Bayang-Bayang di Bawah Bulan - Cerpen
Bayang-Bayang di Bawah Bulan - Cerpen

Bulan malam itu berwarna pucat kekuningan, menggantung rendah di antara gedung-gedung tinggi kota Jakarta. Bulan itu seolah mengikuti langkah Nara, menyoroti punggungnya yang sedikit membungkuk saat ia menaiki tangga menuju kamar kosnya di lantai empat. Ia baru kembali dari cafe kecil tempat ia biasa melarikan diri setiap malam, tempat yang membuat pikirannya sedikit teralih, meski hanya untuk beberapa jam.
Setiba di kamarnya, ia membanting pintu, lalu bersandar pada dinding. Napasnya berat. Di kepalanya, suara perempuan itu muncul kembali. "Vania," nama yang coba dikuburnya setiap hari, namun selalu menggali dirinya kembali. Kadang muncul sebagai ingatan manis yang menghancurkan, kadang sebagai mimpi buruk yang membuatnya terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya.
"Kenapa kamu tidak bisa hilang dari kepala ini?" gumamnya lirih.
Nara berjalan ke balkon. Kota tampak seperti lautan lampu yang gelisah. Di atas semuanya, bulan menggantung statis, seakan-akan dengan sengaja memamerkan jaraknya.
Nara mendongak, matanya menyipit memandangi bulatan pualam itu.
"Seharusnya kamu sudah jadi masa lalu, Vania. Aku sudah berusaha, aku sudah menghapus semua jejakmu, tapi kamu selalu kembali.
"Aku lelah. Aku ingin sekali hari ini selesai, dan esok pagi aku bangun tanpa harus mengingatmu lagi.
"Bisakah kamu biarkan aku tenang, sedikit saja? Atau setidaknya, beri aku jawaban. Mengapa kamu pergi? Mengapa kau tinggalkan aku dengan beban yang tidak bisa aku tanggung ini?
"Kalau saja… aku bisa menurunkannya," batin Nara.
Tangannya terulur ke langit, namun tentu saja bulan tetap jauh dari jangkauan tangannya. Tetap tidak peduli dan tidak bergerak, seperti Vania.
Nara menarik kembali tangannya, seolah sentuhan harapan yang tak terjangkau itu membakarnya. Kehangatan yang ia rasakan pada malam terakhir mereka bertemu seolah masih tertinggal, sebuah ilusi yang menyiksa. Ia berbalik, meninggalkan dinginnya udara malam di balkon, dan masuk ke dalam kamar yang kecil dan pengap.
Dua minggu kemudian, Nara mulai sering melihat sosok perempuan yang berdiri di teras atap gedung seberang. Gaun hitam, rambut panjang, wajah tak jelas, hanya berdiri menghadap bulan, seolah merasakan hal yang sama dengannya.
Malam itu, Nara merasa perlu bicara dengan seseorang, siapa saja, agar pikiran di kepalanya berhenti berputar.
Nara turun, keluar dari gedungnya, dan menyeberang. Pintu teras atap terkunci, namun ia memaksa masuk. Saat tiba di atas, perempuan itu masih di sana.
Angin memasuki gaunnya, membuatnya tampak seperti terkibar di dingin malam.
"Kamu siapa?" tanya Nara.
Perempuan itu tidak menoleh. "Aku juga bertanya hal yang sama soal diriku setiap malam."
Suara itu dingin, namun lembut. Seperti ada luka terdengar di dalamnya.
Nara mengambil napas kemudian berkata, "Aku sering melihat kamu berdiri di sini," kata Nara. "Seperti… seperti kamu juga sedang berusaha menangkap bulan."
Perempuan itu tersenyum samar. "Bulan tidak untuk ditangkap. Ia hanya untuk ditatap hingga kau hancur."
"Aku mengerti maksudmu."
Perempuan itu menoleh. Matanya gelap, seperti kedalaman yang tidak bisa ditembus cahaya.
"Namamu?" tanyanya
"Nara."
"Lyandra."
Ia menatap bulan lagi. "Apa yang ingin kau lupakan?"
Baca juga: Dia Yang Sudah Lama Tertidur
Nara terdiam. Pertanyaan itu tepat menancap di hatinya. Ia merasakan dinginnya angin malam di balik kemejanya, tapi kedinginan itu tidak seberapa dibanding luka yang menganga di hatinya.
"Seseorang," jawab Nara pelan, suaranya hampir hilang terbawa angin. "Seseorang yang pergi. Tapi bayangannya...," Ia berhenti, mencari kata yang tepat. "Bayangannya lebih nyata daripada ketiadaannya."
Lyandra menanggapi dengan mengangguk kecil.
"Ketiadaan selalu lebih berat daripada kehadiran. Kau harus membawa beban ruang kosong yang ditinggalkannya," kata Lyandra, pandangannya kembali tertuju pada bulatan pualam di langit. "Itu yang membuat kita datang ke sini, bukan? Berharap ketinggian bisa membuat kita melepaskan beban itu."
Nara berjalan mendekat, kini berdiri tepat di samping Lyandra. Ia melihat wajah perempuan itu; konturnya tajam, seolah dipahat dari keheningan malam.
"Mengapa kamu ada di sini?" tanya Nara. "Maksudku, mengapa kamu sering berada di sini setiap malam?"
Lyandra tersenyum lagi, kali ini senyum itu terlihat lebih gelap. "Aku mencoba menangkap bayanganku sendiri, Nara. Di bulan itu." Ia menatap bulan lagi. "Aku berdiri di sini, mencoba meyakinkan diriku bahwa aku nyata. Bahwa aku ada. Tapi seperti bulan, aku hanya pantulan cahaya, dan pantulan tidak punya bobot."
Nara menoleh, merasakan kesamaan yang mencekik di antara mereka. Kedua jiwa yang terluka, menggunakan bulan sebagai cermin atas kehancuran masing-masing.
"Aku merasa... sejak dia pergi, aku juga tidak nyata," bisik Nara. "Seperti aku hanya bergerak, makan, dan bekerja, tapi jiwaku tertinggal di hari terakhir kami."
Hening menggantung di antara mereka. Angin membawa bau debu kota yang bercampur dengan kelembapan.
Lyandra mengulurkan tangan, dan tanpa diduga menyentuh bahu Nara. Sentuhan itu ringan, namun mengejutkan. Nara sudah lama tidak menerima sentuhan yang begitu manusiawi.
"Kita tidak bisa melupakan. Kita hanya bisa membiarkannya tinggal, tapi tidak lagi memegang kendali," kata Lyandra. Matanya yang gelap menoleh ke arah Nara. "Kita sudah berdiri di sini cukup lama. Kita sama-sama butuh istirahat."
Lyandra melepaskan tangannya dan berjalan perlahan menuju pintu teras atap.
"Aku harap besok kamu tidak melihatku di sini lagi," katanya tanpa menoleh.
"Kenapa?"
"Karena kalau aku masih di sini, berarti aku belum berhasil menemukan alasan untuk kembali ke bawah," jawab Lyandra, membiarkan kalimat itu mengambang dan menggantung seperti bulan.
Nara hanya bisa menatap punggung Lyandra yang menghilang di balik pintu besi, lalu kembali mendongak ke langit. Bulan masih di sana, pucat kekuningan, statis. Namun, malam ini, bulan itu tidak terasa sepi dan menghancurkan seperti sebelumnya. Ada kehadiran lain yang berbagi rasa di bawah sinarnya. Kehadiran Lyandra, yang menawarkan pemahaman, bukan solusi.
Malam itu, Nara turun dari atap, kembali ke kamarnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak langsung tidur. Ia duduk di pinggir tempat tidur, merenungkan kata-kata Lyandra, merasakan kelegaan kecil yang ia dapatkan dari perjumpaan singkat itu.
Nara akhirnya tahu. Ia tidak sendirian dalam usahanya menangkap sesuatu yang tidak terjangkau di bawah cahaya bulan.
Setelah pertemuan itu, Nara dan Lyandra sering bertemu di teras atap. Mereka jarang membicarakan hal-hal ringan. Semuanya berat, gelap, dan terus mengarah pada sesuatu yang lebih dalam.
Tentang luka.
Tentang kehilangan.
Baca juga: Pertengkaran di Sore Hari
Tentang cinta yang memecah kepala seperti gelas dijatuhkan.
Vania yang berusaha Nara lupakan, menjadi topik paling sering muncul.
"Mau menceritakan tentang dia?" tanya Lyandra suatu malam.
Nara menyodorkan sebungkus rokok ke arah Lyandra. "Kamu merokok?"
"Tidak, aku hanya melihat orang hancur pelan-pelan." sambil tertawa kecil.
Nara menyalakan rokok untuk dirinya sendiri. "Dia sempurna. Terlalu sempurna buat orang sepertiku. Mungkin itu masalahnya."
Lyandra menatapnya lama. "Atau mungkin kamu terlalu berharap dia bisa mengisi kekosongan yang bahkan kamu sendiri tidak tahu bentuknya."
Nara memalingkan wajah. Tersinggung, tapi tak bisa menyangkal.
"Dia pergi tanpa alasan?" tanya Lyandra lagi.
"Tanpa… penjelasan yang masuk akal. Satu malam dia bilang dia sayang sekali sama aku. Besok paginya, dia bilang dia lelah."
"Orang yang lelah biasanya bukan cuma lelah sama kamu," bisik Lyandra.
Nara merasa kata-kata itu menampar.
Lyandra menambahkan: "Mungkin dia lelah sama dirinya sendiri."
Nara memejamkan mata.
"Kalau begitu, kenapa aku yang masih hancur sekarang?"
Lyandra menatap bulan. "Karena kamu jatuh cinta pada sesuatu yang tidak pernah bisa kamu genggam."
Diam.
"Hati kamu dibelah asmara. Dan kamu masih berharap itu tidak sakit," lanjut Lyandra.
Nara menunduk, mengisap rokoknya dalam-dalam hingga bara di ujungnya menyala terang. Udara atap yang dingin kini terasa menindas, tidak lagi membebaskan. Kata-kata Lyandra, meskipun kejam, adalah satu-satunya hal nyata yang ia dengar belakangan ini.
"Aku tidak tahu bagaimana cara berhenti mencintainya," bisik Nara, mengakui kelemahannya. "Aku sudah menghapus semua jejak, tapi bayangannya terlalu kuat."
Lyandra menoleh, matanya gelap dan tajam. "Bayangan hanya kuat jika kamu memberinya cahaya. Berhenti menyinari Vania. Berhentilah mencoba menangkap pantulan yang tidak pernah nyata itu. Kamu lelah karena terus mengejar sesuatu yang memilih pergi."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Nara, frustrasi. "Bagaimana cara melepaskan beban ketidakadilan ini?"
"Menerimanya. Terima bahwa hati yang dibelah asmara memang harus sakit, tapi rasa sakit itu bukan lagi miliknya. Itu milikmu, dan hanya kamu yang bisa menyembuhkannya," jawab Lyandra dingin.
"Aku pulang," kata Nara, mematikan rokok di pagar teras atap. Ia merasa sudah cukup hancur untuk malam itu.
Lyandra hanya mengangguk, pandangannya tetap terpaku pada bulan.
"Sampai jumpa besok, Nara."
Nara tidak menjawab. Ia berbalik, meninggalkan Lyandra yang berdiri statis, seperti patung dari keheningan.
Malam berikutnya Nara kembali ke teras atap. Ia merasa ada dorongan yang berbeda, bukan lagi rasa putus asa, melainkan rasa ingin tahu yang disertai sedikit harapan, harapan yang menakutkan, bahwa Lyandra akan kembali dan memberinya dosis kebenaran pahit lagi.
Pintu teras atap yang malam sebelumnya mudah terbuka kini terasa lebih berat, seolah enggan dilewati. Saat ia tiba, teras atap itu sunyi. Kosong. Hanya ada dia, udara dingin yang menggigit, dan bulan yang menggantung pucat di langit.
Baca juga: Di Saat Turun Hujan
Nara berjalan ke tepi pagar, tempat ia berdiri di samping Lyandra semalam. Ia meletakkan siku di atas pagar, merasakan dinginnya besi. Di sana, di dekat kakinya, masih ada sisa abu rokoknya yang semalam ia matikan. Hanya itu jejak yang tersisa.
Aku harap besok kamu tidak melihatku di sini lagi.
Kalimat itu berbisik di telinga Nara, seolah Lyandra baru saja meninggalkannya sedetik yang lalu. Apakah Lyandra berhasil? Berhasil menemukan alasan untuk kembali ke bawah, ke dunia yang penuh bobot dan gravitasi? Atau, apakah dia berhasil melepaskan beban ketinggian itu, dengan cara yang lebih final?
Nara menggelengkan kepala, mengusir pikiran gelap itu. Lyandra telah melakukan apa yang tidak bisa dilakukan Vania: memberi kejelasan, meskipun kejelasan itu menyakitkan.
Ia mengeluarkan sebungkus rokok, namun tangannya berhenti.
"Berhenti menyinari Vania," kata Lyandra. "Bayangan hanya kuat jika kamu memberinya cahaya."
Nara menatap bungkus rokok itu. Rokok adalah cahaya bagi bayangannya. Setiap isapan, setiap kepulan asap yang ia lepaskan, adalah cara ia memanggil kembali kenangan Vania, membiarkan bara di ujungnya menerangi kembali rasa sakit yang sudah usang.
Pelan-pelan, Nara meremas bungkus rokok itu di tangannya. Bukan melemparnya, tapi meremasnya hingga isinya hancur. Ia tidak akan merokok malam ini. Ia tidak akan memberinya cahaya.
Ia berdiri di sana, menatap bulan, bulatan pualam yang statis dan tidak peduli itu. Rasa sakitnya tidak hilang. Lukanya masih menganga, tapi ada perubahan kecil. Sekarang, rasa sakit itu terasa miliknya seperti yang dikatakan Lyandra. Bukan lagi beban ketidakadilan yang diletakkan Vania di bahunya, melainkan tanggung jawab yang harus ia pikul sendiri.
Ia mengingat Vania, namun kali ini ingatan itu tidak memecah kepalanya seperti gelas dijatuhkan. Itu terasa seperti rasa sakit yang tumpul, sebuah bekas luka, bukan luka baru.
"Aku lelah," bisik Nara, mengulang gumaman yang sama dua minggu lalu.
Tapi kali ini, kelelahannya berbeda. Bukan lelah karena berlari mengejar bayangan Vania, melainkan lelah yang wajar setelah mengakui kekalahan. Lelah yang membutuhkan istirahat, bukan pelarian.
Nara menoleh, meninggalkan pagar. Ia tidak mencari Lyandra, juga tidak memaki Vania. Ia berjalan menuju pintu teras atap. Ia akan kembali ke kamarnya yang kecil dan pengap, ke tempat tidurnya, dan ia akan mencoba untuk beristirahat. Bukan tidur untuk melarikan diri dari ingatan, tapi tidur untuk mengumpulkan tenaga, untuk menyembuhkan luka yang kini ia terima sebagai miliknya.
Malam itu, Nara tidur dengan memegang rasa sakitnya sendiri, dan entah mengapa, itu terasa jauh lebih ringan daripada memegang bayangan seseorang yang telah lama meninggalkannya. Ia tidak sendirian dalam kegelapan; ia membawa cahaya yang ditinggalkan oleh kebenaran Lyandra.
Tamat
Baca juga: Nurul, Si Gadis Kecil
cerita orang yang gagal move on, terjerat dalam kesedihan di tinggal pacar :D
BalasHapusBetul.Nif... Ente nggak boleh Kaya Nara Nif..
HapusKalau bisa semua gadis di Indonesia ente pacarin Nif. Maju terus pantang kendor!!🤣😁😁😁
Nah tuh dengar, Nif, apa kata Mas Satria..wkwkwk
HapusSelain gadis, jangan lupa janda dan nenek-nenek juga di pacari.😁
HapusHeeiii kemana aja mas Her...Jarang Nongol, Sama kaya Gue yang baru nulis lagi Bulan november ini. Iru juga baru 5 postingan.🤣🤣🤣
BalasHapusKenapa si Nara nggak pacaran aja sama si Lyandra. Dari pada Frustrasi mikirin si Vania.😁😁 Atau jangan2 si Lyandra hantu kegelapan yang nongol kalau ada sinar bulan doang.😁😁
Atau mungkin si Nara sebenarnya lebih suka sama Si Agus biar bisa diajak Mangkal bareng.🤣🤣🤣
Ngga ke mana-mana cuma lagi sibuk aja ngukur jalan.. wkwkwk
HapusKalau si Nara pacaran sama Lyandra jadi ngga seru ceritanya, Mas
Aku juga mikirnya Lyandra itu hantu bulan yang datang karena kangen sama mas Herman, eh maksudnya yang mati penasaran.😄
HapusTadinya aku sangka Nara itu cewek, eh ternyata bukan ya. Atau jangan-jangan Nara itu kepanjangan dari narapidana.😂😂😂
BalasHapusKalo yang aku baca dari ustadz satria, cara melupakan seseorang itu bukan dengan melupakan nya, itu malah bakal keinget terus, makin coba dilupakan pasti bakalan tambah ingat.
Cara melupakan mantan yang paling ampuh itu..
apa ya, kok jadi lupa.😂😂😂
Suka dengan bagian ' bayangan itu hanya kuat jika kita terus memberinya cahaya' 👍👍👍. Betuuuuuuul. Ga ada guna juga mengingat yg udah lewat, seperti bayangan, ga bisa disentuh, hanya dilihat. Seminggu sedih masih oke, tp lebih dari itu, kayaknya udah masuk ke tipe ga bisa terima takdir. Yg rugi justru diri sendiri.
BalasHapusrasa sakit seindah itu bila dinikmati..
BalasHapus