Luka yang Tak Layak Dicintai - Cerpen
Luka yang Tak Layak Dicintai - Cerpen

Malam merambat perlahan di atas kota, seperti selimut gelap yang menutup satu per satu sisa cahaya Sang Surya. Lampu jalan bersinar lembut, memantul di permukaan sungai yang mengalir di bawah jembatan kecil, tempat Hadi berdiri sendirian. Angin malam yang biasanya menenangkan kini membawa hembusan dingin, seakan mencerminkan rasa dingin yang datang ketika hati seseorang sedang kehilangan arah.
Hadi berdiri di tepi jembatan kecil, menatap riak air yang tak henti-hentinya memecah bayangan lampu. Di dadanya, ada sesuatu yang terasa sesak: bukan sekadar patah hati, tapi bercampur kelelahan dan rasa kalah yang sudah terlalu lama ia simpan. Seolah-olah setiap langkah hidupnya belakangan ini selalu membawanya ke tempat yang sama, tempat di mana ia harus kembali memunguti potongan dirinya sendiri.
Lagi-lagi, ia gagal. Dan lagi-lagi, kisah cintanya runtuh seperti daun kering yang lepas dari rantingnya tanpa sempat ia memahami apa yang sebenarnya kurang.
"Berapa kali lagi aku harus mulai dari awal?" bisiknya pada sungai yang mengalir tanpa peduli.
Langkah kaki berat mendekat dari belakang. Itu Arief, sahabat yang hadir tanpa banyak alasan, tanpa banyak pertanyaan, yang keberadaannya cukup untuk membuat dunia terasa sedikit tidak menakutkan.
"Masih memikirkan semuanya?" tanya Arief. Suaranya parau, tapi di balik nada itu ada perhatian yang tulus. Ia berdiri di samping Hadi tanpa mengambil ruang yang tidak perlu.
Hadi menarik napas panjang, seakan ingin mengisi penuh paru-parunya. "Aku berusaha, Rief. Serius berusaha. Berdoa dan menjaga niat. Tapi selebihnya... mungkin memang Allah punya rencana lain."
Arief mengangguk pelan sambil menatap sungai. "Hidup ini baru bisa dinikmati kalau kamu merima bahwa tidak semua harus kamu kendalikan."
"Dinikmati... dan disyukuri," Hadi menimpali, meski suaranya terdengar lebih seperti kepasrahan daripada keyakinan.
"Betul." Arief menepuk bahunya. "Yang penting jangan menyerah. Banyak jalan menuju Roma."
Hadi tersenyum pahit. "Aku tidak menyerah... hanya agak lelah."
Arief ingin menjawab, namun sebelum ia sempat, langkah kaki terdengar. Ringan seperti kerikil kecil yang jatuh perlahan ke air. Ragu, namun mendekat. Mereka menoleh.
Seorang perempuan berdiri di sana, Yuni.
Ia berdiri beberapa meter dari mereka. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya menyimpan gelombang perasaan yang sulit diterjemahkan. Sudah lama sejak ia terakhir kali muncul. Kehadirannya di malam itu terasa seperti bayangan dari masa lalu yang kembali mencari tempat.
"Aku dengar kalian di sini," ucap Yuni pelan.
Hadi menunduk refleks. Nama itu masih memiliki tempat di hatinya, tempat yang seharusnya sudah lama kosong. Yuni, perempuan yang pernah ia perjuangkan, namun takdir berkata lain.
Yuni melangkah mendekat, hingga jarak mereka hanya selebar hembusan angin. "Hadi... kamu kelihatan sangat lelah."
Hadi terdiam dan ingin menyangkal karena ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan seseorang yang pernah ia perjuangkan habis-habisan. Namun Yuni selalu melihat lewat sorot mata, bukan melalui topeng yang dibuat-buat.
"Perjalananmu masih panjang, Di," lanjut Yuni pelan. "Dan kamu tidak harus berjalan secepat itu."
Hadi tertawa kecil, hambar. "Perjalanan masih panjang, tapi waktuku... terasa semakin tipis. Malam kian larut, Yun"
Arief memandang keduanya, lalu perlahan mundur beberapa langkah. Ia menyadari ada percakapan yang belum selesai di antara mereka dan itu bukan ruangnya, dan ia cukup paham bahwa sebuah luka butuh disaksikan oleh orang yang pernah membuatnya.
Yuni berdiri dekat Hadi. Cukup dekat sehingga ia bisa mendengar getar napasnya yang berat.
"Kamu tidak pernah menyerah," ucap Yuni, lembut tapi jelas. "Tapi kamu juga tidak pernah memberi kesempatan dirimu untuk berhenti sebentar."
"Apa gunanya berhenti? Aku tidak semakin muda, Yun." Hadi menatap langit. "Usia mengejar. Kesempatan menipis. Dan aku... tetap sendiri."
Yuni menelan ludah.
"Sendiri bukan berarti kalah, Di."
"Tapi aku lelah." Suaranya pecah, untuk pertama kalinya. "Terlalu lelah... Haruskah aku menyerah, atau beristirahat sejenak, sedangkan malam makin larut?"
Yuni memejamkan mata. Ada sesuatu yang ia simpan selama ini, penyesalan yang tidak pernah diucapkan.
"Hadi..." suaranya bergetar. "Kadang Allah menunda bukan untuk menyiksa, tapi untuk menyelamatkan. Mungkin kamu belum bertemu seseorang yang mampu mencintaimu dengan cara yang benar. Termasuk aku."
Hadi terdiam. Angin malam membawa suara gelisah yang samar.
Yuni menatapnya, matanya basah. "Aku dulu terlalu takut. Lalu menyesal. Tapi kamu... kamu tetap berjalan, meski sendirian."
Yuni mengusap pergelangan tangan, gelisah.
"Tapi ketahuilah... istirahat bukan berarti berhenti. Kamu boleh berhenti sejenak untuk menata hati. Untuk membersihkan luka. Untuk kembali jadi dirimu yang dulu percaya."
Hadi menatap Yuni, dan untuk sesaat, hatinya yang remuk seolah menemukan ruang hangat yang hampir terlupakan.
"Kamu pikir... aku masih bisa memulai lagi?" tanya Hadi, nyaris seperti bisikan anak kecil yang takut jatuh.
Yuni tersenyum, senyum yang tidak ia berikan bertahun-tahun lalu saat meninggalkan Hadi.
"Kamu bukan memulai dari nol, Di.
Kamu mulai dari pengalaman.
Dari luka yang menjadikanmu bijak."
Ia meraih tangannya sebentar tidak lama, hanya cukup untuk memberikan kekuatan.
"Dan jika suatu hari kamu lelah lagi," lanjut Yuni, "berhentilah sejenak... bukan menyerah. Karena fajar tidak pernah peduli seberapa larutnya malam. Ia tetap datang, membawa cahaya."
Air mata jatuh di pipi Hadi, entah sedih, entah kelegaan.
Arief dari kejauhan tersenyum kecil.
Dan malam terasa tidak terlalu gelap lagi.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hadi berkata lirih namun yakin. "Baiklah... aku akan istirahat sejenak.
Tapi tidak akan menyerah."
Baca juga: Misteri Di Balik Kata Hmmm
Dan di jembatan kecil itu dengan malam yang menua dan angin yang dingin tiga hati yang pernah saling menjauh kini berdiri berdampingan, mencoba memahami bahwa kehidupan bukan sekadar tentang tiba di tujuan tapi tentang keberanian untuk terus melangkah, meskipun malam kadang terasa terlalu panjang.
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma sungai yang datar, aroma yang sering kali datang ketika seseorang sedang belajar menerima sesuatu yang sulit diterima. Jam sudah melewati tengah malam, namun, ketiganya masih berdiri di jembatan itu, terikat oleh percakapan yang tidak selesai dan perasaan yang belum menemukan tempatnya.
Yuni memandang Hadi dengan mata yang menyimpan rindu, penyesalan, dan ketakutan sekaligus.
Arief berdiri beberapa langkah di belakang, tidak ingin mengganggu, tetapi juga tidak ingin meninggalkan dua sahabatnya itu sendirian dalam malam yang rapuh.
Keheningan di antara mereka bukan keheningan yang kosong, ia dipenuhi kata-kata yang belum diucap.
Setelah beberapa saat, Yuni berbicara lagi. Suaranya lembut, namun setiap kata seperti menembus sesuatu yang selama ini dibungkam dalam diri Hadi.
"Hadi..." katanya, "Kamu selalu berjalan seolah dunia menuntutmu untuk cepat tiba. Padahal, tidak ada siapa pun yang berdiri di ujung jalan menunggu laporan akan keberhasilanmu."
Hadi menutup mata. Kata-kata itu menampar lembut.
"Kadang aku takut berhenti," jawab Hadi akhirnya. "Karena jika aku berhenti, aku harus mengakui satu hal yang paling ingin kuhindari."
Yuni menunduk sedikit. "Dan apa itu?"
"Bahwa aku... mungkin tidak akan pernah menemukan seseorang yang tinggal. Bahwa mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk dicintai dengan cara yang aku inginkan."
Yuni menatapnya tajam, bukan marah, tapi hancur oleh kenyataan bahwa seseorang yang dulu pernah mencintainya begitu dalam kini mengatakan kata-kata itu dengan kejujuran yang memilukan.
""Hadi," katanya pelan, "Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak layak dicintai. Yang membuat seseorang merasa tak layak adalah luka, bukan kenyataan."
Hadi tertawa lirih, getir. "Luka... ya, mungkin benar. Luka-luka kecil yang terus menumpuk, hingga aku lupa rasanya disembuhkan."
Arief akhirnya maju sedikit, namun tetap menjaga jarak. "Di," katanya, "Kamu tidak harus kuat sepanjang waktu. Bahkan matahari pun tenggelam agar bisa bersinar lagi besok."
Hadi menghela napas panjang. "Kalau begitu... kapan giliranku untuk terbit, Rief? Aku merasa terus-terus menjadi malam."
Yuni melangkah lebih dekat.
Suaranya setenang aliran sungai di bawah mereka, tetapi penuh ketegasan yang lembut.
"Fajar datang bukan ketika kamu memintanya," ujarnya. "Ia datang ketika kamu siap melihat cahaya meski cahaya itu kecil, redup, dan mungkin tidak seterang yang kau harapkan."
Yuni menatap Hadi lama sekali, seolah ingin memastikan setiap kata menancap dengan benar.
"Kamu lelah," lanjutnya. "Bukan gagal.
Kamu tersesat sebentar, bukan kalah.
Kamu butuh jeda, bukan menyerah."
Hadi membuka mata, perlahan. "Lalu... bagaimana jika jeda ini membuatku semakin tertinggal? Semakin jauh dari yang lain?"
Yuni tersenyum kecil, senyum yang penuh luka namun juga penuh keberanian. "Lebih baik tertinggal tetapi utuh daripada tiba tercepat tetapi patah," katanya.
Kata-kata itu menggantung, lalu tenggelam ke dalam hati Hadi seperti batu yang jatuh ke air tenang, pelan, tetapi menggoyahkan dasar.
Arief melihat keduanya, lalu berkata dengan suara rendah, "Di... kita semua berjalan, tapi jalannya tidak sama. Ada yang cepat, ada yang lambat. Ada yang berputar jauh. Bahkan ada yang kembali ke titik awal sebelum melangkah lagi. Tapi semua tetap perjalanan."
Hadi menatap kedua sahabatnya itu, satu yang pernah ia perjuangkan mati-matian, satu lagi yang selalu ada dalam diam.
"Malam memang larut..." bisik Hadi. "Tapi entah mengapa, untuk pertama kalinya aku merasa tidak sendirian."
Yuni tersenyum tipis. "Karena kamu memang tidak pernah sendirian, Hadi. Kamu hanya terlalu sering berjalan dengan kepala menunduk... sehingga lupa melihat siapa yang berjalan di sampingmu."
Angin meniup rambut Yuni, dan untuk sesaat Hadi menyadari betapa dalam diamnya, perempuan itu menyimpan cerita yang belum pernah ia dengar.
"Yuni," kata Hadi pelan, "mengapa kau kembali malam ini? Mengapa... sekarang?"
Yuni terdiam lama. Sangat lama. Kemudian suaranya pecah, sangat halus. "Karena aku... ingin melihatmu pulih. Karena penyesalan itu nyata, Hadi. Dan karena aku tidak ingin menjadi alasan kamu berhenti percaya pada cinta."
Hadi membeku. Arief memejamkan mata perlahan, memahami sesuatu yang tidak perlu dijelaskan.
Yuni melanjutkan, suaranya rendah, nyaris seperti doa. "Maaf, Hadi… jika dulu aku pergi sebelum sempat menjelaskan. Maaf jika aku menjadi salah satu alasan punggungmu terasa berat hingga hari ini. Tapi percayalah... aku kembali bukan untuk membuka luka lama, melainkan agar kamu tahu satu hal...”
Ia menatap Hadi, matanya basah namun tegas.
"bahwa seseorang pernah mencintaimu, meski ia tak cukup berani untuk tinggal."
Hadi terdiam seperti patung.
Kata-kata itu merayap masuk ke dalam retakan-retakan hatinya yang paling dalam.
Dan di jembatan kecil itu malam yang larut tidak lagi terasa menakutkan. Ia berubah menjadi ruang aman, ruang bagi tiga jiwa untuk benar-benar melihat satu sama lain.
Dalam hati Hadi, sesuatu yang lama hilang mulai menyala kecil. Bukan cinta. Bukan asa. Tetapi sebuah keyakinan lembut:
Ia memang belum tiba tapi ia juga belum selesai.
Tamat
Baca juga: Senyum Laras di Persimpangan
Hadi dan Arief, nama tokohnya jadi ingat dengan master pembuat css di mwb yaitu Hadi dan Irul Arief.😄
BalasHapusJadi sebenarnya Yuni mencintai Hadi juga, cuma dia belum yakin ya makanya waktu itu dia pura-pura pergi?
Saya malah ngga ingat sama sekali, padahal dulu sering ke blognya buat nyuri-nyuri ilmunya..wkwkwk. Hadi itu Hadi Is kan?
HapusMungkin seperti itu, tapi... Ah sudahlah..wkwkwk
Bukan Hadi is tapi Hadi Satriani kayaknya.😂
HapusUdah Hadi ngga usah sedih, jadi jomblo happy, bebas kesana kesini, senggol sana senggol sini.😁
Tumben lempeng, biasanya ujungnya ngebanting..wkwkwk
HapusBukan nama panjangnya Hadi Egus Wibawa.🤣🤣🤣
HapusUnik juga namanya.. wkwkwk
HapusIa memang belum tiba dan ia juga belum selesai. Masih banyak patah hati dan penolakan berikutnya yang menunggumu Hadi 😁
BalasHapusWkwkwk.. komentar macam apa ini.. wkwkwk
HapusHadi oh hadi
BalasHapusCari yang baru itu lebih asek dan lebih enak
Ada tantangan yang memicu andrenalin
Untaian kalimatnya hebat, runut
Kayak nonton MotoGP memacu adrenalin.. hihihi
Hapus🤣🤣🤣 Agus lagi Agus lagi.🤣🤣🤣 Eehh Kok Agus.. Hadi maksud gue. Yaa kemungkin nama panjangnya Agus Hadi.Wibawa.🤣🤣🤣
BalasHapusIntinya si Hadi berharap sesuatu harus sesuai dengan yang ia lakukan dan ia perjuangkan dengan keras. Meski fakta kehidupan tidak bisa sepenuhnya sesuai dengan yang diinginkan.😁😁
Seperti itulah kira-kira
HapusKasihan hadi, tidak bertemu dengan seseorang yang dicintainya. Coba Hadi minta tolong orang terdekat agar dijodohkan dengan seorang wanita, siapa tahu dia nanti dicintai oleh istrinya
BalasHapusOke, nanti dicoba, terima kasih atas sarannya.
Hapus