Dia Yang Sudah Lama Tertidur - Cerpen

Dia Yang Sudah Lama Tertidur - Cerpen




dia yang sudah lama tertidur  - cerpen
Sumber gambar google.com diedit oleh Hermansyah


Sedang asyik-asyiknya Dani bermain game C.O.P sambil menunggu waktu pulang kerja, tiba-tiba ada telpon masuk dari nomor tak dikenal. Dani pun menggerutu panjang pendek, "Siallllll... Siapa sih ini yang menelepon menganggu keasyikan orang bermain game saja." Dani hanya memandangi layar ponselnya, ia tak merespon panggilan tersebut. Tak sampai lima detik panggilan itu terputus.

"Di jaman menelepon sudah murah, masih ada saja yang hanya missed call," sambil tertawa Dani berkata dalam hati.

Dani kembali hendak melanjutkan bermain game C.O.P yang terhenti, namum belum sempat ia melanjutkannya. Nomor tak dikenal itu kembali menelepon, dan seperti sebelumnya, panggilannya sudah diputus kurang dari lima detik. Hal itu ia dilakukannya sampai enam kali, mungkin dia berpikir akan ditelepon balik.

"Jangankan enam kali, seratus kali di-missed call pun, nggak bakalan saya telepon balik. Jangankan cuma di-missed call, ditelepon benaran aja belum tentu saya respons, apalagi cuma missed call nggak keanggap dah," gerutu Dani dalam hati. Sejujurnya, Dani paling malas merespons telepon dari nomor yang tak dikenalnya.

Dani menunggu beberapa saat untuk memastikan apakah dia akan menghubunginya lagi atau tidak. Setelah menunggu hampir lima belas menit, ternyata dia tidak menghubunginya lagi. Dani pun kembali melanjutkan bermain game sampai jam pulang kantor, yang kurang lebih hanya tinggal setengah jam lagi.

Akhirnya waktu pulang pun tiba. Dani menyimpan ponselnya di saku celananya. Lalu, dia menyambar jaket dan memakainya. Setelah itu, dia mengambil tas punggungnya yang berisi laptop yang tergeletak di meja. Ia pun berjalan menuju mesin absensi sidik jari untuk absen pulang.

Baru beberapa langkah Dani meninggalkan meja kerjanya, ponsel yang dikantonginya berdering. Dani langsung memasukkan tangannya ke saku celana untuk mengambilnya. Namun, belum sempat Dani mengeluarkan ponsel dari saku celananya, panggilan sudah terputus.

Dani mengeluarkan ponselnya dan menatap layar ponselnya itu karena ia yakin akan dihubungi kembali. Dani yakin orang yang barusan menghubunginya adalah orang yang tadi me-missed call dia.

Benar saja, telepon kembali berdering dan Dani pun langsung mengangkatnya, tapi si penelepon langsung mematikannya.

 "Hahaha... ternyata memang cuma berani missed call saja. Ketika diangkat, langsung diputus! Hahaha... payahhh!"

Lalu Dani menekan lambang telepon untuk melihat detailnya. "Ternyata nomornya dipakai sebagai nomor WhatsApp, berarti dia... hahaha! okelah kalau begitu."

Dani menekan lambang pesan dan mulai mengetik, "Hari gini beraninya cuma missed call? Nggak punya pulsa ya dan cuma mengandalkan data? Jual aja tuh ponsel buat beli pulsa... Hahaha." 

Triing! pesan pun terkirim. Dani memasukkan ponsenyal kembali ke saku celananya, lalu melanjutkan langkah untuk pulang.

**********

Bersamaan dengan berkumandangnya azan Magrib dari musala tak jauh dari rumah, Dani sampai di depan rumahnya. Ketika ia hendak turun dari motor untuk membuka pintu pagar, secara kebetulan adik iparnya, Teguh, keluar dari rumah hendak pergi salat ke musala.

Teguh membuka pintu pagar dan menyapa, "Baru sampai, Bang?"

Dani mengangguk dan bertanya, "Kamu mau ke musala, Guh?"

"Iya, Bang," jawab Teguh sambil melangkah menuju musala tapi baru beberapa langkah Teguh kembali dan berkata, "Oh ya, Bang, tadi siang Kak Ahmad meneleponku. Dia meminta nomor telepon Abang dan sudah aku berikan, Bang."

Dani terdiam sesaat lalu dia berkata, "Bukannya Kak Ahmad sudah tau nomor telepon Abang, Guh?"

"Kak Ahmad ganti ponsel dan nomor baru. Nomor yang lamanya hangus, Bang."

Dani tertegun, dalam hatinya berkata, "Jangan-jangan yang tadi missed call itu dia."

Dani pun mengeluarkan ponselnya dan melihat nomor yang tadi me-missed call-nya. Ia lantas menyebutkan sebaris nomor itu dan menanyakan kepada Teguh. "Apakah ini nomornya Kak Ahmad, Guh?"

Teguh membenarkan nomor yang baru saja disebutkan oleh Dani adalah nomor kakaknya.

"Waduh!"

"Ada apa, Bang?"

"Nggak Ada apa-apa. Tadi nomor itu sempat nelepon beberapa kali, namun tidak Abang angkat, Guh"

"Oh, ya udah nggak apa-apa, Bang. Mungkin nanti kakakku akan menelepon lagi. Sekarang aku ke musala dulu, Bang."

Teguh melangkah menuju musala. Sementara itu, Dani langsung memasukkan motor ke halaman rumah. Setelah itu ia masuk ke rumah dengan perasaan sedikit tidak enak. Dani masuk ke kamar, menaruh tas punggung yang berisi laptop di atas tempat tidur, dan melepas jaket lalu menggantungkannya di balik pintu.

Dani duduk di atas tempat tidur dan memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia tidak menyangka nomor yang tadi missed call ternyata nomor Kak Ahmad, dan ia sudah mengirimkan pesan yang cukup sinis tentang missed call dan pulsa ke nomor tersebut.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Dani memutuskan untuk meneleponnya nanti setelah salat Magrib.


**********

Setelah menyelesaikan salat Magrib, Dani merasa tegang dan cemas. Ia memikirkan pesan sinis yang tadi sore ia kirim ke Kak Ahmad setelah dia beberapa kali melakukan missed call. Dani menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya kurang sopan dan tidak pantas. Lagi pula, kalau bukan karena Kak Ahmad belum tentu dia bisa kerja di tempat kerja yang sekarang ini.

Tanpa menunda lagi, Dani mengambil ponselnya, melihat log panggilan dan mencari nomor Kak Ahmad. Setelah menemukannya, ia langsung menekan tombol panggil. Sambil menunggu panggilan terhubung, pikiran Dani berkecamuk dengan berbagai kemungkinan respons yang akan ia terima.

Beberapa detik berlalu, akhirnya panggilan dijawab. "Assalamualaikum," suara Kak Ahmad terdengar dari seberang sana.

"Wa'alaikumussalam, Kak. ini saya, Dani," Dani menjawab dengan sedikit gugup.

"Oh.. Ada apa, Dan?" Kak Ahmad bertanya dengan nada keheranan, mendengar nada suara Dani.

"Saya ingin minta maaf, Kak," masih dengan sedikit gugup Dani menjawab.

"Minta maaf? Minta maaf tentang apa, Dan?" tanya Kak Ahmad sedikit bingung.

Setelah menenangkan diri, Dani menjawab, "Tadi saya menerima beberapa missed call dari nomor yang tidak saya kenal, dan saya telah mengirimi pesan yang mungkin nadanya terlalu sinis ke nomor itu. Saya tidak tahu kalau nomor itu ternyata nomor Kak Ahmad."

Ada keheningan sejenak. Dani menahan napas, menunggu reaksi Kak Ahmad.

Kak Ahmad akhirnya menjawab dengan sedikit tertawa, "Terima kasih atas kejujuranmu, Dan. Itu tidak jadi masalah walaupun sebenarnya kakak juga sedikit terkejut ketika menerima pesanmu, tapi Kakak tahu alasanmu mengirimkan pesan itu dan Kakak juga mengerti keenggananmu menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal karena sedikit banyak Kakak tahu kepribadianmu."

Rasa lega memenuhi pikiran Dani, tapi ia masih merasa bersalah. "Meskipun begitu, saya benar-benar meminta maaf, Kak. Saya tidak seharusnya mengirimkan pesan seperti itu."

Di seberang sana Kak Ahmad tersenyum. "Santai saja, Dan. Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kamu tidak salah. Angggap saja ini kejadian yang lucu dan kita lupakan saja, oke."

Senyuman muncul di wajah Dani, perasaan lega karena Kak Ahmad tidak marah dan begitu pengertian memahami perilakunya. "Terima kasih, Kak. Saya Sekarang sudah tak dag dig dug lagi. Oh ya, ada apakah Kakak menelepon saya?"

"Oh, sebenarnya tak ada apa-apa, Kakak hanya ingin bertanya apa besok selepas Ashar kamu ada urusan atau ada pekerjaan, Dan?"

Oh, kebetulan besok saya bebas, Kak."

"Kalau begitu, kamu bisa dong besok selepas Ashar datang ke rumah Kakak?"

"Insyaallah bisa, Kak. Memangnya besok ada acara apa di rumah Kakak?

"Sudah! Besok kamu datang saja ke sini selepas Ashar."

"Baiklah, Kak."

Dan setelah mengucapkan salam, Dani pun mengakhiri panggilan teleponnya.


**********

Esok harinya, selesai salat Ashar, Dani langsung menghidupkan sepeda motornya yang dari semalam tidak beranjak dari tempatnya. Setelah memanaskan sebentar, sepeda motor itu langsung ia pacu menuju rumah Kak Ahmad karena semalam ia sudah berjanji akan mengunjunginya selepas Ashar.

Rumah Kak Ahmad tidak begitu jauh dari rumah Dani, jarak kurang lebih hanya dua kilometer saja. Tak sampai seperempat jam, sampailah Dani di rumah Kak Ahmad.

Dani mematikan sepeda motornya lalu memarkirkannya di depan rumah. Ketika Dani mengetuk pintu pagar sambil memberi salam, seorang wanita keluar dari dalam rumah dan menjawab salamnya. Samar-samar Dani merasakan sesuatu yang familiar.

Dani mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Kak Ahmad. Wanita itu lalu membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.

Ketika wanita itu mengatakan kalau Kak Ahmad ada di kebun belakang rumah, sesuatu yang familiar, yang semula samar-samar ia rasakan, perlahan-lahan menjadi nyata.

Dani tidak langsung menuju belakang rumah, ia sejenak memperhatikan wanita itu yang kembali berjalan masuk dan duduk di ruang tamu bersama anak Kak Ahmad yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Melihat semua itu, sesuatu yang sangat familiar semakin nyata dirasakan Dani.

Dani lalu melangkahkan kakinya menyusuri samping rumah menuju kebun di belakang rumah. Setibanya di kebun, ia melihat Kak Ahmad sedang berbaring santai di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Rasa yang sangat familiar itu kembali muncul.

Dani memberi salam dan mencium tangan Kak Ahmad, lalu duduk di salah satu bangku kecil yang juga terbuat dari bambu. Di sana ada tiga bangku kecil dan satu bangku panjang. Di tengahnya, terdapat sebuah meja yang juga terbuat dari bambu.

Dani dan Kak Ahmad kini sudah terlibat dalam obrolan santai. Saat sedang asyik mengobrol, Dani berkata dengan nada bercanda, "Sebelum kita mengobrol semakin jauh tak tentu arahnya, bolehkah saya menebak maksud dari Kak Ahmad menyuruh saya datang ke sini?"

"Boleh, Dan. Kalau kamu tepat menebaknya, kamu boleh mengisap rokok ini," jawab Kak Ahmad sambil meletakkan sebungkus rokok kretek yang sudah terbuka dan isinya sudah berkurang di atas meja bambu.

"Saya pasti akan menebaknya dengan tepat, Kak. Karena saya merasa sudah sangat familiar dengan ini semua."

"Coba apa, Dan?"

"Kak Ahmad ingin memperkenalkan saya dengan wanita yang sedang mengajarkan les anak Kak Ahmad di ruang tamu."

Kak Ahmad terkejut mendengar tebakan Dani. Ia menatap Dani dengan heran, lalu bertanya, "Bagaimana mungkin kamu bisa menebak dengan tepat maksud Kakak menyuruhmu datang ke sini, Dan?"

Dani tersenyum tipis dan berkata, "Saya merasa seperti pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Selain itu, saya juga bisa menebak nama wanita itu dan juga usianya."

Kak Ahmad mengambil sebatang rokok kretek dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja bambu, lalu menyalakannya. Ia menghisap rokok sejenak sebelum berkata, "Walaupun benar, mungkin saja tebakanmu itu hanya kebetulan semata, Dan. Kakak tidak yakin kamu juga bisa menebak siapa namanya dan berapa usianya."

Sebelum menjawab Dani kembali tersenyum tipis, "Nama wanita itu Tya, nama lengkapnya Septyaningtyas. Usianya lebih muda tiga tahun dari saya."

Kak Ahmad semakin terkejut dan heran. Semua tebakan Dani tepat. Dalam keheranannya ia berkata, "Kakak tidak percaya ini semua, tapi ini nyata. Bagaimana mungkin kamu bisa menebak semuanya dengan benar, Dan?"

"Entahlah," Dani mengangkat bahunya. "Dia yang sudah lama tertidur sepertinya sekarang bangun kembali."

Dia? Dia siapa, Dan?

"Saya tak tahu dia itu siapa, dan apa namanya. Dia itu sudah lama tertidur. Terakhir dia terbangun saat saya masih menjalin hubungan dengan seorang gadis dari Jawa Barat, kurang lebih tiga tahun yang lalu."

Kak Ahmad memandang Dani dengan penuh kebingungan, mencoba memahami kata-kata misterius yang baru saja diucapkan Dani. Hatinya dipenuhi rasa ingin tahu dan keingintahuan yang tak terbendung.

"Apa maksudmu dengan dia yang sudah lama tertidur?" tanya Kak Ahmad.

Dani mengambil napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, "Dia yang saya maksud bukanlah manusia, tapi hanya istilah saya untuk menyebut sebuah keanehan yang saya miliki. Lebih tepatnya, saya seperti mempunyai kemampuan aneh kadang terasa seperti deja vu atau perasaan akrab dengan suatu keadaan. Saya merasakan seperti pernah mengalami suatu kejadian sebelumnya, padahal sebenarnya saya belum pernah mengalaminya."

Kak Ahmad terdiam sejenak, ia mencoba mencerna perkataan Dani. Kemudian ia berkata dengan penuh keheranan, "Jadi kemampuan aneh kamu ini membuatmu merasa seolah-olah kamu sudah pernah mengalami sesuatu sebelumnya, padahal sebenarnya itu adalah pengalaman yang baru kamu alami."

Dani mengangguk

"Lalu apa hubungannya dia dengan kemampuanmu untuk menebak hal-hal tadi?" tanya Kak Ahmad dengan rasa penasaran dan keingintahuannya yang semakin besar.

"Mungkin karena saya merasakan seperti pernah mengalaminya, sehingga saya bisa menebaknya dengan tepat," lanjut Dani.

"Apakah ini berarti, kamu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?"

"Entahlah, kadang-kadang, ketika saya mengalaminya, saya bisa merasakan dan memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun tak berarti kejadian-kejadian tersebut akan selalu terjadi persis seperti yang saya rasakan."

Kak Ahmad menatap Dani dengan tatapan campuran antara kagum dan khawatir. "Kakak tidak tahu apa yang harus kakak katakan. Terkadang memang ada orang yang memiliki intuisi atau perasaan seperti itu. Mungkin ini adalah hal yang unik dari dirimu, Dan, tapi Kakak berharap kamu tidak terbebani oleh kemampuan tersebut."

Dani tersenyum mengerti. "Terima kasih, Kak. Saya paham apa yang Kakak maksud. Meskipun memiliki kelebihan ini, saya belajar untuk tidak terlalu bergantung padanya, tapi yang terpenting saat ini, apakah saya boleh bertemu dengan Tya?"

Kak Ahmad tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Tentu saja boleh, boleh banget. Ayo, kita ke dalam untuk menemuinya... Hahaha."



Tamat

Post Yang Paling Banyak Dibaca

Makhluk Manis Dalam Lift - Cerpen

Apakah Memang Dia? (#2) - Cerbung

O.D.O.P - Cerpen

Misteri Di Balik Senja (#2) - Cerbung

Apakah Memang Dia? (#1) - Cerbung