesa, napasnya sedikit terengah, seakan-akan ia habis berlari. Begitu sampai di depan Nindi, Indra berhenti, menatapnya dengan wajah penuh penyesalan dan berkata, "Maaf, Nin. Aku... ada hal mendadak di kantor. Aku tak ingin kau menunggu terlalu lama."

"Aku pikir kamu tak akan datang," jawab Nindi pelan.

Indra duduk di sebelahnya, mengusap tengkuknya sambil tersenyum kecil. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," kata Indra. "Terima kasih sudah menungguku."

"Terima kasih sudah mau datang. Aku tahu aku sudah membuatmu terluka. Tapi aku tak bisa terus menyembunyikan ini. Aku harus cerita, meskipun aku tak yakin kamu bakal mengerti."

Indra melipat tangan di depan dada, "Cerita apa dan apa yang kamu sembunyikan, Nin? Aku butuh penjelasan. Kamu bilang kemarin tidak bisa. Apa maksudnya? Apakah ada yang salah pada diriku? Aku cuma mau tahu kenapa?"

Nindi menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri. Namun ketika ia membuka mulut, suaranya hampir tidak terdengar. "Indra… Kamu tidak salah apa-apa. Kamu baik, dan aku bersyukur pernah kenal kamu. Masalahnya bukan di kamu. Tapi..."

Indra mengangkat alisnya, "Jadi masalahnya apa, Nindi? Aku tidak mengerti. Jangan terus bicara berputar-putar. Tolong jelaskan."

Nindi memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali. Ada genangan air di matanya saat ia berkata dengan suara yang bergetar, "Masalahnya ada di aku. Aku… aku bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku berbeda dengan wanita lain yang bisa membalas perasaanmu."

Indra mengerutkan dahi, suaranya terdengar semakin frustrasi. "Apa maksudmu? Aku mohon, jelaskan dengan jujur, Nindi."

Nindi mendongak, menatap mata Indra dengan penuh rasa bersalah. Air matanya mulai menetes saat ia berkata dengan lirih, "Aku… Aku tidak bisa mencintai kamu. Bukan karena kamu kurang baik. Tapi karena aku tidak bisa tertarik pada pria mana pun."

Indra terdiam, matanya melebar karena terkejut. Ia butuh beberapa saat sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan namun penuh keterkejutan, "Jadi… kamu…"

"Iya." Nindi menyeka air matanya dengan cepat, lalu melanjutkan, "Aku tak pernah mengatakan kepada siapa pun, karena aku takut. Aku takut dihakimi. Tapi aku tidak bisa terus pura-pura. Aku… Aku bukan orang yang kamu harapkan. Aku..." Tangis Nindi pun pecah.

Indra berdiri dan melangkah mundur, tangannya terangkat seperti menolak kenyataan. "Kamu bercanda, kan? Ini semacam alasan supaya aku berhenti mengejarmu, kan?"

Nindi menggeleng cepat, air matanya mengalir semakin deras. "Tidak, Indra. Aku serius. Aku tahu ini sulit buat kamu. Aku tahu aku seharusnya jujur dari awal. Tapi aku terlalu takut kehilangan kamu. Aku takut kalau kamu tahu kamu akan membenciku."

Lama Indra menatap Nindi, lalu tertawa getir dan berjalan beberapa langkah menjauh. Ia berkata, "Membencimu? Aku bahkan tidak tahu harus merasa apa sekarang. Kamu tahu seberapa lama aku mencintaimu? Kamu tahu seberapa besar harapan yang aku punya? Dan kamu biarkan aku terjatuh seperti ini?"

Tiba-tiba, langkah kaki lain terdengar di kejauhan. Bayu datang, ia berlari kecil ke arah mereka, wajahnya serius. Bayu berkata dengan suara tegas, "Indra, cukup."

Indra menoleh cepat dan dengan emosi ia bertanya, "Bayu, kenapa kamu ke sini?"

Bayu berhenti beberapa langkah di depan Indra, "Maafkan aku, Dra. Aku ke sini untuk mendukungmu dan juga, Nindi."

"Apa kamu tahu semua ini. Kamu tahu dia... Seperti itu," tanya Indra dengan wajah memerah menahan emosi.

Bayu menatap tajam ke arah Indra, lalu ia mengangguk perlahan. "Iya, aku tahu. Beberapa waktu yang lalu tak sengaja Nindi terpergok olehku. Waktu itu aku tak mau memasalahkannya, tapi sekarang aku rasa ini saatnya kamu tahu."

Indra melangkah mendekati Bayu, suaranya semakin keras. "Kamu tahu dan kamu tak bilang apa-apa ke aku? Kamu sahabatku, Bayu! Kenapa kamu diam saja? Kamu biarkan aku mempermalukan diriku sendiri!"

Bayu mengangkat tangannya sedikit, mencoba menenangkan Indra. "Indra, Ini bukan rahasiaku untuk diceritakan. Aku tahu ini bakal sulit untuk kamu terima, tapi ini hidup Nindi, bukan hidupku. Dia berhak menentukan kapan dia siap bicara. Aku ada di sini hanya untuk mendukungnya."

Indra tertawa kecil, penuh kepahitan. Ia menggelengkan kepala, lalu berkata dengan suara dingin, "Kalian berdua, aku tak percaya. Kalian menyembunyikan semuanya. Kalian tahu aku berharap. Tapi kalian membiarkanku terus menjadi orang bodoh."

Nindi berdiri perlahan, tangisannya belum berhenti. Suaranya terdengar lirih saat berkata, "Aku tak pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya takut. Aku takut kehilangan kamu, Indra."

Indra memalingkan wajah, menahan amarah dan kekecewaannya. Ia berkata dingin "Kamu sudah kehilangan aku, Nindi. Dan kamu juga, Bayu. Aku tidak tahu kapan aku bisa memaafkan kalian. Aku butuh waktu."

Bayu mencoba menghentikan Indra yang mulai melangkah pergi. Suaranya rendah tapi penuh ketegasan, "Indra, ini bukan soal kamu. Ini soal Nindi yang akhirnya berani menjadi dirinya sendiri. Dia tidak salah. Dia cuma butuh keberanian untuk jujur, dan itu tidak gampang. Ini tidak adil, kalau kamu menyalakannya."

Indra berhenti sejenak, namun tidak menoleh. Ia berkata dengan suara rendah, "Aku tahu dia tidak salah. Tapi itu tak mengubah apa yang aku rasakan. Aku kecewa. Sama dia. Sama kamu juga, Bayu."

Indra melanjutkan langkahnya, pergi tanpa menoleh. Bayu hanya bisa menatap sahabatnya yang perlahan menghilang di balik bayangan pohon-pohon taman. Nindi terduduk kembali di bangku, wajahnya penuh kesedihan

Bayu mendekati Nindi, menepuk bahunya dengan lembut dan berkata pelan. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, itu yang paling penting. Dia hanya butuh waktu untuk menerimanya "

Nindi terisak, berkata dengan suara bergetar, "Aku tak mau kehilangan dia, Bay. Dia sahabatku."

Bayu menarik napas dalam-dalam, menatap ke arah langit yang mulai gelap. Ia berkata pelan, "Kalau dia benar-benar sahabatmu, dia akan kembali. Tapi sampai saatnya itu, kamu harus kuat."

Angin malam bertiup, membawa hawa dingin. Nindi tetap duduk diam, sementara Bayu berdiri di sisinya, mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka bertiga telah berubah selamanya, mungkin tidak akan pernah kembali seperti dulu




Tamat

=============== Sepenggal Kisah Dunia Maya ===============

Komentar

  1. Panjang juga ceritanya, meski pada akhirnya bubar semuanya. Akankah Indra mau menerima semuanya? Apakah mereka bisa berteman dan menganggap Nindy sebagai sahabat? Nggak tahu.😂😂


    Ngomong2 nggak ada lagu Nike Ardilanya nih?🙄🙄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah kelar ceritanya, ngga ada sambungannya lagi..wkwkwk..semua terserah pembacanya, mau gimana..wkwkwk

      Ngga tau tuh, widget-nya mendadak ngga berfungsi padahal ngga diutak-atik.

      Hapus
    2. Aku koq nganggep si Nindi apa lesbi kah ?..who knows ya..itu cuman tebakan aku aja, Se cetek itu gak aku mikirnya, kalo beda pendapat enggak apa khn...piss✌️

      Hapus
    3. Tumben suhu satria nongol, apa lagi ngga mangkal ya? 😅

      Hapus
    4. Iya, tumben mas Satria nongol nih

      Hapus
  2. Kok nanggung sih, belum jelas itu ke depannya, apakah indra akan menyewa dukun Ki Dahlan untuk memelet Nindi agar suka sama dia?

    Ataukah dia akan menghubungi John Wich untuk membunuh Bayu karena membuat dia kecewa.😱

    BalasHapus
  3. Aku kok kayak mb Mreneyoo mikirnya... semoga salah nebak

    BalasHapus

Posting Komentar

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Beranjak Dari Luka - Cerpen

Sepenggal Kisah Dunia Maya (#3) - Cerbung

Jejak Hati Di Minimarket - Cerpen

Pengakuan Yang Mengubah Segalanya (#1) - Cerbung

Ancaman Yang Bikin Tersenyum - Cerpen